ENAM

55 6 0
                                    

Pukul 15.40 tepat ia baru keluar dari gedung ini. Tempat dirinya menjalani coass untuk beberapa waktu kedepan. Baru sehari ia menjalani kegiatannya menjadi dokter muda. Ditempatkan di sebuah Puskesmas yang cukup ramai pasiennya. Kabar penempatannya pun baru diterimanya saat ia baru saja mengantar Ryano di bandara. Ya, lelaki itu sudah mangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan keluarganya.

Sendiri ia mengendarai mobil pulang balik setiap harinya. Kurang lebih 15 km jarak yang menjadi santapannya di pagi hari maupun menjelang sore. Rencananya hari ini ia akan berkunjung sebentar ke rumah orang tuanya. Sudah lama rasanya ia tak melihat bangunan yang hangat itu. Hanya dihuni oleh ibunya tiap harinya. Karena ayah harus mencari nafkah di Surabaya. Baru pulang seminggu sekali. Itu pun kalau tidak ada rapat.

Ia jadi ingat jalanan di Jakarta yang dahulu sering ia bayangkan menjadi jalan sehari-harinya. Dahulu sempat ia berpikir untuk menjadi orang yang bekerja di gedung tinggi saja. Bermimpi menjdi seorang CEO ataupun direktur atau wakil direktur. Asalkan di gedung tinggi.

Namun ternyata bukan disitu takdirnya. Menjadi pelayan bagi orang banyak ternyata yang berhasil memenangkan pilihannya. Dibalik ibunya yang juga seorang yang bergerak dibidang medis, ia memiliki tekad sendiri untuk karirnya. Pikirnya dengan ia menjadi dokter, setidaknya ia tahu apa yang harus dilakukan ketika salah satu orang di rumahnya sakit. Sesederhana itu pikirannya. Namun ia berhasil mewujudkannya sebentar lagi.

Jakarta. Pasti lagi macet. Ryano. Bagaimana kabarnya.

Pertanyaan itu menggelitik sanubarinya untuk menyuruh tangannya untuk cepat mengambil telepon dan menelpon orang itu. Segera disergahnya pikiran itu dan tetap konsentrasi terhadap jalanan di depannya. Lamat-lamat pikirannya bercabang. Ia harus menuruti hatinya.

Sambungan telepon pun berbunyi mengisi ruang sempit mobil. Ia pun menunggu dengan perasaan gelisah. Baru kali ini ia menelpon Ryano terlebih dahulu setelah hampir sebulan mereka saling kenal.

"Halo..." suara nyaring yang di dengarnya. Suara perempuan. Tenggorokannya mendadak tandus. Ia membisu tiba-tiba.

"Ini siapa?" tanya si perempuan itu lagi. Anita buru-buru balik ke kondisi nyata. Ia bukan siapa-siapa Ryano. Mengapa ia harus bertanya-tanya tentang perempuan ini?

Anita mengambil nafas untuk menteralkan suaranya yang pasti kalau keluar akan terdengar bergetar, "ini Anita. Temannya Ryano." Jawabnya lantang. Rasanya seperti berusaha mengangkat ratusan kilo batu.

"Oh... Ada pesan buat Ryano? Nanti aku sampaikan." Perempuan ini cukup baik, tak pantas kalau ia berpikir yang tidak-tidak.

"Um, gak ada. Ya sudah, terima kasih ya..." lalu ia memutus jaringan teleponnya.

Sepanjang jalan menuju rumah orang tuanya, ia mendoktrin otaknya untuk mengiyakan hubungan perempuan tadi dengan Ryano, kalaupun ada. Tetapi pantaskah ia berhrap? Diantara banyaknya wanita di dunia ini, adakah kemungkinan ia bersanding di samping Ryano sepanjang hidupnya? Ah, kenapa harus berpikiran seperti itu. Bukan urusannya siapa yang hendak Ryano pilih di kemudian harinya.

***

"Eh, Nit. Kok pulang, nduk?" ibunya memandang kaget putrinya sudah ada di depan batang hidungnya saat ini. Tanpa sempat menelpon ataupun memberi kabar sebelumya. Ia mencium takzim ibunya dan masuk kedalam rumah yang bertemakan tradisional jawa ini.

"Lapar...Males masak di rumah. Jadinya aku kesini aja. Uang juga udah tipis buat beli makanan." Dengan melepas jas putihnya ia duduk di kursi meja makan. Di depnannya ada beberapa lauk sederhana. Ia pun menunggu ibunya mengambilkan lauk pauk untuknya dan menyuapinya. Sedikit manja sekali tempo bukanlah suatu masalah berarti.

"Udah coass masih aja minta disuapin." Ibu meledeknya dan memberikan suapan pertamanya.

Yah, sudah lama ia tidak diurus dengan ibunya sendiri. Dalam artian, selama ini ia hidup mandiri di rumahnya. Apapun yang menjadi keperluannya ada di tangannya sendiri. Kemana-mana harus setir sendiri atau naik becak atau naik ojek kalau ada bahkan jalan kaki. Semuanya ia lalui sendiri. Makanya, jarang ia punya waktu lebih untuk bersma dengan teman-temannya. Untung ia dikelilingi oleh teman yang mengerti dirinya.

Ibunya menyambungkannya kepada ayahnya yang nun jauh di Surabaya. "Ini loh pa, anak mu dateng-dateng minta disuapin aja. Gak nginep lagi."

"Yah, kan besok masih ke Puskesmas. Udah ah mau pulang. Keburu malam." Candanya. Ayahnya hanya tertawa mendengar suara dua perempuan dihidupnya selalu diselingi pertengkaran kecil. Sejak Anita kecil hingga saat ini tidak pernah berubah hubungan kedua ibu dan anak itu.

"Heh... udah. Anita buruan pulang deh keburu malam. Udah ya, ma. Papa baru sampai rumah nih. Mau mandi dulu."

Setelah mengucap salam kepada ayah, ia pun mengambil tas dan jasnya yang tersampir di kursi panjang. "Ibu, aku mau pulang dulu ya." Pamitnya

"Iya, hati-hati di jalan ya, Nit." Ia pun melangkah keluar rumah menuju mobilnya. Saat pedal gas mulai diinjak ibunya baru masuk rumah dan menutup lagi pintu rumah itu.

Jujur saja sedih, melihat ibunya harus sendiri hampir tiap harinya. Sama seperti dirinya, semua diurus sendiri. Namun begitulah keluarganya berlanjut. Ayahnya juga sendirian di Surabaya. Namun, memang begini cara mereka untuk berlatih. Ketika tidak ada siapaun yang bisa menjadi tumpuan untuk bersandar, yang diandalkan hanyalah Tuhan, alam, dan diri mereka sendiri.

***

Langit baru saja menggelap, dan ia baru saja tiba di rumahnya. Hal yang pertama dilakukan adalah menyalakan lampunya selanjutnya membersihkan tubuhnya. Usai itu ia sudah tak memiliki agenda berarti lagi. Sejenak ia duduk di balkon rumahnya yang terhubung melalui kamarnya. Sepi, seperti tidak ada yang menghuni rumah-rumah disekitarnya. Hanya cahaya lampu yang berpendar mengisi sudut pandangnya.

Dering ponselnya menghentikan lamunannya. Nama itu. Yang sejak tadi dirindunya. Rindu? Sejak kapan ia bisa merasa rindu pada Ryano?

"Halo, Anita..." sapa Ryano dari seberang sana. Anita diam. Bingung harus bagaimana. Ingin mengumpat karena ia menunggu Ryano sejak tadi, tapi siapa dia?

"Hai..."

"Tadi telepon? Ada apa, Nit?"

"Gak ada apa-apa. Gak penting juga, sih."

"Oh gitu. Oh iya tadi yang ngangkat telepon kamu itu kakakku."

Anita spontan bernafas lega. "Oh, kukira pacar kamu..."

"I have no special girl." Anita mengangguk. Percuma saja Ryano takkan melihatnya.

"Sudah malam, aku capek hari ini. Aku istirahat ya..." pamitnya, "Ok, semoga tidurmu nyenyak"

Ia berbohong. Ia tidak akan tidur segera malam ini. Ia ingin sejenak menikmati malam ini. Malam yang sebenarnya sama saja dengan sebelumnya. Namun, malam ini akan ia nikmati. Tidak seperti malam sebelumnya.

SENDIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang