2.
Hari ini, hari pertama Niken masuk ke sekolah barunya. Sekolah yang sama dengan Arya dan Sophia. Sebetulnya, Papa tahu sejak lama kalau Niken akan tinggal bersama mereka. Oleh sebab itu, dari jauh-jauh hari Papa telah mengurus perpindahan sekolahnya sehingga tak butuh lama bagi ia untuk bisa masuk sekolah.
Pagi ini, Niken berangkat bersama Arya dan Sophia. Selama perjalanan, mereka masih sama-sama canggung hingga Sophia tidak tahan lagi dan akhirnya berceloteh—kebiasaanya bila ingin mencairkan suasana.
"SMA Jaya Bangsa favorit lho, di Bandung. Sekolah kita berprestasi terus di bidang akademik dan non-akademiknya. Bangunannya ada empat lantai. Udah gitu, ada liftnya juga. Jadi, nggak usah capek-capek naik tangga. Parkiran sama lapangannya luaaas... buanget. Ada lapangan indoor juga. Jadi, misalkan hujan...." Sophia menjelaskan sekolah mereka panjang lebar pada Niken. Begitulah Sophia, dalam kondisi yang bersemangat, ia akan terlihat layaknya anak yang hyperaktif.
"OH, iya! Ada panggung kecil di belakang sekolah. Dan setiap bulan, suka ada penampilan dari ekskul teater. Dijamin, kamu pasti bakal seneng banget sekolah di sana. Temen-temennya juga baik, kok."
"Oh, gitu ya, Soph," sahut Niken masih malu-malu.
Sambil mengemudikan mobil, Arya melirik Niken dari spion tengah mobil. Ia melihat Niken yang manggut-manggut sambil sesekali tersenyum malu-malu saat mendengarkan Sophia bicara. Baginya, saat itu wajah Niken terlihat sangat manis dan juga menggemaskan. Ingin rasanya Arya mencubiti pipinya.
"Trus jangan lupa, ekskul tari Saman yang aku ikutin juga bagus banget. Sering jadi juara kalo ikutan lomba-lomba kebudayaan. Apalagi ekskul basketnya Kak Arya. Baru-baru ini, mereka menang di pertandingan antara SMA se-kota Bandung. Keren banget, deh, pokoknya! Dan asal tau aja, Kak Arya jadi small forward, lho. Dia jago banget kalo nembak dari garis tiga angka!"
"Wow, Kak Arya keren, ya," puji Niken.
Mendengar Niken memujinya, diam-diam Arya tersenyum. Ia tersenyum bukan karena jarang dipuji, namun kini rasanya agak berbeda bila Niken yang memujinya. Lho, sejak kapan Arya jadi seperti ini?
"KAK, AWAS!"
Teriakan Sophia membuat Arya tersentak. Mobil yang di kemudikannya hampir saja menyerempet penjual bakso yang sedang mendorong gerobaknya di bahu jalan. Untung saja Arya masih sempat membanting stir mobilnya ke kanan jalan sehingga berada di jalur yang benar. Sementara dari kaca spion kiri, penjual bakso itu terlihat seperti mengomel-ngomel sambil mengepalkan tangannya ke arah mobil yang mereka tumpangi.
"Hufhttt...." Arya menarik napas, hampir saja.
"Kak, jangan ngelamun, dong! Itu kalo baksonya ketabrak, kan, sayang-sayang baksonya! Nggak bisa banget, sih, hati-hati," gerutu Sophia.
WHAT?!!!
Arya melotot pada adiknya. Jadi, dari kejadian tadi, adiknya hanya peduli pada bakso?!
Melihat pelototan Arya, Sophia menggeleng-geleng. "Tau nggak, Kak, bulet-buletin bakso tuh susah. Jadi, kasian kan, kalau Mamang baksonya sampai kita tabrak."
"Kambing!", kata Arya dalam hati.
"Nggak percaya? Oke, kita buat bakso bareng nanti. Biar Kakak ngerasain susahnya bikin bakso," tantang Sophia.
Arya cemberut. Ia memilih untuk fokus kembali pada jalanan di depannya, sementara Sophia terus berceloteh tentang bentuk bakso yang bulat sambil menyanyikan lagu Abang Tukang Bakso. Niken yang melihat kelakuan kakak-beradik itu hanya tersenyum tipis.
Buat kalian yang bertanya-tanya kapan cerita ini diterbitin, gue belum tau kapan tepatnya. Pasalnya cerita ini ternyata ada problem yang harus diselesaikan dulu. Gue minta doanya supaya problemnya dilancarkan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothermaker
Teen FictionSatu keinginan Arya; membawa tim basketnya menang di kejuaraan basket di tingkat SMA se-Provinsi. Sebenarnya itu hal yang mudah, mengingat Arya adalah kapten basket sekaligus playmaker ulung di sekolahnya. Hanya saja, mendadak ada satu masalah yang...