Awal dari segalanya

6K 302 80
                                    

Derap langkah kaki menghiasi koridor-koridor kelas yang tampak sepi. Hanya ada beberapa siswa yang tampak berlalu-lalang namun jumlahnya dapat dihitung oleh jari. Dari sekian siswa yang ada di sepanjang koridor, tampak sosok remaja berbadan kecil sedang berlari melewati koridor tersebut. Jika kalian bertanya siapa pemilik derap langkah kaki yang menggema disepanjang koridor, itu adalah remaja dengan rambut biru grayish yang berlari tergesa-gesa akibat dikejar pak RT karena ketauan nyolong mangga-eh- maksud saya, ia dikejar oleh waktu.

Setelah beberapa saat ia berlari menyusuri lorong-lorong yang ada di sekolahnya, akhirnya -setelah berabad-abad- remaja labil itu, sebut saja Ciel Phantomhive, akhirnya sampai juga di depan sebuah ruangan dengan tulisan di pintunya yang bertuliskan 'klub drama'.

Sebelum Ciel membuka knop pintu, ia menarik nafas dalam-dalam, lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya #plak maksud saya menghembuskan gas karbon dioksida sebagai hasil dari pernafasan. Kok malah jadi belajar biologi?
Setelah beberapa detik melakukan aktifitas yang sama, akhirnya remaja laki-laki berwajah cantik bak seorang gadis (*ditendang Ciel) itupun menggerakan knop pintu dan membukanya. Disana, kedua iris mata bak batu sapphire itu menangkap sosok musuh kebesarannya, Sebastian Michaelis. Seorang pemuda tamvan dengan wajah pucat licin bak lilin, dengan rambut hitam yang dibelah bokong -eh maksudnya belah tengah, dan kedua mata merah darah. Jujur saja ya, sebenarnya sih Ciel sedikit iri dengan Sebastian. Bagaimana tidak? Sebastian itu badannya atletis, TINGGI pula. Sedangkan Ciel?

"Wah wah wah, lihatlah siapa yang terlambat?" Suara baritone dengan nada menggoda seperti om-om pedofil yang sedang mencari mangsa. Itulah yang Ciel pikirkan saat mendengar suara Sebastian.

"Heh? Siapa kau, Michaelis?" Ciel bertanya dengan nada arogant, seperti biasanya. "Tidak sepantasnya kau berkata begitu. Lagipula ngapain kamu kesini, mesum? Mau stalkerin aku hah?" Kali ini dahi Sebastian berkerut. Dalam hati, sang raven berpikir bahwa Ciel -si cowo cantik- lagi geer sama dia.

"Aku bukan stalker kok" jawab Sebastian simple. "Lagian aku kan ikut klub drama, jadinya ya wajar kalo aku disini" jawabnya santai, sementara Ciel shock ditempat.

What the hell?! Ciel menjerit dalam hati, seakan-akan saat itu juga adalah kiamat baginya. Sementara kedua mata besar Ciel semakin besar gara-gara shock, Sebastian pun menyeringai. Seribu satu rencana licik pun muncul di benaknya.

"Hmm..." Sebastian memasang wajah sok berpikir. "Atau sebenarnya kau datang ke sini untuk mencari ku? Dan memata-matai ku?"

Simpang segi tiga muncul di pelipis Ciel, sementara wajah mungilnya tampak merah padam karena amarah yang membakarnya sampe gosong. "WTF?! AKU TIDAK SUDI STALKERIN MICHAELIS KAMPRET MACAM KAO!!" Teriak Ciel beringas, membuat telinga Sebastian tuli sejenak.

"Jawab santai aja kali, gak usah teriak-teriak gitu. Lagian suara mu itu juga gak terlalu enak" komentar Sebastian acuh tak acuh sambil ngorek-ngorek telinga(?). (Mungkin dia ngambilin kotoran telinganya pake jari#plak)

"WUT?!" Ciel -tentu saja- tidak terima. Kayak gak tau aja Ciel itu kan memiliki harga diri tinggi, jadi tidak mungkin ia mau menerima komentar negatif dari siapapun termasuk rivalnya, Sebastian.

"Udahlah, gak usah ngajak ribut deh cebol. Yang penting sekarang, aku mau tau dimana yang lain?" Mendengar panggilan 'cebol' dari rival sejatinya (a/n: setidaknya walaupun mereka berdua memiliki perbedaan fisik yang *ehem*jauh*ehem* tapi nilai mereka sama" peringkat satu dalam satu angkatan), simpang segi tiga muncul kembali di dahinya. Sementara Sebastian hanya kipas-kipas dengan tangannya, dan duduk diatas kursi.

"SIAPA CEBOL KATAMU?!"

"Tentu saja kau. Masa aku? Emang kau tidak lihat kalo tinggi mu itu dibawah rata-rata anak cowok?" Sebastian kembali memasang senyum liciknya, dan wajahnya memasang ekspresi menyindir yang kentara.

Boys Love ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang