Chapter 4 - Langkah Pertama

1.4K 59 14
                                    

"Ini salinannya."

Amira menerima lembar salinan perjanjian yang baru dibuat dengan gemetar. Hidupnya benar-benar dipertaruhkan dalam 10 hari ke depan. Jika dia sampai gagal menemukan Amira, maka...

"Kau benar-benar mirip Amila!" sebuah suara menyentakkan pikiran Amira. Gadis itu mengalihkan pandangan pada sosok laki-laki yang sudah setengah jam ini bergabung dengan mereka. Anindito Pahlevi, Dito, pengacara perusahaan sekaligus sahabat dekat Tyo. Dia sengaja dipanggil sebagai saksi dalam perjanjian mereka.

"Aku bahkan baru tahu kalau Amila punya saudara kembar. Ah, benar-benar mirip!" untuk kesekian kali laki-laki itu mengamati dengan takjub.

Amira hanya tersenyum samar. Perhatiannya kembali pada lembaran perjanjian di tangannya. Mulai merasa menyesal.

"Kecuali dandananmu yang sangat simpel, yang lainnya benar-benar mirip!"

Amira kembali tersenyum , tidak mengomentari apapun yang diucapkan Dito. Amira mendengar Tyo mengatakan sesuatu pada pengacara pribadinya, seorang laki-laki yang nampak masih tegap dan gagah meski sudah setengah baya.

Amira tergagap saat laki-laki itu pamit. Ia hanya sanggup mengangguk dengan senyuman gugup.

"Nah, aku sudah melakukan apa yang kau inginkan," ujar Tyo saat kembali ke mejanya. "Seandainya kakakmu tidak kembali dalam.waktu yang sudah dijanjikan, aku tidak akan menuntut ayahmu lagi. Tapi kau yang akan jadi gantinya."

"Aku tahu," gumam Amira.

"Juga jika sebelum 10 hari publik tahu tentang kaburnya Amila, maka perjanjian ini otomatis langsung berlaku."

"Aku mengerti," Amira menggigit bibir, mencoba meredakan resah yang menggelayuti hati. Isi perjanjian itu sangat berat sebenarnya. Menjaga rahasia kaburnya Amila dan mencari kakak kembarnya itu dalam waktu yang sangat sempit bukanlah hal yang mudah. Dan tadi dengan sombongnya ia menyanggupi semua.

Tyo mengamati dan diam-diam tersenyum, sedikit sinis, saat menangkap kegelisahan Amira.

"Ada pasal yang ingin kau ubah?"

Amira mengangkat wajah cepat. Beberapa detik memandang Tyo dengan rupa linglung sampai akhirnya mampu mencerna pertanyaan barusan.

"Tidak," gelengnya pelan. Tahu kalau Tyo hanya basa-basi. Sejak awal laki-laki itu tidak memberi sedikitpun celah untuk ia ikut andil dalam membuat pasal dalam perjanjian.

Begini rupanya kalau berada di pihak pendosa, keluh hatinya.

Tapi kemudian Amira teringat satu hal.

"Bolehkan aku meminta satu hal?"

"Apa?"

"Aku tidak ingin ayah dan ibuku tahu tentang perjanjian kita."

Tyo tersenyum.

"Tenang saja. Aku tidak akan memberitahu orang tuamu."

"Terimakasih. Kalau begitu aku pamit," Amira meraih tas yang tergeletak di sampingnya lantas berdiri.

"Senang bertemu anda, Pak Dito," senyumnya pada Dito yang sejak tadi diam memperhatikan.

"Panggil Dito saja! " ujar laki-laki itu sambil ikut berdiri.

Amira tersenyum tipis. Lantas menoleh ke arah Tyo.

"Aku pergi," ujarnya. Tidak ingin lebih lama lagi berada di sana, Amira beranjak ke pintu.

"Tunggu!" suara Tyo menyurutkan langkahnya. Gadis itu berbalik dan melihat Tyo sedang meraih telepon di atas meja.

Didengarnya Tyo bertanya pada sekretarisnya apakah ia ada janji temu atau meeting lagi sore ini.

Winter's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang