Chapter 7

125 9 0
                                    

Aku menatap bungkusan magic dust itu. Apa benar ini membuatku tidak terlihat? Aku belum pernah menyentuhnya sama sekali. Kali ini, aku harus mencobanya. Topeng itu sudah berhasil tinggal mencoba magic dustnya.

Aku melihat jam di dinding. Sudah tepat tengah malam dimana semua makhluk Tuhan telah masuk ke alam bawah sadarnya. Aku menaburkan magic dust itu di tanganku terlebih dahulu. Tapi tidak terjadi apa-apa. Aku masih melihat tanganku dengan jelas. Aku pun menempelkan tanganku ke dinding. Tanganku menembus. Yes ini berhasil. Aku langsung menaburkan magic dust itu di seluruh tubuhku. Aku bolak-balik menembus tembok hanya untuk memastikan aku tidak terlihat.

Kini aku bisa 'gentayangan' di luar rumah tanpa ada yang melihat tanpa ada yang mengatai-ngataiku jalang.

Aku berjalan ke arah selatan tepatnya menuju rumah ketua The Gangs, Casey. Aku masuk rumahnya dengan mudah tanpa izin sekalipun. Aku yakin Casey tidak punya indra ke enam. Aku menyusuri rumahnya dan masuk ke kamarnya. Casey duduk di kasur dengan memegang foto seseorang. Itu...

FOTO-KU

Ada 5 foto di genggamannya. 6 mungkin. Itu foto-ku ketika aku dibully olehnya. Entahlah siapa yang memfoto foto sialan itu. Casey tertawa sendiri sambil menuliskan sesuatu di belakangnya. Untung saja aku bisa membacanya. Semuanya merupakan ancaman bagiku.

Tiba-tiba handphone Casey berdering. Aku mendengarkannya beberapa saat. Itu Chloe. Percakapan itu sebetulnya biasa. Tak ada yang menarik. Tapi, saat Casey akan menutup teleponnya. Ia bergumam di teleponnya. Aku mencoba mendengarkan tapi tidak bisa. Casey menutup teleponnya lalu pergi keluar kamarnya. Ia pergi ke ruang makan. Aku mengikutinya. Casey mengeluarkan sebotol minuman.

Itu.. minuman favoritku. Sebotol matcha latte. Tapi untuk apa? Setahuku Casey tidak menyukai minuman lain selain air putih dan soda. Namun, ia mengeluarkan sebungkus plastik kecil dari saku celananya. Aku tidak tahu apa itu. Casey membuka bungkusan itu sambil tersenyum licik. Aku baru sadar kalau aku adalah makhluk tak kasat mata sekarang. Ingin rasanya aku merasuki tubuhku Casey. Tapi sayangnya itu tidak bisa. Aku masih hidup dan aku bukan arwah. Akhirnya, aku berdiri tepat di depan Casey. Untung saja dia tidak punya indra keenam. Bisa gagal rencanaku nanti.

Aku mencoba membaca tulisannya. Sial. Tulisannya sangat kecil. Aku memicingkan mataku agat bisa membacanya dengan jelas.

Oh ya tuhan. Untuk apa racun tikus itu? Apa ia akan mencampur racun itu ke minuman favoritku? Tebakanku benar. Casey menuangkan bubuk itu ke dalam minuman matcha favoritku. Ia mengocok-ngocoknya agar tercampur. Botol itu diangkatnya tepat di depan matanya. Casey tersenyum lagi. Merasa puas dengan apa yang ia lakukan.

"Oh, dear. Kuharap besok aku menemuinya. Aku akan bersikap ramah padanya dan memberikan minuman ini. Dia pasti tidak akan menolak. Kuharap dia tidur selama-lamanya. Dengan begitu tak akan ada lagi bocah kampung yang berlagak seperti bocah kota. Aku begitu muak melihat wajahnya."

Casey meletakkan minumannya di meja kemudian mengambil sebuah sereal dari dalam lemari. Dia akan makan malam. Mangkuk serealnya itu ia simpan di sebelah minuman matcha-ku.

Apa ia tidak tahu bahwa aku lebih muak padanya daripada ia muak padaku? Sejujurnya akulah yang ingin ia pergi dari dunia ini tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku terlalu polos. Jiwaku terlalu ke kanak-kanakan.

Casey meninggalkan semangkuk serealnya di meja tepat di sebelah matcha-ku. Terdengar suara dering handphone miliknya. Casey segera melangkahkan kakinya di tangga. Aku melihat semangkuk sereal dan matcha-ku. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul dari otakku.

Aku mengambil semangkuk sereal milik Casey dan menumpahkan susunya. Botol matcha itupun aku buka. Aku menuangkan matcha-ku ke dalam mangkuk sereal Casey sampai botol itu kosong. Sampah botol aku buang begitu saja ke tempat sampah.

Langkah kaki Casey terdengar. Ia sudah kembali ternyata. Mangkuk sereal itu langsung di ambil Casey. Dasar bodoh. Ia tidak sadar kalau botol matcha itu sudah ku buang ke tempat sampah. Aku mengikutinya duduk di sofa. Apa yang akan terjadi padanya? Lihat saja.

Memang, menit-menit pertama tidak ada yang terjadi. Aku kesal. Dan besar kemungkinan ini gagal. Ternyata dugaanku salah.

Lima belas menit kemudian..

Mangkuk ini terjatuh dari pangkuan Casey. Serealnya bertumpahan di karpet mahalnya. Casey memegangi perutnya sambil mengerang kesakitan. Ia terjatuh dalam posisi tertidur di karpetnya. Ia berguling-guling tak karuan. Sereal yang tumpah pun kini menempel di sekujur badannya. Dasar bocah jorok. Aku tertawa melihatnya begitu kesakitan.

Casey terus saja mengerang. Tubuhnya mulai bergetar begitu hebat. Wajahnya pucat. Matanya membelalak seperti akan keluar dari rongganya. Dan mulutnya, eww menjijikan. Busa-busa putih bermunculan dari dalam kerongkongannya. Sangat banyak. Sampai meleleh dari mulutnya mengenai pipinya. Kasihan Casey ia begitu menderita. Aku mendekat ke dadanya mencoba mendengar apakah masih ada detak jantungnya atau tidak. Aku bersorak ria ketika aku sama sekali tidak mendengar suara detak jantungnya. Dia. MATI.

Aku mengambil gunting dari tempat pisau yang letaknya tidak jauh dari jasad Casey. Dan tak lupa sebuah sendok. Mungkin besok akan terjadi sesuatu yang heboh jika bukan kematian The Popular Queen, Casey Mac Blurrie.

Tapi rasanya hanya seperti ini saja aku kurang puas. Akhirnya dengan menggunakan sendok, aku mencongkel mata sebelah kirinya keluar dari rongganya dan menggunting saraf-saraf yang melekat. Mata itu aku simpan di mangkuk. Giliran gunting ini. Aku menggunting daun telinga sebelah kanan Casey. Cukup sulit karena gunting ini tidak tajam seutuhnya. Hanya setengah bagian dari daun telinganya yang ku gunting. Karena gunting ini malah rusak. Aku pun mulai 'menata' jasadnya. Bola mata indah milik Casey aku letakkan di tengah mulutnya yang berbusa. Warna merah dari darah mata Casey bercampur dengan warna putih busa mulutnya. Menjijikan. Tapi bagiku itu menarik. Entahlah. Daun kuping milik Casey aku masukkan ke rongga matanya. Aku terbahak-bahak melihat wajah Casey yang baru. Culun. Aku melirik pisau yang menggantung di sana. Kupikir, aku harus berbuat sesuatu dengan pisau itu juga. Aku meraihnya dan segera menusuknya tepat di dada Casey. Darahnya langsung bermuncratan seperti air mancur. Inilah yang aku suka. Untung air mancur darah itu tidak mengenai badanku. Bau amis darah semerbak di ruangan itu. Kini, tubuh Casey bermandikan darahnya sendiri.

Aku mencabut pisau berlumuran darah itu dari dada Casey lalu menyimpannya di tangan korbanku itu. Sendoknya juga ku letakkan sama hanya beda sendok itu di tangan kanan pisau di tangan kiri. Gunting itu? Aku letakkan sembarangan. Aku membuatnya seolah-olah dia bunuh diri. Eh tapi tidak mungkin jika ia mencongkel bola matanya sendiri.

"Sweet dream, darlin'. Maaf membuat rencanamu gagal. Aku tidak tahan melihatnya sayang. Sungguh, aku sama sekali tidak punya rencana seperti ini padamu. Tapi karenamu, aku melakukannya. Maaf jika caraku terlalu kejam. Hidupku tenang disini. Kuharap kau begitu. Bye." aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah Casey. Meninggalkannya dengan keadaan sangat mengenaskan.

Aku tidak percaya dapat melakukan ini dengan kedua tanganku sendiri.

Hidupku belum tenang sebetulnya tinggal 4 target jika mereka tidak berlaku buruk padaku. Kini aku bukanlah seorang gadis cupu dan lugu lagi. Sayang, mereka tidak menyadarinya. Bahaya selalu mengintai mereka.

MetamorphsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang