"Dimana PRku, Jane?"
Rasanya sangat tidak karuan. Otakku terus melontarkan beberapa rangkaian kalimat yang membuatku bingung aku harus berkata apa. Yang aku lakukan sejak tadi hanyalah mengucapkan 'a' secara berulang –ulang.
"Dimana!"
Brak!
Aku tersentak kaget. Reflek mundur beberapa langkah ke belakang karenanya. Takut dengan seorang gadis berambut hitam sebahu yang sedang berdiri di hadapanku. Ini bukanlah pertanda yang baik.
"A-aku mengerjakannya. S-sungguh!" Ucapku dengan kedua tangan yang menyilang di hadapan wajahku. Berusaha berjaga-jaga jika mendapat serangan secara tiba-tiba.
Aku menurunkan tanganku perlahan. Menundukkan kepalaku.Takut menatap wajah marah milik Alexa. Ya, aku disiksa dengan orang berbeda setiap harinya. Menyedihkan.
Brak!
Dengan waktu beberapa detik meja itu pun sudah tergeletak di lantai. Membuatku kembali tersentak kaget. Ya Tuhan.
"Ambil itu sekarang juga!"
Dan rasanya tubuhku langsung bergerak sendiri tanpa berlari meninggalkan kelas. Melewati lorong dan mendapat tatapan dari orang-orang dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Mengambil nafas.
Tanpa berpikir panjang, aku pun kembali melanjutkan langkahku dengan nafas pendek. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan menahanku membuatku memutar kepala.
Terlihat seorang lelaki beriris cokelat menatapku dengan wajah tegas. Dan tidak, sungguh aku tidak terpesona. Aku hanya...
"Mau kemana kau? Bel baru saja berbunyi!"
•••
"Jika terjadi sesuatu lagi. Tolong laporkan pada kami."
Aku mengangguk pelan. Dapat kurasakan seseorang merangkul bahuku pelan. Membawaku berjalan menjauh. Aku takut. Sangat ketakutan.
"Tenanglah, Sandy bilang dia akan segera memberi pelajaran kepada Alexa." Hiburnya. Tentu saja, itu mudah untuknya tidak merasakan apa yang kurasakan.
"Namanya Shawn, Dy." Ucapku mengoreksi ucapannya sembari menggosok hidungku dengan tisu yang baru saja Dylan berikan.
"Terserah katamu." Sahutnya sembari mengangkat bahunya. Tanda dia tidak peduli.
Saat ini, kami sedang berjalan menuju kelas. Melewati orang-orang yang menatap kami aneh dan Dylan membalasnya dengan tatapan tajamnya. Tetapi itu tidak mengurangi rasa takutku.
Aku pun menghempaskan bokongku di bangku saat berada di kelas. Orang-orang menatap kami, lagi. Bagai baru saja membunuh kepala sekolah. Sungguh, secara mental aku tidak dapat menerima tatapan seperti itu.
"Hei, Dylan! Kenapa tidak duduk bersamaku saja?" Suara milik Grace memenuhi gendang telingaku. Membuatku bergetar karenanya.
Aku pun menundukkan kepalaku dalam-dalam. Mungkin jika aku sedang berjongkok tubuh sudah tergulung. Ini salah satu mimpi burukku.
"Tidak." Sahut Dylan singkat, padat dan jelas. Sepertinya cukup menusuk untuk seorang Grace. Mengingat dia adalah ratu sekolah.
"kau lebih memilih duduk bersama si buruk rupa Jane dibanding denganku? Sang ratu sekolah? Apa ada sesuatu yang bermasalah dengan otak atau seleramu?" Serunya nyaring tidak terima. Oh Tuhan.
Dengan gerakan cepat aku pun berdiri. Berjalan cepat keluar kelas sembari menyandang tasku. Aku tidak sanggup lagi. Tapi, tidak berani melawan. Oh, mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ugly Cinderella
Fanfiction"What do you think about Janessa Lyan?" Ugly, Weird, Nerd, etc. Just that? They know nothing about her. Her life is like in hell. No happiness. No smiling face. Everybody see her like she is the only one reason for the destruction of the world. Unti...