11. Maaf

220 18 0
                                    

Mata gue dan matanya yang sedang tidak dibatasi lensa kacamata bertemu. Gue sekarang bisa lihat dengan jelas maniknya secara langsung, maniknya tegas dibalut karakter dirinya yang dingin, kini gue bisa melihatnya dengan jelas.

Kami masih terdiam dalam lamunan masing-masing, yang jelas gue gak tau apa yang dilamunin Rashid, tapi yang gue lamunin, adalah sosok yang dulu pernah hinggap di DP milik Rashid dan kini gue bisa melihatnya secara langsung. Lamunan sosok itu perlahan menghilang seiring gue lihat Rashid mengerjap beberapa kali dan kemudian ... dia lari ke dalam, entah ke kamarnya mungkin.

Gue salah sebesar apa sampai sebegitunya dialari dari gue? 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

11. Maaf


Gue merutuki diri gue sendiri, mengumpulkan semua kata-kata kasar yang kemudian semua gue tupahkan ke diri gue. Di sisi lain, gue juga gak bisa mengelak akan sesuatu yang mulai membuncah dan hampir gak bisa gue bendung lagi, tangis gue, kesedihan gue, hati gue yang ... meringis sakit.

Bulir air mata sedikit menyelinap di sela mata gue dan jari telunjuk gue berhasil menyekanya agar tidak sampai menetes lebih banyak. Gue gak mungkin meronta-ronta di sini.

Yup. Gue harus pulang. Harus.

"Gi."

Apa telinga gue gak salah denger?  Suara tadi nyata, 'kan? Dan suara itu ... suara Rashid kah?

Gue berhenti sejenak, berpikir dengan hati yang masih gundah, kemudian berbalik ke arah sumber suara tadi.

.

.

"L-lo ngapain ke sini?" ucap Rashid dengan ada sedikit nada sungkan pada kata 'lo' tadi.

"Ciee yang sekarang elo-elo gue-gue." Gue mencoba memeriahkan suasana walaupun sebenarnya hati gue masih bertanya-tanya 'dia lari menghindai gue tadi Cuma buat ngambil kacamata longgarnya?'.

"Y-ya terserah g-gue lah," kata Rashid. "I-itu pertanyaang-gue belum dijawab tuh. Lo ngapain ke sini?"

"Gue ... ngapain yak?" gue mendongak ke langit-langit. Kaki gue juga gue gunjang-gunjangkan leluasa karena tempat duduk kita berdua agak tinggian. "Lo juga sih pake lari segala ke dalem. Gue jadi lupa kan mau ngomong apa."

Rashid belum menjawab dan masih fokus pada bangunan yang ada di depannya.

"Err...." Rashid menoleh ke arah gue. "Biar tambah ganteng mungkin." Bibir ranum Rashid yang gak begitu merah itu mulai merekah. Dia senyum ... ke arah gue.

Deg

Senyum itu ... senyum itu buat gue ... pengin ikut senyum juga dan larut dalam suasana hangat ini. Kalo bisa selamanya.

"Idih, alay lo." Gue mendorong sedikit bahu Rashid dan dia cuma bisa senyum menanggapi itu.

"G-gue ... tadi ngambil kacamata." Rashid membenarkan kacamatanya yang gak melorot itu.

Deg

"Lo minus seberapa sih? Sampe segitunya musti pake kacamata?"

"Gapapa." Rashid menatap kembali bangunan yang ada di depannya. "Lo mau ngapain ke sini, Gi?"

"Oh itu ...," gue menundukkan kepala gue ke bawah, berharap beban yang mengganjal gue buat ngomong sesuatu sedikit berkurang, "gue sebenernya ma—"

"Gi." Rashid memotong perkataan gue. Gue pun mendongakkan kembali kepala gue dan melihat ekspresi Rashid sekarang. "Kenapa ya?"

"Kenapa apanya?" gue menyipitkan mata dan sedikit mengerutkan dahi gue. Gue coba telaah pertanyaan 'kenapa' yang tadi dilontarkan Rashid.

Guru LesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang