TIGA

100 7 4
                                    

Dua piring kosong dengan beberapa sajian lainnya terhidang di atas meja kecil berbentuk bulat yang difungsikan sebgai meja makan. Selalu ia yang bangun terlebih dahulu dan selalu dirinya pula yang tertidur lebih cepat. Pagi ini pun begitu. Ketika sahabatnya masih asyik dengan dunia mimpinya sementara gadis itu sudah selesai dengan urusan dapurnya. Dua gelas air mineral sudah tandas sejak pukul 4 dini hari tadi.

Sambil menunggu panggilan sembahyang yang akan terdengar sebentar lagi, ia meraih ponselnya yang belum sempat disentuhnya sejak malam tadi. Ada 1 pesan masuk. Dari nomor yang tidak ia ketahui.

Hai, Nit. Ini Ryano. Besok aku ada jadwal praktik. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku praktik. Kabari aku yaa :)

Ditaruhnya kembali ponselnya dan dihirupnya udara sebanyak mungkin. Diajak praktik? Tentu saja ia mau. Namun mengapa harus dengan Ryano? Si pemilik mata coklat dan senyum hangat itu. Jujur saja, belum ada suatu yang aneh yang dirasanya. Tetapi siapa yang mengerti hati seseorang? Bahkan pemiliknya sendiri kadang tak bisa memahami.

Berhubung Riska akan kencan seharian dengan Ashraf. Daripada dirinya harus sendiri sepanjang hari, alangkah lebih bermanfaat jika ia ikut melihat cara seorang dokter bekerja. Menambah ilmu baginya. Toh, dirinya tak harus sendiri menjalani hari ini.

Hai, Ryan. Ok, aku mau ikut. Maaf baru kasih kabar. Aku baru lihat SMS kamu, heheh

***

"Duh, emang ya laki lo gak modal banget. Kan bisa dia naik taksi terus jemput lo di rumah gue. Masa gue terus yang jadi supir?" setengahnya kesal Anita keluar dari rumah sambil menenteng dua botol penuh berisi air mineral.

"Ya udah, nanti gue bilangin supaya gak ngerepotin bu dokter lagi," ujar Riska santai sambil menutup pintu rumah Anita. "Bu dokter atau calonnya dokter ya?" gumam Riska namun berhasil lolos masuk ke gendang telinga Anita. Dan sukses mendapat tatapan kesal dari Anita. Riska hanya menanggapinya dengan tawa.

Sepanjang perjalanan, mereka ditemani oleh alunan suara merdu milik Adele dan pemandangan khas kota gudeg. Beberapa topik gosip tentang artis-artis Hollywood yang sedang hangat diperbincangkan juga tak luput memenuhi mobil sedan berwarna putih milik Anita.

Tanpa sadar, mereka pun sudah tiba di depan hotel berbintang, tempat menginapnya Ashraf selama di Jogja. Riska keluar dari mobil dengan tas kecil berwarna peach menggantung di pundak kanannya. Mobil pun dilajukannya kembali. Saat ini tujuannya adalah rumah sakit di tenagh kota. Tempat praktik dr. Ryano.

***

Tangan kirinya menggandeng jas putih khusus untuk dokter muda. Dan tangan kanannya membawa satu botol air mineral berisi penuh. Lantai 2 ruangan praktik Ryano. Dan ia pun bingung ada di sebelah mana ruangannya. Lebih baik ia bertanya pada suster yang akan lewat.

"Permisi, sus. Ruangan dr. Ryano ada di sebelah mana ya?"

"Mbak lurus aja ruangan ketiga dari ujung. Sebelah kanan ya mbak." Suster itu melayaninya dengan ramah dan berlalu setelah Anita mengucap terima kasih.

Ia pun mengikuti arahan suster tadi, dan benar saja. Pintu ruangan itu terpampang nama Ryano yang ternyata dokter spesialis anak. Lucu juga mengingat Ryano adalah laki-laki yang cukup macho dan yang ditanganinya adalah anak-anak kecil. Pasti ibu-ibu muda yang riang gembira saat memeriksakan anak mereka, begitu pikir Anita.

Hampir saja Anita lupa pesan Ryano untuk mengabarinya kalau sudah tiba di rumah sakit. Sambungan telepon tersambung. Ryano mengangkatnya dengan cepat dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangannya langsung. Beberapa pasien-lebih tepatnya para ibu muda yang mengantar anak mereka-melihat Anita dengan tatapan menyelidik.

"Pagi, dok." Sapanya formil. Ia mengerti dimana harus baku dan santai. Dan saat ini adalah ranah kerja.

"Pagi, Nita. Kamu duduk di samping saya saja. Nanti kamu bantu saya untuk mendiagnosa dan jadi asisten saya sehari ini. Gak masalah kan?" jelas Ryano dengan tenang. Apa lagi di ruangan ini hanya ada mereka berdua, karena memang kebetulan perawat yang biasanya menemani Ryano sedang cuti melahirkan. Begitu jelas Ryano sebelumnya.

"Baik, pak. Yang penting saya dapat ilmu."

Ryano puas mendengar jawaban tegas dari Anita.

***

Saat ini mereka sedang perjalanan pulang dari rumah sakit. Sinar matahari sudah setengahnya tergelincir. Ryano yang mengambil alih setir untuk kali ini. Ada sedikit waktu untuk Anita mengistirahatkan lututnya yang kontraksi saat menginjak pedal rem maupun gas tiap harinya.

"Ryan, ibu-ibu tadi kayaknya pada seneng deh sama kamu..." Anita membuka pembicaraan tepat saat mobil berhenti karena lampu merah.

"Hahaha, aku gak ngerasa malah. Masa sih? Emang gimana?" Ryano malah penasaran

"Gak tau pasti juga sih. Tapi tadi ada satu ibu muda gitu yang ngeliatin kamu terus. Pas kamu lagi periksa anaknya, dia malah fokusnya ke kamu. Mungkin dia capek kali ya, di rumah ngurusin anaknya. Jadi hiburannya ngeliat dokter ganteng deh. Hahaha"

Ryano ikut tertawa mengimbangi Anita. Tetapi setengah alasan tertawa itu adalah, ia senang mendengar suara tawa yang baru kali ini ia dengar. Suara tawa dari seorang wanita yang baru dikenalnya. Namun, sesingkat itu dirinya pun sudah merasa pas di dekat gadis itu.

"Biarin lah. Istri orang gak mungkin aku ambil. Mending cari yang masih orisinil aja."Ryano menanggapi. Keduanya sama-sama tertawa kecil

"Kamu kenapa ambil spesialis anak? Kenapa gak jantung aja? Atau kandungan mungkin?" Tanya Anita penasaran.

"Entahlah. Aku suka anak-anak. Dan aku kira kalau nanti aku sudah punya anak, akan lebih berguna buat anak-anakku." Anita menanggapinya dengan anggukan mengerti.

"Coba kamu jelasin diri kamu..." pinta Anita, dan mobil pun mulai bergerak karena pergantian warna lampu lalu lintas.

"Kamu pengen tau aku? Atau gimana?"

"Gak gitu. Kan kita berteman dari sekarang, aku gak mau berteman dengan orang yang gak jelas asal usulnya."

"Asal-usulku dari orang tuaku. Mereka manusia juga." Anita mendengus mendengar jawaban Ryano. Ia biarkan saja.

Setelah beberapa saat diam meyelimuti keduanya akhirnya Ryano menjawab pertanyaan Anita sebelumnya, "Nama panjangku, Seryano Syarif. Umurku 29 tahun. Orang tua domisili di Jakarta. Aku sendiri sebenarnya tinggal di London. Cuma masih ada kontrak aja di Jogja. Udah kan? Giliran kamu."

"Ok, nama panjangku Janitra Lintani. Umurku 22 tahun. Orang tua tinggal di Jogja juga. Begitu."

"Udah? Segitu aja? Aku panjang-panjang terus kamu cuma secuil jawabnya?" nada kesal yang tak dimaksud sesungguhnya.

"Kan intinya sama aja, mas."

"Hahah, Aku bukan mas-mu."

"Hmm."

Mereka pun tiba di sebuah warung makan mie rebus khas jawa yang cukup terkenal. Setelah memesan makanan, mereka asyik melihat keluar. Dimana rintik hujan mulai mengguyur kota ini.

"Aku suka mendung. Gak tau kenapa. Aku gak suka terlalu panas, dan aku takut kalau hujan. Bukan takut sakit, cuma rasanya seperti akan runtuh saja saat hujan. Apalagi kalau ada suara petir. Aku pernah menangis karena hujan angin ditambah petir yang bikin telinga mau pecah." Entah dengan siapa ia berbicara, tapi orang yang duduk di seberangnya menikamti ungkapan dari bibir wanita itu.

"Aku juga suka dengan angin yang dibawa saat mendung." Jawabnya menimpali ungkapan gadis tadi.

Ternyata keduanya sama-sama penikmat langit kelabu.

SENDIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang