Falling 24 || Their Secret

22.4K 1.5K 175
                                    

"Kamu yakin mau sekolah?" Mama bertanya dengan pertanyaan yang sama untuk sekitar 5 kali, dalam sejam ini. Beliau khawatir jika nanti aku kenapa-kenapa di sekolah. "Kamu bisa libur loh, sayang," bujuk Mamaku.

Aku menggeleng mantap. "Terus Eliska sendiri gitu di rumah? Mending sekolah deh, Ma, soalnya Eliska juga udah mau UTS."

Mama menatapku cemas kemudian beralih pada Papa yang dengan antengnya membaca koran. "Pa, bujukin itu anakmu. Kamu gak cemas apa dia di sekolah nanti kenapa-kenapa?"

Papa berdehem pelan lalu menurunkan korannya, beliau menatapku dengan pandangan meneliti. "Ya sudah, biarkan saja Eliska sekolah, Ma. Memangnya kalau di rumah misalnya dia kenapa-kenapa kan gak ada yang tau, kecuali tadi Mama mau libur kerja buat nemenin Eliska."

Senyum kemenangan muncul di bibirku, aku memberi Mama tatapan menenangkan. "Aku bakal baik-baik aja di sekolah."

"Mama lebih suka kamu di rumah, tapi sayangnya Mama gabisa libur. Hari ini ada rapat bulanan," Beliau memberiku roti bakar dengan selai keju coklat. "Nanti kalo ada apa-apa telepon Mama, Papa atau Bang Varo ya, sayang? Gausa banyak gerak, biar kamu gak ke kantin Mama buatin bekel aja ya. Ntar Mama telepon Tyas biar bantuin kamu—"

"Jangan, Ma! Jangan telepon Tyas," Aku menggigit bibir bawahku. Mama menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Nanti Eliska minta sendiri ke Melanie. Tyas hari ini kayaknya gak masuk deh," bohongku.

Ya Tuhan, ampuni hamba.

"Oh gitu." Mama mengangguk mengerti, kemudian menarik kursi di samping Papa dan duduk disana setelah selesai meletakkan roti bakar pada piring Bang Varo.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih ada sekitar 45 menit lagi sebelum bel sekolahku berbunyi. Aku memakan roti bakarku dalam diam, memikirkan bagaimana aku harus bersikap pada Tyas nanti di sekolah. Pasti sangat canggung.

Terakhir kali, kami berbicara tentang Athan. Dia menyuruhku untuk menjauh dari mantannya itu, lalu aku meninggalkannya di ruang keluarga dan mengusirnya keluar dari rumahku.

"Pagi, Ma," ucap Bang Varo yang entah kapan sudah ada disini. Ia mencium pipi Mama sekilas. "Pagi, Pa. Pagi, Dek."

Kemudian ia menarik kursi di sampingku duduk sambil mengeratkan dasinya. Lalu memakan roti bakarnya setelah memenium kopi susunya terlebih dahulu.

"Dek, berangkat sama gue atau sama Athan?" tanya Bang Varo, berhasil membuat kegaduhan kecil di meja makan. Mama yang tersedak, Papa yang menumpahkan kopi miliknya di meja. Aku memberi tatapan tajam pada Bang Varo.

Yang ku tatap malah balas menatapku dengan tatapan polos seakan-akan berkata 'apa', aku hanya mendengus. Siap-siap bakal di introgasi oleh Papa. Ingatkan aku untuk memukul Bang Varo nanti.

Iya, nanti. Karna sekarang Papa sudah menatapku dengan curiga dan alis terangkat. Aku mendesah.

"Athan siapa, Giovanny?"

Waduh, mati aku.

Papa sudah memanggilku dengan nama belakang berarti ini sudah siaga satu. Aku berdehem pelan, berusaha merangkai kata-kata di dalam pikiranku. Okay, jadi apa yang mesti aku katakan tentang Athan?

"Temennya Vanny, Pa. Tetangga sebelah juga, baru pindah kemarin," jelasku sambil tersenyum tipis.

Mama meletakkan gelasnya yang masih sisa setengah. "Anaknya baik kok, Pa. Mama percaya dia, bahkan Mama nitipin Eliska ke dia untuk dijagain," Mama kemudian mendekat ke arah Papa dan berbisik pelan, entah apa.

Pokoknya hal apapun yang Mama bisikkan itu sangat ampuh sehingga Papa langsung tersenyum dan menatapku sambil mengangguk-ngangguk. Aku mengerutkan kening bingung lalu melirik Bang Varo yang ternyata juga melirik ke arahku.

Falling Fast Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang