Tubuhku serta nyawaku keluar dari terowongan neraka itu. Kuhubungi ambulan untuk segera datang ke lokasi tersebut. Saat mobil pengangkut manusia tak berdaya itu datang, aku sembunyi di balik besarnya pohon cemara. Menyaksikan pengangkutan dua buah korban sekarat. Juga pengangkutan senjata sang pelaku.
Jangan kira selepas ini aku akan kabur ke belahan dunia lainnya dan mencari mangsa selanjutnya! Karena, kantor polisi lah tujuanku hari ini. Aku akan menyerahkan diri atas kasus berdarah ini. Cukup hebatkah diriku ini?
Iya.
Dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku tak akan menjadi korban di kisah ini. Maksud dari perkataanku saat itu, aku akan menjadi seorang pelakunya. Tak ada perasaan menyesal ataupun sedih saat aku memang benar-benar menyerahkan diri ke dalam jeruji-jeruji besi yang sebagiannya telah berkarat. Karena, ini memang kemauanku. Lagipula, kalau aku kabur dari kesalahanku ini, aku tetap tak dapat melihat wajahnya, bukan? Jadi, seperti itulah kehidupan serta mimpi indahku berakhir.
Aku tersadar dari lamunanku. Menyadari berisiknya desak-desuk para reporter yang sedang mengantri dengan tak sabar di depan ruangan interogasiku. Selesai ku diinterogasi oleh banyaknya polisi yang menjaga, tubuhku langsung dibawa serta dikawal keluar dari berbagai macam kalimat tanya.
Bosan sangat mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai pada saat salah satu pertanyaan yang terdengar aneh di telingaku, memberhentikan langkah kaki ku. Membuat para kawalanku mengikuti apa yang diriku ini lakukan.
"Mengapa ANDA tidak menyangkal seluruh tuduhan ini?" tanya salah seorang reporter dari kian banyaknya kalangan hidup mereka sekali lagi.
Dalam hati, aku mendengar kalimat itu bagaikan "Apakah kau sedang berkorban?". Kuakui, karena pemikiran itulah yang membuatku berhenti. Namun, untuk membuat rencanaku berjalan dengan lancar, kubuka masker putih yang sedari tadi menutupi mulutku dan kukembangkan senyuman khas diriku. Tanganku melayang dan mendarat di topi hitam yang sejak tadi melindungi kepalaku. Menekannya semakin kedalam. Sampai menutupi keningku. Sambil mengatakan, "Aku suka pengorbanan."
Aku yakin saat ini penampilanku melonjak tinggi. Semuanya berkat dengan senyuman kejiku itu. Aku kembali melanjutkan langkahku yang tertunda tadi. Meninggalkan kalangan reporter itu bersama dunia bebas. Karena, sehabis momen ini aku akan melanjutkan hidup di belakang pagar-pagar besi. Berbeda dengan sebelumnya, benda yang kali ini bila kubuka tak akan menampakkan wajah seorang manusia yang kusayangi. Tetapi, bila kubuka benda ini akan ada masalah terbaru lagi.
Hari pertama tidak terlalu buruk. Karena aku dikirim ke tempat ini pada malam hari, aku langsung jatuh ke mimpi yang bertolak belakang dengan kehidupan nyataku. Seesok paginya, koran tebal menyambutku. Mungkin benda itu berniat untuk menghiburku. Aku buka kumpulan lembaran kertas tipis itu. Lembaran pertama menampilkan fotoku saat aku dikawal oleh polisi. Lembaran kedua begitu juga. Lembaran ketiga mengikutinya. Banyak lembaran yang menampilkan tentang diriku. Rata-rata, judul yang mereka tampangi ialah, 'Sang Psikopat Cantik' atau juga 'Psikopat Mungil'. Bibirku hanya membentuk lengkungan cerah karena lelucon yang mereka buat. Sejujurnya, aku masih tak pantas untuk disebut sebagai seorang psikopat. Asal mereka berpengetahuan saja, seorang psikopat sejati itu tak memiliki secuil perasaan. Sedangkan yang tengah mereka perbincangkan ini mempunyai berbagai macam perasaan.
Memang sangat berat melangsungkan hidup di gedung seperti ini. Namun, aku memang pantas mendapatkannya bukan? Jadi, penuh dengan keyakinan aku serta diriku akan keluar dari bangunan ini dengan tubuh serta pikiran yang bersih.
"Heh! Si psikopat cantik. Kau kedatangan tamu, tuh!" kata seorang polisi yang menjaga di depan besi-besi pelindungku.
Hmm, siapakah orang tersebut?
Pak polisi yang memberitahukan informasi tadi langsung membukakan sedikit celah di antara tempatku berada dengan di luar sana. Ada sepasang wajah yang sangat tidak asing bagiku.
Nael. Si Nael Yukto. Manusia yang seharusnya sudah berada di atas sana muncul di hadapanku. Apakah ia sejenis arwah yang sedang berniat menghantuiku?
"Hey! Rupanya kau disini. Bolehkah aku bertanya?"tanya lelaki itu. Tak ada kata yang bisa kuucapkan sekarang. Jadi, dengan mengganguk lah aku merespon pertanyaannya. "Mengapa kau harus terdampar disini? Padahal kakakku lah yang harus mendapatkan semua ini. Dia juga yang harus menerima sebutan sebagai psikopat itu. Oh ya! Bagaimana dengan bokong tebal orang tuaku. Mereka pasti dapat membebaskan mu dari tempat pengap ini."
Tawarannya begitu menggiurkan. Namun, tak bisa. Aku tak boleh melakukannya. "Tidak, Nael! Aku akan tetap menjadi psikopat di mata orang bila aku keluar dari sini. Lebih baik kau tinggalka tempat ini. Sebelum para reporter datang menyerbumu. Cepatlah!"usirku. Segera kututup celah yang sedari tadi menghubungkan percakapanku dengannya.
"Sayangnya, tidak bisa!"teriak seseoran dari luar sana, yang kupercayai itu suara Nael. Nekat sekali ia menciptakan suara nyaringnya di ruangan itu. "Perlu kujelaskan, kah? Oke. Tubuhku terlanjur berdiri disini. Mataku terlanjur menatap matamu dibalik jeruji besi ini. Otakku terlanjur berpikir berat untukmu seorang disini. Karena, hatiku ini yang telah menjerumuskan aku di tempat ini. Dan, satu lagi. Mulutku telah terlanjur mengatakan suatu paragraf yang penuh arti ini,"serunya di luar sana. Percaya saja, aku masih dapat mendengar suaranya dari dalam segel ini. Walu tak terlalu jernih.
Hiks-Hiks?
Satu, perlukah aku menangisi kalimat mutiaranya? Atau, dua, perlukah aku membalas perkataannya tersebut?
Oke akan kupilih nomor dua.
"Nael Yukto, pergilah dari ruangan ini dan tunggulah aku di dunia luar sana! Aku akan segera datang kembali. Aku berjanji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunggu aku!
Mystery / ThrillerBeribu pisau berusaha menghujam hatiku sejak dulu. Namun yang satu in tidak. Pisau itu berhasil lolos. Menelusuri labirin hitam di hatiku dan mendarat tepat di kelemahanku. - Vira Asoe