D

129 15 0
                                    

Suara lonceng di pintu kafe tersebut berbunyi, menyambut kedatangan para pelanggan kafe sebuah permen kapas yang berada tidak jauh dari letak sekolah Linzie. Mata Linzie sesekali melirik ke arah sekelilingnya, mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. Seseorang yang beberapa minggu belakangan ini selalu bersedia mendengarkan keluh kesahnya tentang betapa over-nya sikap Levin yang selalu mengawasi tiap gerak Linzie di mana pun Linzie berada juga masalah-masalah pelajar yang harus ia hadapi setiap pagi hingga sore.

Dan beberapa kali memang karena tingkah ceroboh dan 'gila sosmed' Linzie yang selalu meng-update kegiatannya di berbagai sosial media-nya yang tentunya membuat Levin selalu dapat mengawasinya dan mengetahui posisi Linzie.

"Kamu datang lagi, ya?" Linzie tersentak saat pundaknya ditepuk seseorang dengan senyum ramahnya yang selalu mengurangi hari-hari melelahkan yang Linzie jalani tiap harinya.

Seseorang itu adalah salah satu pelayan yang bekerja di kafe permen kapas ini. Yang tentunya selain menjual permen kapas, kafe ini juga menjual berbagai macam makanan yang bercita rasa manis. Membuat Linzie merasa mood-nya dapat meningkat pesat begitu saja.

Linzie membalas senyum pelayan tersebut yang memakai nametag bertuliskan 'Randi' di seragamnya dengan cengiran senangnya, seperti saat menemukan tumpukan gula-gula kapas yang ia dapatkan sebulan yang lalu hadiah dari Levin. Ah, menyebalkan saat Linzie memikirkan hal menyenangkan yang berkaitan dengan Levin, si cowok yang selalu menghantui Linzie kapan saja dan di mana saja.

"Ada apa lagi dengan pacarmu atau gurumu? Atau mungkin, pembantumu lagi-lagi lupa membersihkan potongan kuku-kukunya di karpet, hm?" Randi menampilkan tawanya yang tertahan, membuat matanya menyipit akibat lebarnya senyum yang ia sunggingkan.

Rasa hangat itu muncul. Muncul hanya karena Randi mengingat hal-hal bodoh semacam itu yang terakhir kali Linzie ceritakan seminggu yang lalu.

Bibir Linzie mencebik. "Lebih buruk. Pacarku itu gila atau mungkin punya obsesi psikopat sama aku." Linzie mengangguk antusias sendiri.

Dan rintik hujan turun seiring dengan cerita yang keluar begitu saja dari bibir mungil Linzie, melepaskan beban yang terasa mengganjal di hatinya. Beberapa kali mereka tertawa, berbagi tawa yang seirama, berbagi lelucon garing yang membuat mereka geli sendiri, berbagi cerita yang tidak pernah Linzie ceritakan pada siapa pun, kecuali Randi dan ... Levin. Iya, Levin. Karena tanpa Linzie sadari, Linzie selalu menceritakan segala tingkah laku Levin yang seringkali membuatnya jengkel dengan antusias kepada orang lain, tidak hanya Randi.

Dan Levin berhasil mendengar setiap tawa dan cerita mereka dari belakang meja yang Linzie duduki saat ini dengan sosok Randi tersebut. Levin sesekali menahan tawanya, biarlah jika cewek-cewek di kafe ini memandangnya aneh karena seorang cowok tampan yang tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas-kata lain: gila-Levin tidak peduli. Ia tertawa dengan sebab alasan yang jelas, amat sangat jelas.

Linzie selalu membicarakan dirinya pada orang lain.

Ah, bukankah hal tersebut manis? Bahkan, Levin sendiri jarang membicarakan diri Linzie di hadapan teman-temannya memang karena teman-temannya tidak tahu dan tidak ingin tahu tentang hubungannya dengan cewek playgirl yang menggemaskan tersebut (menurut Levin). Levin jadi semakin menyayangi seorang Linzie dan tidak ingin apalagi rela untuk melepas cewek tersebut. []

---

Kemungkinan cuma 3 part, nggak niat bikin panjang-panjang sebenernya, he. Namanya juga shortstory, ya nggak? Iya in aja udah~

Draft kedua [21/12/15]

-zia-

I Do | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang