Today i realise, sometimes the ones you love, hurt you the most...
☆☆☆☆☆
Waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh pagi saat aku menenteng sepeda keluar dari garasi. Setelah meregangkan badan sejenak, aku siap mengendarainya.
Aku mencintai olahraga, ini adalah hasratku. Jiwaku. Itu yang kuharapkan. Namun pada kenyataannya, dengan lemas aku mulai mengayuh sepeda. Kalau bukan karena dia, aku tidak akan mengayuh benda sialan ini.
Apa yang lebih menyenangkan dibanding bergumul di bawah selimut pada hari minggu? Jawabannya tidak ada. Dan kenapa aku malah melakukan sebaliknya? Karena sepeda inilah satu-satunya hal yang akan mengantarku bertemu dengan sahabatku yang lain.
Kami sama-sama dilanda ritme kerja masyarakat Jakarta yang hampir tidak mengenal belas kasihan. Padahal rumahku dan rumahnya hanya berjarak lima blok.
Saat lewat di depan rumahnya, aku berhenti dan melihat dia sedang mengeluarkan sepedanya sambil tersenyum. Memang benar, siapapun yang bangun pagi, dia akan mendapat rejeki.
Dan inilah rejeki milikku.
"Tumben duluan." Dia menyapa dan kami bersepeda beriringan.
"Tadi kebangun, jadi langsung siap-siap."
Alasan klise, Nad. Jelas-jelas alarm menjerit dari jam setengah lima pagi.
Aku menoleh dan menemukan wajah damai sedang menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ibarat cokelat, pria di sampingku ini bagaikan potongan terakhir yang tidak akan kubagi pada siapapun. Terlalu lezat.
Dia melihatku dan menyeringai. "Tanding?"
Aku menggeleng. "Gue mau santai aja."
Bagaimana aku bisa menikmati keindahanmu wahai kaum adam jika kita malah asyik ngebut-ngebutan?
"Nadnad payah." Cibirnya dan aku tertawa. Merasa bahagia jika dia memanggilku dengan panggilan masa kecil.
Tujuan kami adalah taman kota yang tidak jauh dari kompleks rumah. Taman yang tadinya tidak terurus, sekarang sudah disulap menjadi bersih dan terawat oleh pemerintah kota. Hari minggu seperti ini akan banyak orang berolahraga atau sekedar duduk-duduk menikmati jajanan pagi di sekitar taman.
Kami memutar keliling taman beberapa kali sebelum berhenti di salah satu bangku panjang yang menghadap ke arah jalan raya. Dengan gesit aku memanggil tukang bubur ayam dan memesan dua porsi.
Kan sudah kubilang, olahraga ini kamuflase, ujung-ujungnya tetap mengisi perut. Sambil menunggu pesanan datang, kami mulai mengobrol tentang pekerjaan.
Satria Maheswara. Itulah nama yang selalu bergema dipikiranku. Dia tetangga, sahabat, dan sudah kuanggap kakak laki-laki. Pria terbaik yang pernah kutemui. Pria yang sudah mencuri cinta pertamaku. Pria yang sudah melakukan banyak hal padaku. Dia bukan saja sekedar sahabat-yang-kukagumi-dalam-diam. Tapi juga sahabat-yang-setengah-mati-kupuja.
Suara tawanya memecah lamunanku. Lihatlah dia dan mustahil kalian tidak jatuh cinta. Satria lebih tua tiga tahun dariku, dia seorang dokter spesialis obstetric dan ginekologi. Pekerjaan yang memakan waktunya hampir dua puluh empat jam.
Saat dia mengungkapkan keinginannya untuk mengambil spesialis itu, respon pertamaku adalah aku tidak ingin memiliki suami yang telah melihat begitu banyak 'milik' wanita. Namun alasan mengapa dia mengambil jurusan itu cukup membuatku sedih.
Ibu Satria meninggal usai melahirkan adik bungsunya, dan dia seorang piatu sejak berumur tujuh tahun. Kejadian itulah yang mendorongnya mengambil jurusan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single All The Time
ChickLitAku adalah magnet laki-laki. Lebih jelasnya, aku adalah magnet laki-laki tampan, populer, berprestasi, mapan, menawan serta mengagumkan. Mereka akan terlihat tegap dan gagah dihadapan orang banyak, namun ketika bersamaku, mereka tak ubahnya sepert...