14 Maret

13.3K 2.2K 466
                                    

[cerita ini juga di-post di blog aku, tapi versi Bahasa Inggris. jadi kalau kamu nemu cerita ini di situs lain pake Bahasa Inggris, mungkin aja itu blog itu. tapi kalau cerita ini ditemuin di situs selain wattpad dan blog aku, berarti mereka plagiat wkwk]

[]

Hari itu 14 Maret. Aku mengalami hari buruk di sekolah. Oh, sudahlah, hariku selalu buruk di sekolah—hal itu tidak bisa kuhindari; mereka akan terus menggangguku. Lagi pula, aku sudah terbiasa.

Tapi hari itu, aku juga bertengkar dengan kedua orangtuaku. Aku belum pernah bertengkar dengan mereka sebelumnya. Jadi setelah aku membanting pintu, yang ada di pikiranku hanyalah lari sejauh mungkin dari rumah.

Hari itu, aku benar-benar marah dan sedih. Maksudku, sebelumnya aku belum pernah repot-repot menangisi mereka yang menggangguku. Tapi saat itu, saat aku bertengkar dengan orangtuaku, tiba-tiba wajah mereka semua ada di pikiranku dan aku mulai merasakan rasa sakit yang seharusnya kurasakan sejak mereka mulai menggangguku.

Kurasa pertengkaran itu adalah pemicunya.

Jam 9 malam, aku duduk di bawah pohon ketika aku sadar hujan turun. Hujannya begitu deras dan datangnya sangat tiba-tiba, seolah-olah mencerminkan perasaanku saat itu.

Jadi, mataku mulai menitikkan hujan juga. Aku tidak peduli bagaimana memalukannya bagi lelaki sepertiku untuk menangis. Aku hanya begitu marah kepada mereka, kepada orangtuaku, kepada hujan, kepada burung yang berkicau.

Aku kira orangtuaku menyayangiku, itu yang kupikirkan. Aku menyayangi mereka. Aku ke sekolah setiap hari, menghadapi para pengganggu, hanya untuk melihat senyuman orangtuaku; senyuman mereka begitu tahu akulah juara kelas. Dan aku tak akan pernah membiarkan keduanya tahu, bahwa alasan di balik senyuman mereka juga merupakan alasan para pengganggu menggangguku. Mereka bahkan tidak tahu aku diganggu.

Tidak, aku tidak akan membiarkan mereka tahu. Karena aku amat menyayangi mereka.

Tapi semua rasa sayangku terbang pergi bersama burung yang berkicau.

Pada saat itu, begitu aku menutup mataku dan jatuh tertidur di bawah daun-daun hijau, aku tahu aku hanya ingin satu hal. Aku ingin mati.

[]

Aku membuka mataku saat mendengar suara kecipak air. Hujan deras mulai pudar, tapi keinginanku tidak.

Di depanku, aku melihat sepasang sepatu bot merah di atas genangan air. Begitu memandang ke atas, aku melihat seorang gadis tersenyum kepadaku dengan payung merah di genggamannya, melindungi rambut hitamnya yang panjang.

"Hai," katanya, menelengkan kepalanya.

"Apa?" Aku membalas dengan suara serak.

Dia hanya tersenyum dan terus berdiri di sana, namun tidak berkata sepatah pun.

"Pergi," kataku, mulai marah dengan gadis itu.

"Tidak akan." Dia tersenyum lagi. "Lagipula, aku datang kepadamu karena aku ingin mengajakmu bersamaku."

Aku pikir, ke mana? Dan, siapa gadis yang mirip Sadako ini?

Hal selanjutnya yang kuketahui adalah dia bisa membaca pikiranku.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku," kata gadis itu dengan suara lembutnya, seperti suara angin malam yang berhembus. "Datanglah bersamaku."

Aku pikir, gadis ini sangat bodoh berpikir aku akan dengan senang hati datang entah ke mana dengan orang asing seperti dirinya.

"Aku yakin kau akan senang datang bersamaku."

Aku memperlihatkan wajah marahku. "Mengapa aku akan senang? Pergilah!"

"Karena kau ingin mati, bukan?"

Tepat setelah dia mengatakan itu, aku tertegun. Wajah marahku memudar.

Begini, biar kuberitahu. Aku tidak pernah percaya bahwa yang mati bisa membawa yang hidup ke kemaitian; aku tidak percaya dongeng. Sungguh, aku tidak pernah percaya. Namun, dengan semua keinginan dan amarah yang aku punya saat itu, aku ingin memercayai itu.

Aku tahu dia membaca pikiranku. Karena kemudian dia mengulurkan tangannya dan menatapku, seolah menantangku untuk meraihnya. "Maka, datanglah," katanya lembut.

Aku menatap jari-jari panjangnya. Aku pikir, apa aku benar-benar menginginkan ini? Apa aku akan menyesalinya? Tapi kemudian, wajah kedua orangtuaku dan para pengganggu itu melintasi pikiranku, dan amarah, kesedihan, kekecewaan, apapun itu, mulai menguasai diriku lagi.

Jadi, tanpa keraguan, aku meraih tangannya.

Aku tidak menyesali itu.[]

Ke Tempat Aku Pergi Bersama Gadis Berpayung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang