Marcus
"Apa yang kau lakukan?"
Aku menatap gadis yang berhenti bersenandung ceria, ia bahkan mematikan api di kompor dan memutar tubuhnya menjadi menatapku. Wajahnya begitu bersih tanpa cela itu terlihat begitu bahagia, bahkan senyumnya tak tinggal ia berikan kepadaku.
"Tentu saja memasak nasi goreng ala Indonesia asli" jawabnya, ia terkekeh geli dan melanjutkan acara memasaknya yang kuganggu tadi.
Dan yang kulakukan adalah berdiri diam dibelakangnya, menatap rambut gelombangnya yang ia kuncir satu. Bisa di lihat dengan jelas jika ia memakai suatu kalung dilehernya, apakah ia masih menyimpan kalungku? Aku seketika memukul kepala karena berani memikirkan hal konyol macam itu, mana mungkin Amelia mau menyimpan kalung dari seorang bajingan?
"Daddy? You Okey?" Aku mendapati Mateo menatapku dengan tatapan bingung, aku hanya tertawa paksa dan menggendongnya. "nanny Mel" panggilnya kepada Amelia dan Amelia menatap Mateo dengan wajah berbinar bahagia.
"Good morning annoying kid" ucap Amelia sembari mencubit pelan hidung anakku, ia tersenyum lebar kepada Mateo dan mengambilnya dariku.
"Memang kau sudah memasaknya?" tanyaku, hanya basa-basi. Ia menatapku dengan senyuman lembut dan ia berhasil membuat jantungku berdetak seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta, yang benar saja.
"Tentu saja" jawabnya sembari memutar bola matanya, ah sial. Dimana senyuman lembut tadi? sekarang yang ada hanya senyuman menyebalkan tadi, dasar bocah. "Kau bisa mengambil punyamu disana" ucapnya, aku mengangguk dan mendengus kesal. Tetapi aku masih memperhatikannya, cara ia mendudukan tubuh mungil Mateo dan berbicara konyol dengannya untuk beberapa saat.
Hatiku masih sama, masih hanya ada dirinya. Jantungku hanya berdetak oleh gadis seperti Amelia, tubuhku masih menghangat hanya jika aku tak sengaja bersentuhan dengannya dan aku masih labil jika berada disekitarnya. Dan dari semua ini, bolehkah aku berharap kepadanya? Bolehkah?
_______________________________
Amelia
"MARCUS MARCUSSSS" Aku berteriak heboh didepan kamarnya diiringi tangisan hebat dari anak lelakinya yang super rewel tetapi manja ke ayahnya ini. "DEMI TUHAN MARCUS BUKA PINTU INI ATAU AKU MASUK TANPA IZIN" teriakku lagi, tapi yang kudapat hanyalah bunyi keran air yang malah membuatku emosi. Mateo bahkan tak henti menangis tanpa mengatakan apa sebab ia menangis, ini akan membuatku mati muda ya tuhan.
"DEMI TUHAN" teriakku kesal dan membuka pintu kamar Marcus dengan kesal, dan kau tahu pembaca apa yang kudapat? Ia sedang memilih bajunya hanya dengan memakai boxer dan headset yang merada dikedua telinganya, pantas saja ia tak mendengar. Aku memutar bola mataku, dan menatap punggungnya. Bagaimana jika aku mencakarnya? ide yang sangat briliant, dan eksotis? Demi tuhan seharusnya otak mesumku tidak ada di situasi seperti ini.
"Kau kenapa? Sudah gila ya?"
Aku menatap Marcus dengan tatapan seolah-olah ingin memakanya, demi apa ia bilang aku gila? Mana mungkin wanita cantik sepertiku mempunyai kelainan otak seperti gila, mungkin dia yang gila.
Aku memutar bola mataku lagi, "Ini anakmu tuan, dia menangis dan memanggil namamu" ucapku formal, ia hanya mengangguk dan mendekat. "Jangan mendekat bodoh, aku akan menaruhnya dilantai ini" tambahku, ia mengernyit heran. "Dan pakai bajumu" tambahku lagi. Ia terkekeh mengejek dan malah mendekatiku tanpa memakai baju terlebih dahulu, si-a-lan.
"Kau takut habis napas ya?" Ia mengambil alih Mateo dari gendonganku, dan setan kecil itu diam seketika. Ia bahkan menatapku sembari tertawa ala setan, anak dan bapak sama saja. "ya sudah sana sana" Ia mengusirku dengan cara mendorongku pelan dengan senyuman mengejek.
"KAUUUU" Aku melompat-lompat, sembari mengepalkan tanganku dan mencaci maki dirinya dengan bahasa indonesia. Jika aku tak waras saja sudah kupukul dirinya dengan tanganku ini, dasar lelaki sialan. Tetapi setelah melampiaskan emosiku di depannya aku segera berlari kekamarku yang berada dibawah dekat kamar Mateo, dan memukul pintu dengan sgenap tenagaku.
Tetapi disela-sela itu aku merasa begitu bahagia, bahagia karena telah bertemu dengan Marcus, bahagia karena bertengkar seperti biasa, intinya aku bahagia. Dan aku hanya bisa tersenyum kecil saat seolah-olah otakku memaksaku untuk berfikir, bisakah aku mengharapkan dirinya? mengharapkan seorang Marcus kembali padaku? Bisakah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nanny
RandomJika bukan karena keadaan ekonomi ku yang begitu menyedihkan ini, aku tidak akan mau bekerja dengan dirinya. Bayangkan saja, aku harus bekerja sebagai babysitter--atau juga biasa disebut dengan Nanny-- untuk seorang anak lelaki yang tidak bisa diam...