2. Nama lo Rava, kan?

765 65 4
                                    

"Kak, minta duit dong!"

Dara menoleh ke  arah suara ketukan di pintu kamarnya. Menghela napas, ia pun bangkit dari tepi tempat tidur sambil membawa sepatu sekolah yang baru saja cewek itu lepas. "Nggak ada duit. Lagian, minta sama Mama kan bisa," sahut Dara begitu membuka pintu dan langsung keluar melewati Arda begitu saja untuk menaruh sepatunya.

"Mama lagi ke rumah temennya, Kak. Pinjem deh, cepetan Kak, itu nanti Abang esnya keburu pergi." Arda menyusul kakak perempuannya yang kini duduk di meja makan dengan segelas air di genggaman. "Please?"

Dara melirik Arda sesaat. Tak tega melihat Arda yang saat ini sedang menangkupkan kedua tangan di depan dada, Dara akhirnya merogoh saku seragamnya dan menyerahkan uang sepuluh ribuan. "Beliin gue juga, otak gue panas."

Arda segera mengambil uang dan menghilang dari pandangan Dara dengan begitu cepat. Sedangkan, cewek yang badannya masih dibalut seragam itu kembali melanjutkan aktivitasnya tadi di kamar, merenung. Dara cemberut, setelah berkali-kali berpikir, tanpa bisa menemukan jawaban. Masih terpahat di memorinya bagaimana cowok dengan motor besar berwarna merah pergi meninggalkannya di lapangan parkir begitu saja dengan rasa penasaran. "Kenapa dia nggak marah-marah ke gue, padahal sebelum gue dateng dia ngomel-ngomel sendiri? Kenapa juga dia nggak minta ganti rugi?"

Bukannya Dara tidak bersyukur karena ia bisa pulang dengan selamat tanpa amukan dan isi dompet yang utuh, tapi tetap saja, ini semua aneh. Cowok itu aneh.

"Kak, cup esnya habis, sisa satu cuma cukup untuk es Arda aja, jadi Kakak nggak kebagian." Arda menghampiri Dara yang masih melamun dengan satu cup penuh es puter di tangan kanan dan selembar uang lima ribuan di tangan kiri. "Kembaliannya buat aku ya. Makasih, Kak!" 

----

Dara melirik Sarah saat teman sebangkunya itu mengeluarkan buku Biologi. Lima menit lalu, bel pergantian pelajaran terdengar, membuat anak-anak kelas sepuluh IPA lima langsung berhamburan dari tempat duduknya. Pada saat itu, Dara sadar akan sesuatu. Cowok aneh itu, cowok pemilik motor besar berwarna merah itu, adalah teman sekelas Dara. Apa Dara bisa lebih sial lagi dari ini?

Dara baru menyadari hal ini karena kemarin saat hari pertama sekolah, ia tidak begitu memerhatikan teman-teman sekelasnya. Hanya Sarah dan Intan yang ia tahu, itupun karena Sarah adalah teman sebangkunya, dan Intan adalah teman Sarah sejak MOS. Saat proses pengabsenan pun, Dara tidak sadar akan kehadiran cowok itu karena dia dan teman-teman cowoknya duduk berkumpul di bagian belakang.

Dara menyesali hal itu.

"Sar? Mau nanya, boleh?" Dara menggoyangkan lengan cewek di sebelahnya. "Itu cowok namanya siapa, sih?"

"Cowok mana?" tanya Sarah. Matanya mengikuti telunjuk Dara yang mengarah pada seorang cowok berkumis tipis dengan ponsel di tangan kanannya. "Oh, itu... gue juga nggak begitu yakin, sih. Awalnya Ra gitu... Rava? Rava kali ya. Iya bener, Rava."

Dara mengernyit tidak yakin. "Bener? Yakin lo?"

"Yakin seratus persen, percaya sama gue. Gue denger kok, waktu guru-guru lagi ngabsen, mereka manggil namanya Rava."

Dara membulatkan mulut sambil mengangguk-angguk pelan.

"Kenapa? Cakep ya?" tanya Sarah santai, tapi direspons berlebihan oleh Dara, salah tingkah. Melihat itu, Sarah langsung tertawa. "Sans aja kali, emang ganteng itu."

Dara tambah salah tingkah. Ia menggeleng keras, tangannya juga ikut bergerak menggebrak-gebrak meja. "Bukan gitu," kilah Dara, "dia aneh. Masa kemarin gue ngaku nabrak motornya 'kan, terus dia diem aja. Padahal, sebelumnya gue liat dia ngedumel gitu."

Thank Me LaterWhere stories live. Discover now