Prolog

182 13 8
                                    

Prolog

👑

"Kesempatan lain aku melihat diriku jatuh adalah saat terluka. Terlebih luka yang lama, pada orang yang sama."

👑


Hujan memang selalu membawa berbagai macam emosi kepada setiap penikmatnya. Entah itu semacam euforia yang dirasakan kepada pengagumnya yang jatuh cinta, atau pula sebagai teman untuk merasakan sesak dan pilu yang disebabkan oleh hati yang terluka.

Gadis itu duduk menikmati hujan yang turun sembari menggenggam erat cangkir yang berisi cokelat hangat dari dalam café tersebut. Selang beberapa menit kemudian, ia menghembuskan nafas kasar bersamaan saat ia menutup matanya.

Hatinya terasa sesak, bagaikan ada ribuan palu godam yang tak henti-hentinya menabuhi hatinya. Hatinya terasa berat, bagaikan tertimpa oleh seluruh bongkahan dari peliknya masalah-masalah yang ada di dunia.

Nama gadis itu adalah Zatta Keyshakila Ramanda. Gadis berdarah blasteran pribumi dengan ayahnya yang berasal dari Jerman.

Terdiam, ia lagi-lagi melakukan kegiatan yang sama sejak satu setengah jam yang lalu sembari sesekali menatapi layar ponselnya dalam diam. Tidak, tentu ia tidak menunggu pesan atau notifikasi siapapun. Apalagi dari lelaki yang sudah menghancurkan hatinya. Hanya saja, entahlah, ia pun tak memiliki alasan yang jelas atas hal itu. Bahkan pernyataan dimana ia tidak menunggu apapun, ia tak dapat membuktikan bahwa itu bukanlah sebuah alibi.

Setelah hujan di kota Brisbane berhenti, gadis itu keluar dari kedai cokelat ternama yang terletak di Stanley Street Plaza dan menghirup napas dalam-dalam seolah oksigen akan habis. Setelah dirasanya puas, ia melanjutkan langkahnya menuju halte bus untuk menuju ke apartemennya.

Udara di Australia saat ini memang dingin dan sejuk. Terlebih lagi di kota Brisbane dengan suasana setelah hujan. Tapi seluas dan sebanyak apapun udara yang ia hirup, hatinya tetap terasa berat. Hingga seringan apapun udara yang tersedia, nafasnya terasa sebu.

Ini sudah lebih dari dua minggu ia disini, dan besok adalah kepulangannya ke Indonesia. Tapi liburan yang ia rencanakan untuk menyembuhkan hatinya tak berdampak apapun.

Zatta memasangkan headset ke telinganya. Tangannya berhenti di playlist yang telah ia beri nama hanya dengan simbol titik pada ponselnya. Tetapi tidak, ia tidak akan memutar lagu yang ada di dalam daftar itu lagi. Ia tidak akan memutar lagu dimana setiap lukanya sudah tergambar jelas mengisi setiap melodi dalam playlist tersebut.

Alih-alih mendengar lagu pada playlist yang selalu menguak ulang kenangan, ia memilih untuk mendengar lagu dengan genre trap dan memulai dengan volume dimana ia tidak dapat mendengar apapun yang terjadi di lingkungannya.

Hingga akhirnya bus yang ia tunggu datang, ia pun masuk ke dalamnya dan menunggu bus itu berhenti di halte dekat apartemennya. Gadis itu tersenyum, kepalanya pun ia buat mengangguk-angguk seirama dengan nada yang ia dengar. Manik matanya memandangi jalanan-jalanan yang ia lewati. Suasana setelah hujan masih melekat jelas di luar walaupun ia ada di dalam bus tersebut.

Ia menipiskan senyumnya, mencoba menenangkan hatinya yang mulai melonjak-lonjak ingin menguarkan rasa perih itu kembali. Terus menahan senyumnya, tapi ternyata ia gagal lagi. Karena walau bibirnya masih mengulum tipis, lagi-lagi air mata itu menetes lagi entah untuk yang keberapa kali.

Ia menyeka air matanya. Dan menengadahkan wajahnya ke atas, untuk mencegah air matanya keluar lagi. Setelah ia merasa mampu menaklukkan air matanya, ia tersenyum lagi untuk menyembuhkan hatinya.

Setelah melewati beberapa pemberhentian bus, akhirnya gadis itu memilih turun. Memang apartemennya berada di pemberhentian selanjutnya, tetapi ia lebih memilih untuk berjalan kaki. Alih-alih menyeimbangkan perasaan lelah dalam hatinya.

Ia mengambil langkah sambil mencoba menikmati atmosfer di negara Australia untuk yang terakhir kalinya sebelum kepulangannya di esok hari walau hatinya sulit disetarakan. Tapi ia tak perduli, ia terus mencoba menemukan titik nyaman pada kondisinya saat ini. Hingga tanpa terasa ia sudah sampai di gedung apartemennya. Saat ia hendak memasuki pintu masuk, ia melepaskan headsetnya dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya.

Dan setelah selesai dengan urusannya, gadis itu mulai melanjutkan langkahnya dan menatap ke depan. Namun langkahnya seketika terhenti. Ia terperanjat, terlihat jelas dari pupilnya yang melebar. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan hatinya terasa lebih sesak dari sebelumnya.

Zatta menundukkan kepalanya, mengepalkan tangannya kuat-kuat bukti ia sedang menahan gejolak emosi yang ada dalam dirinya. Badai yang semakin kencang menghantam hatinya. Gadis itu mencoba untuk melangkahkan kakinya yang terasa berat. Mencoba menahan fokus pandangannya saat matanya mulai berkunang-kunang oleh genangan.

Disana ada laki-laki itu. Pemuda yang telah menghancurkan hatinya tapi terus saja menyulut afeksinya. Dan parahnya, tatapan matanya tak lepas dari gadis yang diam-diam berusaha untuk berdamai dengan hatinya di detik ini juga.

Zatta menggelengkan kuat-kuat kepalanya, mencoba mengabaikan semua perasaannya yang mulai melimpah-ruah. Pada posisi tundukan dalamnya, ia berusaha untuk melangkahkan kakinya mengabaikan keberadaan lelaki itu.

Gadis itu terus berjalan. Entah setelah sampai di dalam apartemennya nanti ia akan menangis meraung-raung atau melakukan hal bodoh lainnya untuk meratapi hidupnya, tetapi yang jelas saat ini ia benar-benar ingin pergi. Tidak, ia harus segera pergi dari tempatnya berdiri saat ini. Ia tak bisa terus berada disini. Terlebih tubuhnya yang mulai panas karena merasa tatapan itu menghujamnya.

Setelah ia mampu melewatinya, ia terus melangkahkan kakinya tanpa mau menoleh lagi. Perasaan yang sedari tadi memberontak dalam hatinya yang sudah tak karuan itu tak juga hilang sedikitpun.

Zatta memasuki lift dengan lesu dan menekan tombol dimana akan membawanya menuju lantai apartemennya. Setelah lift berdenting dan terbuka, gadis itu keluar dan jalan menuju ruangannya dengan luar biasa lemas. Ia tak mengerti bagaimana harus menggambarkannya, yang jelas ia merasa bahwa saat ini kakinya sudah meluruh.

Ia berjalan pelan sembari berkali-kali menghapus air matanya. Belum, ini belum sampai di dalam ruangan, batinnya menguatkan. Membuatnya mulai memacu kakinya lebih cepat menggunakan seluruh tenaganya agar ia bisa segera sampai.

Hingga ia berdiri di depan ruangannya, mengeluarkan keycard nya dan membuka pintunya. Namun saat ia hendak masuk, langkahnya tertahan. Genggaman hangat seseorang menghentikan langkahnya untuk masuk.

Tubuh gadis itu semakin kejur, tangannya pun dirasa seketika dingin. Mata gadis itu melebar kaku, namun ada genangan yang mengganggu di balik kelopaknya yang membesar.

Ia menghentakkan genggaman yang meraih tangannya itu dengan sekali sentakan kasar tanpa menoleh sedikit pun. Gadis itu mengeraskan hatinya, berniat untuk meninggalkan siapapun yang tadi mencegahnya dan langsung berlalu masuk. Namun tubuhnya pun tak dapat dibohongi, hingga kakinya kehilangan kekuatannya dan meluruh lemas.

Zatta menangis sesak, tanpa ada yang bisa ia tahan lagi. Hingga laki-laki yang tadi mencekal tangannya pun ikut merungguh juga dan menghapus air mata gadis itu perlahan.

"Lihat gue, Ta. Buka mata lo. Gue disini," pinta lelaki yang ada di hadapannya itu dengan lirih. Namun gadis itu menggeleng, tetap memejamkan matanya.

Ia tak ingin melihat wajah pemuda itu lagi. Karena ia tahu, sekalinya ia membuka matanya segala luka yang terpendam pasti akan bersua pula.

Cukup lama mereka berdua bertahan dalam posisi yang seperti itu hingga pada akhirnya Zatta lebih memilih untuk menghentikan tangisnya.

Dengan mata sembab ia menatap lelaki dihadapannya seolah semua yang telah terjadi bukanlah apa-apa dan dirinya masih baik-baik saja. Gadis itu mengumpulkan napasnya susah payah, "Hai," ucapnya setelah ia memiliki pasokan udara yang cukup sembari memaksakan senyumnya yang sudah getir.

●○●

Akhirnya ini bagian ini gue post juga setelah dari 2 tahun yang lalu kek sampah yang gapernah di notis di laptop gue😭

Selasa, 31 Oktober 2017.

The Hurricane I Never Deal WithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang