7. Kepikiran

280 28 5
                                    

"Tadi aku sama dia, 'kan?" Isah mendekatkan wajahnya.

Deg. Kok gue nyesek denger 'aku sama dia'. Plak.

"I-iya... terus? Lo jadian sama rashid?"

"Bukan, elaaah." Isah mengibaskan tangannya. "Rashid... ternyata... Mahoo."

"APAAA?! RASHID MAHOO??!!"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

7. Kepikiran


Rashid Maho? Masa sih?

Pikiran-pikiran itu masih melintas manja di kepala gue. Teriang-ngiang terus. Entah kenapa, padahal gue udah berusaha biasa aja toh di jaman sekarang ini manusia-manusia begituan udah merambah kemana saja. Tapi kenapa hati gue kerasa ada yang nggores gitu ya? Apa karena itu kata-kata dari Isah yang emang mulutnya tajam setajam gundu? Salah, maksudnya silet.

Arghh bodo amat deh.

Gue berguling ke sisi kanan, mengubah posisi gue yang semula terlentang kini tengkurap. Bantal yang ada di sekitaran gue raih lalu gue jadiin bantalan buat dagu gue yang ranum. Pikiran-pikiran itu mulai merangsek lagi. Tapi enggak, gue nggak mau galau gegara satu pernyataan bodoh dari Isah yang menyatakan guru les gue agak beda.

Sudahlah gue gak pedul. Mau dia ini kek itu kek, alien sekali pun kek, intinya dia tetep guru les gue, 'kan? Gue juga keknya gak sejahat itu. Keknya. Haha. Plak.

Tingnung

Suara khas notif sebuah aplikasi pengirim pesan online keluar dari ponsel kuning gue, membuat gue agaknya terperanjat dan mulai meraih-raih ponsel itu yang berada di atas nakas. Dari Rashid? Moga deh. Hihi.

Lah dari Isah semvak ternyata laah. Males banget gue buka. Mana DN-nya aneh gitu lagi.

Tingnung

Dia pm gue lagi noh. Buka gak ya?

Hayati baper : Gi (08:31)

Hayati baper : Woy Gi kok gue keinget terus ya? (08:32)

Hayati baper : RASHIID WEHH RASHIID GURU KITAAA

Kan bener. Gue nyesel baca pm dia. Sumpah. Pertahanan otak gue yang menahan-nahan supaya pikiran-pikiran itu gak masuk lagi kini runtuh sudah. Gue mulai berkhayal lagi.

Hayati baper : Gi (08:40)

Hayati baper : kacang kacang. Bu, kacangnya buk. Murah kok. (08:42)

Gue : apaan? (08:43)

Hayati baper : lagi jualan kacang (08:43)

Gue : ya sono lah di pasar jualannya (08:44)

Hayati baper : .-. (08:44)

Hayati baper : Gi (08:46)

Kring kring kring

"Apaan?" ucap gue judes sesaat setelah gue pencet tombol terima di ponsel gue.

Terdengar balasan dari seberang telpon sana. "Judes amat. Lagi PMS, buk?"

"Biarin," Gue melet. Untung aja dia gak liat.

"Dih, woles weh." Terdengar lagi suara Isah dari ponsel gue. "Gak kangen apa sama pinces?"

"Njiirr. Khayalan lo parah sis, beneran." Gue memutar bola mata gue.

"Wakss." Gue dikit denger dia mendengus."Gi."

"Apaan?"

"Rashid, gi. Rashid."

Kan dia mulai lagi. Semvak banget gak sih tuh bocah.

"Lo sekali lagi ngomong Rashid maho gue mutilasi lo."

"Lah gue kepikiran terus, pret. Lagian mau curhat sama siapa lagi?"

"Sama orang lain aja sono. Kalo enggak ya sama rashidnya sendiri."

"Weh. Masa sa—"

Brakk

Sebelum Isah menyelesaikan perkataannya tadi tiba-tiba pintu kamar gue kebuka. Gak keras-keras amat sih, tapi cukup lah buat kedengeran sampe ke Isah yang notabene lagi di seberang. Gue langsung bangkit terduduk di kasur.

Ega, mengenakan kaos oblong dan celana pendek, dengan muka santai dan polosnya nongol dari balik sana. Ia kemudian mangap-mangap menggerak-gerakkan mulutnya naik turun, kek ngomong tapi gak ada suara.

Ponsel yang tadi ada di telinga kanan gue pindah ke sisi kiri, lalu tangan gue gerak-gerak ala usir cantik. "Hus hus," kata gue lirih.

"Siapa, Gi? Kucing?" Isah berkata di sana.

"Buaya darat, Sah."

"AAAAHHHHMMM EGI. GI. GUE ... GUE ... AHHMMM ...." Ega tiba-tiba mendesah gaje dan buat gue ... jijik.

"GIII, LU LAGI NGAPAIIIN?!?!" teriak Isah dari sana kenceng banget sampai-sampai tangan gue gak sengaja mencet tombol akhiri panggilan.

"JIJIK WEH." Bantal di sebelah gue raih, lalu gue lempar ke arah Ega. Kena dia sih, tapi keknya gak kerasa apa-apa.

"Hahaha. Tapi seksi, 'kan? Suara gue." Ega mengembalikan bantal gue lalu dia berjalan ke arah cermin. Seketika ngaca dan berpose gaje. "Jalan kuy. Kemana kek. Gabut banget gue di rumah."

"Gak ah." Ku raih bantal tadi lalu gue peluk. Semacam permohonan maaf lah telah melampar bantal. Maaf ya, Ntal. Plak.

Ega berbalik badan. "Jarang-jarang loh jalan sama cogan, Rut. Seksi lagi."

"Males." Mulut gue manyun.

.

.

Perlahan gue memasuki tempat yang gak asing lagi bagi gue, bahkan bisa gue bilang salah satu surga gue juga atau bahkan neraka? Yah begitulah, toko buku. Gue sekarang udah ada di toko buku bareng Wirog. Dia tahu banget gue suka ke sini, dan tahu kalo gue juga susah nolak juga kalo diajak ke sini.

Jengkal demi jengkal lantai toko itu gue telusuri. Rak demi rak, buku demi buku, satu persatu. Lalu tiba-tiba mata gue mencelos, tangan gue juga berhenti sebentar lalu bergerak lagi. Gue ... lihat ... Rashid. Parah dan pecahnya lagi ... kita saling tatap. Mata kita saling bertemu. Jaraknya emang jauh, tapi entah kenapa dia kerasa deket, banget malahan.

Terus gue harus apa?

Kok tiba-tiba pikiran-pikiran itu merangsek lagi ke otak gue?

Kalo dia ke sini gimana? Ketemu gue, terus gue mau ngobrol apa? Padahal gue juga agak berharap dia chat gue. Tapi ... tapi ....

"Gi." Sebuah suara membuat gue terperanjat.    

--To be continued--


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

sebelumnya ... happy new year kaliaaaan. haha. semoga di tahun yang baru ini kita lebih dan lebih dari tahun kemarin yoo, amiin.

oke kembali ke chap ini.

gimana guys? absurd ya? banget malahan menurut gue. tapi semoga kalian suka ye, haha. 

oke gue sih nggak nuntut macem-macem. kalian baca cerita ini juga gue seneng bet. 

so ... okeh next nya ditunggu aja ye 


oh iya, btw nextnya Egi bakal melakukan sesuatu loh. haha. hayoloh. apaan tuh?


selasa, 5 januari 2016



Guru LesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang