I'll take the risk

154 18 3
                                    

Aku masih berada dalam ruangan ini, hah... aku tidak bisa bergerak. Posisiku tentu saja berubah, badan ini sudah tak sanggup membuatku tetap terduduk. Saat ini, aku seperti seorang tunawisma yang kelaparan. Ranjang empuk yang sekarang kutempati terasa seperti tak memberiku kenyamanan sedikitpun.

"Hidup atau mati?"

Lagi-lagi kata-katanya itu masih saja terngiang di kepalaku. Tak ada hal lain yang bisa kupikirkan. Ayah, aku harap kau masih hidup. Kakak, aku ingin bertemu denganmu, aku yakin ayah juga. Ibu semoga kau tenang disana.

Pilihan ada di tanganku. Ya, dia pasti tidak akan membunuhku. Tapi, apa benar aku ingin tetap hidup? Apa aku layak untuk tetap hidup? Apa aku benar-benar tidak mau mati?

Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Terkadang aku terbangun dengan rasa lapar, putus asa, gelisah, khawatir. Tapi, tanpa kusadari aku sudah mulai tertidur lagi. Aku takut, saat aku tertidur aku tidak akan bangun lagi. Apa ini artinya aku tidak mau mati? Atau ini karena aku menikmati rasa sakit ini? Tidak, aku bukan seorang masokis. Itu artinya...

... 'Aku tidak mau mati!'.

"Semua orang pasti akan mati." Aku ingat ayah pernah mengatakannya padaku. Tentu saja termasuk diriku, tapi tidak sekarang. Aku mencoba menggerakkan tanganku. Ketuk temboknya tiga kali. Dia mungkin tidak mendengar ketukanku atau mungkin justru sedang tidak ada di seberang tembok.

Tapi, setidaknya dengan melakukannya, aku yakin aka nada sesuatu yang terjadi. Jadi, inilah aku sekarang, setelah berusaha payah mendudukkan diriku menghadap ke tembok. Tangan kiriku menopang tubuhku untuk tetap menghadapnya dan tangan kananku, dengan sisa tenaga yang kumiliki kuketuk dirinya.

Satu... dua... tiga.

*Author

Si pria, atau sebut saja sang pangeran. Louis Calisto Patterson, dia tidak mengira semuanya akan menjadi sesulit ini. "Dia terlalu lemah," katanya sambil bersandar di tembok perpustakaan. Dia memegang buku. Tapi dokter Frans tahu pikirannya tidak pada buku itu, semuanya terlihat dari bukunya yang terbalik.

"Anda terlalu kejam, anda bahkan melihat sendiri betapa lemahnya dia," ujar dokter Frans pada Louis. "Anda menyiksanya."

"Aku memberinya pilihan. Aku tidak mau dia hidup di bawah tekanan. Aku tidak mau dia terus bersembunyi dalam dunia kecilnya," tegas Louis.

"Jadi, anda ingin dia mati tersiksa di ruangan yang seperti penjara baginya?" dokter Frans merespon dengan tatapan kecewa. "Mungkin hidup ini terlalu sulit baginya, dan kekuatannya justru membantunya untuk menghancurkan dirinya sendiri."

"Kau mungkin benar, sudah seminggu sejal aku membisikinya pilihan itu." Sekarang Louis tak sanggup lagi untuk tetap bersender, ia terduduk. "Dia sudah menyiksa dirinya dan bertahan selama 10 hari. Dia sudah berusaha keras."

"Dobrak saja!"

"Tidak mau!"

"Hei, dia mungkin akan mati sebentar lagi."

"Diamlah!"

"Saya yang akan melakukannya," mendengar kalimat terakhir dokter Frans, Louis menatap tajam kearahnya membenarkan posisi kepalanya yang semula menunduk. Dia tahu, dokter Frans sudah berdiri dari kursinya. Tatapannya menutup perdebatan singkat itu.

"Dok... dok... dok... "

Begitu pelan, tapi Louis bisa mendengarnya. Tatapan tajamnya berubah seiring seulas senyum menggantikannya. Dia langsung beranjak dari dunia kelamnya.

"Aku mendengarnya! Dia mengetuknya!" katanya sangat girang. Dia langsung berjalan ke arah pintu dan berlari, tentu saja ke arah ruangan tempat LIlyca berada. Begitu cepat.

Dokter Frans terheran-heran. Tapi bukan karena kecepatan tuannya berlari, tentu saja dia sudah sering melihat gerakan cepat tuannya, "Bagaimana bisa dia mendengarnya?".

#TBC

Thanks for reading :D 




I Don't Want To Be AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang