TUJUH

60 6 1
                                    

Malam ini aku bersama keluargaku. Akhirnya setelah sekian lama kami tak bersua. Dorongan dari dia-lah yang membuatku tiba di rumah ini. Baru saja aku meneleponnya. Kalau di sana aku bisa seenaknya mampir kerumahnya atau mengajaknya makan di suatu tempat makan. Tapi malam ini, aku merasa terpisah sangat jauh. Entah mengapa, ada yang mengganjal sudut hatiku.

Aku merasa salah ketika rasa ini datang. Mengapa secepat ini. Bahkan sebelumnya belum ada status teman diantara kami. Tapi apa mau dikata. Siapa yang mau menghalangi matahari datang meskipun dari barat sekalipun? Hanya Tuhan kan?

Di meja makan kami membuat suasana semakin hangat. Aku melihat kedua orang tuaku masih bisa bersamaku sudah menjadi anugerah dari Tuhan yang paling kusyukuri. Melihat Kintan yang semakin cantik diusianya yang masih 11 tahun. Kakak ku, Kak Nadya yang tengah mengandung buah kasihnya dengan Kak Kavi, suaminya. Semua kutengok kembali setelah sejenak bisa melepas kesibukanku.

"Ryano, tadi siang yang telepon kamu itu siapa namanya?" Kak Nadya bertanya dengan nada penasaran. Aku malu. Jangan tanya kenapa.

Aku berdeham membersihkan suaraku, agar tidak terkesan sepeti anak baru gede sedang dilanda asmara. "Anita. Temanku di Jogja."

Lampu kuning. Kak Nadya mulai menyeringai, "Teman? Kok tadi dia sempat kaget, waktu dengar suara kakak? Yah, mirip orang mergokin cowoknya selingkuh."

Anita kaget? Kenapa? Apa dia berpikiran kalau Kak Nadya pacarku? Lalu mengapa dia peduli? Ada senang yang menghampiriku saat ini.

"Yes, she's my friend." Kataku mantap.

Aku berterima kasih kepada Deka yang rewel karena mengantuk. Akhirnya aku terepas dari pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Saat aku hendak menuju kamarku, ayah memanggilku. Ia memberiku isyarat agar mengikutinya. Ternyata ke ruang belakang yang memang sedang kosong. Tampaknya ia akan berbicara serius kali ini.

"I know you, my son." Ayah memulai percakapan. Aku mengernyit bingung.

"Kamu mau pulang kesini, ada alasan apa, Yan?"

"Aku ingin pulang. Aku rindu rumah. Ada apa sih, yah?" aku mulai tidak sabar dengan arah pembicaraan ini.

Ayah tersenyum, "Siapa yang mengalahkan ketangguhanmu pada kesibukanmu itu? Hingga berhasil menyuruhmu kesini?"

Aku paham. Dan akan kubiarkan ayah menjadi orang pertama yang tahu hal ini.

"She. I have no idea why. Tapi saat pertama aku lihat wajahnya, aku suka. Wajahnya tenang, apa yang orang pikirkan pertama kali tentangnya pasti akan mendapati pikirannya itu betul. Aku baru kenal dengannya. And I think your son just fall in love?"

Ayah menarikku mendekat dan mendekapku hangat. Beberapa tepukan ringan kurasakan di punggungku. "Kamu tahu, nak. Dia akan datang meskipun kamu tidak pernah memintanya untuk datang. Dia akan menyapamu meskipun kamu tidak pernah bertemu barang sekilas dengannya sebelumnya. Dia akan hadir dan membawa air untuk sisi terkering di hatimu. Ayah tidak tahu siapa dia. Hanya kamu yang akan tahu siapa dia."

"Udah ya, ayah mau tidur dulu." Aku mengangguk. "Ingat ucapan ayah tadi. Only you who can feel it."

***

"ARRGH!!!"

Dari mana ide gila ini muncul? Tentu saja aku tidak akan menurutinya. Mana mungkin aku akan melakukan hal itu dan akan terkesan gegabah. Tetapi apakah saat-saat seperti ini peduli terhadap kesan? Aku gelisah. Mana mungkin aku akan bergerak cepat sementara aku sendiri masih mengawang-awang untuk membacanya.

Dering ponsel yang mengganggu. Siapa pula pagi-pagi begini menelepon?

"Ya halo?" sapaku ketus entah pada siapa yang menelepon. Aku tak melihat namanya.

"Ryan." Caranya memanggil namaku. Aku tahu ini siapa.

"Anita?" seketika aku makin gugup. Dia yang sejak tadi menjadi topik kepalaku, tiba-tiba menyebut namaku.

"Lagi gak mau diganggu ya?"

"No! i'm free!"

"Eh, sebentar. Itu ada pasien datang. Pucat banget mukanya. Udah ya, bye."

Sesingkat itu. Bahkan Ryano belum sempat membalasnya. Aku pun kembali memikirkan tawaran menarik itu. Pemicunya bukan karena aku semalam menonton film romantis. Tetapi karena aku ingin menjaganya seluruh hidupku.

Perut ini berontak ingin segera terisi. Berpikir sedemikian kerasnya membuatku ingin cepat kenyang rasanya. Kulalui anak tangga dan melihat meja makan yang sudah terisi dengan menu sarapan pagi ini.

Karena ini hari terakhirku di Jakarta, aku ingin menemui seorang sahabat yang sudah lama kami tidak berjumpa. Sama-sama perantau saat kuliah dulu, dan terpisah saat kami sudah menjadi seorang dokter.

Bro, gue di Jakarta. Ketemuan?

Kukirimkan pesan singkat. Tidak butuh waktu lama untuk mendapat jawaban. Mungkin dia sedang libur sabtu begini.

Lah, kapan balik lo? Ya udah, di Senayan aja. Sekarang yak.

Aku mengiyakannya. Dan segera bersiap-siap menuju tempat yang dimaksud. Tempat kami biasa bertemu dulu di kawasan Senayan. Seperti biasa, kepadatan lalu lintas yang menghiasi ibu kota. Aku sudah meninggalkan kota ini kurang lebih tujuh tahun dan belum ada perubahan yang signifikan. Dan setelah hampir satu setengah jam perjalanan, aku tiba di depan kafe ini.

Bayu belum tiba. Aku memilih tempat yang sedikit banyak orangnya, agar terhindar dari telinga-telinga penguping. Entahlah aku hanya waspada. Meskipun aku bukan seorang artis ataupun mafia yang akan membuka proyek barunya, tetapi semua orang butuh privasi masing-masing.

"Ryan! Yan!" suara sahabatku. Aku menyambut uluran tangannya dan memeluknya singkat. Ia duduk di hadapanku dan seorang pelayan datang menghampiri. Bayu memesan black coffee, aku memesan secangkir soul of Tibet tea. Teh khas kafe ini yang kaya akan rempah yang semerbak wanginya.

"Wih, tumben lo inget Jakarta? Ada apa nih?" sindir Bayu yang kusambut dengan ringisan. Sebegitu lamanyakah aku tidak pulang?

"Nah itu masalahnya. Gue pulang karena gue lagi diganggu."

"Ada yang nyantet lo? Lo bacain ayat kursi aja tiap malem..." guyonnya. Aku memukul lengannya.

"Gak gitu. Eh, Bay," ucapanku terhenti ketika pelayan datang membawa pesanan kami. Aku belum tertarik untuk menyeruputnya, masih terlalu panas dan aku lebih suka ketika sudah sedikit mendingin.

"Lo percaya sama cinta pada pandangan pertama ga?" lanjutku. Bayu yang hendak menungkan bungkus gula pertamanya langsung terhenti. Dan menatapku seolah aku ini sedang berkata ngawur.

Bayu menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Menutup tawanya. "Ahahahahaha lo kenapa nanya begitu? Jatuh cinta, huh?"

Aku mengangkat tea bag dari gelas ku dan menaruhnya di piring kecil yang mengalasi cangkirku. Bahuku mengangkat.

"Jangan berubah jadi bego ya lo. Yah, meskipun ada. Tapi lo harus betul-betul make sure terhadap si dia. Coba lo realistis aja deh. Pake dikit nalar lo itu. Cinta emang gak pernah pakai nalar. Tapi itu buat cinta yang abal-abal. Lo mau rancang masa depan lo, ya pake logika lo juga,"

Aku mengangguk paham. Meskipun masih dalam proses cerna dalam otakku, tetapi memang ada benarnya.

"Emang sih, orang kalau lagi jatuh cinta bawaannya pengen cepet aja semuanya. Yang pengen dilambatin itu ya waktu kebersamaan lo berdua, kan? I know it right. But it's not about time. It's about destiny."

Takdir.

Tampaknya soul of Tibet di depanku sudah mulai mendingin. Aku segera menyeruputnya dan menghirup aromanya. Sambil menerka-nerka senyum yang sudah lama rasanya tak kupandang.

SENDIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang