The Choices

191 24 4
                                    

Perlahan-lahan kubuka mataku. Aku terbangun di sebuah ranjang kamar tidur besar. Mataku meneliti langit-langit ruangan ini. Aku terkejut, ini bukanlah kamarku. Ranjang yang kutempati terasa begitu asing buatku. Tak jauh dariku terlihat koper yang telah kusiapkan.

Aku mendudukkan diriku sendiri, mencoba bersandar di tembok. Ranjang ini langsung berhadapan dengan pintu masuk. Pintu itu terlihat begitu besar, dengan dekorasi indah. Ruangan ini bahkan tak memiliki jendela satupun. Aku menarik koper mendekatiku, koper ini cukup besar, dan aku telah menyiapkan pedang kakakku dalam koper ini. Untuk sekarang senjata adalah hal yang penting, walau aku tidak bisa menggunakannya.

Aku mengambil pedang itu keluar dari koper. Pedang putih tipis, lebar dan panjang, bersarung sarung pedang putih dihiasi ukiran mawar merah darah. Begitu indah dan menakutkan. Aku mengeluarkannya dari sarungnya, dan sebisa mungkin menyembunyikannya di balik selimut yang sedari tadi menyelimutiku.

Suara deritan pintu terbuka terdengar, aku langsung mengarahkan pandanganku kesana sambil menggenggam pedang putih itu. "Anda... siapa?" tanyaku ketika pintu sempurna terbuka dan memperlihatkan seorang pria yang kulihat sebelumnya.

"Rupanya kau sudah sadar Lilyca. Syukurlah," dia mengatakannya benar-benar seperti mengenalku. Satu hal, dia tidak punya sopan santun. Dia melangkahkan kakinya masuk.

"Jangan mendekat!" kataku tegas dengan sisa keberanian yang kumiliki. Terjadi keheningan beberapa saat, dia tak mendekatiku dan tak bergerak sedikitpun. Hingga akhirnya satu langkah kaki kanannya masuk ke ruangan ini. Aku sontak mengarahkan pedang di tangan kiriku ke arahnya.

Dia tak melanjutkan langkah kakinya hingga selang waktu yang begitu singkat terasa aura yang begitu menyeramkan. Mataku berkedip sekali bersamaan dengan hentakan nafas dan diikuti tanganku terhempas ke tembok masih memegang pedang putih itu. Hentakkannya begitu kuat hingga pedang yang kupegang terjatuh.

Kurasakan sesuatu mencengkram lenganku sesuatu yang membuat hentakan itu terjadi. Aku mengarahkan pandanganku ke samping. Disana, dia membungkuk dan mencengkeram lenganku dengan tangan kanannya. Hanya dalam sepersekian detik dia sanggup melangkah masuk mendekati ranjang yang jaraknya 5 meter dan menghempaskan tanganku. Terlalu cepat, dia monster.

"Jangan mengarahkan benda berbahaya seperti itu padaku. Aku bertaruh kau pasti bahkan tidak bisa menggunakannya," katanya sambil menatap lurus ke dalam mataku.

"Kau 'Monster'!" aku mengatakannya. Entah darimana keberanian itu datang, aku bahkan lupa sopan santunku.

Dia melepaskan cengkramannya, tanganku langsung lunglai ke ranjang. "Hei, aku punya nama, dan itu bukan 'Monster', namaku Louis," katanya sambil menghadap ke arah jendela yang entah sejak kapan sudah ada di samping kiri ranjang ini. Dia melanjutkan lagi, "Louis Calisto Patterson."

"Saya, Lilyca Raizel Rosalyn," sopan santunku mengambil alih diriku untuk menjawab. "Raizel? Jadi kau juga punya nama tengah?" responnya begitu cepat dan kembali mendekatiku.

"Jangan mendekat!" kali ini aku hanya mendesah kecil. Tiba-tiba dia menyentuh daguku menghadapkan mukaku yang semula tertunduk untuk menatapnya. Aku melepaskan tangannya dari daguku secepat mungkin, "Jangan menyentuhku!"

"Ah... jadi aku juga tidak boleh meminum darahmu?" tanyanya. "Kalau kau membutuhkan sesuatu ketuk saja dinding di belakangmu tiga kali. Kau bisa beristirahat lagi."

Dia berjalan keluar dari ruangan ini. Dia lalu memindahkan posisi kunci yang semula di pintu bagian luar menjadi di bagian dalam. "Aku tahu kau butuh privasi," katanya lagi.

Setelah beberapa saat, aku berjalan mendekati pintu itu. Ya, aku butuh privasi, aku mengunci pintunya dari dalam. Dia monster, dia vampir tapi aku tahu dia akan memegang perkataannya sebagai seorang pria. Aku percaya dia tidak akan mendobrak pintu ini.

Aku kembali ke ranjang itu, menggunakan selimut menutupi tubuhku dalam posisi menekuk lututku, mencari kehangatan dalam kesendirianku. Aku mulai tertidur lagi.

Entah berapa waktu yang telah terlewati. Aku membuka mataku perlahan, tenaga benar-benar mulai habis sekarang. Au belum makan sejak meninggalkan rumah dan ayah. Memikirkan untuk kabur dari sini, tidak mungkin dengan aku yang sekarang.

Aku lemah.

"Dok... dok... " suara ketukan terdengar dari samping kiriku. Entah hanya halusinasiku atau bukan, aku mulai mendengar suaranya. Louis Calisto Patterson.

"Aku tidak ingin kau mati. Aku tidak ingin kau hidup dengan membenciku. Aku tidak bisa melihatmu dalam kelemahanmu."

"Ayah, kakak, aku tidak mau sendiri."

"Pilihan ada padamu. Hidup atau mati?" 

I Don't Want To Be AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang