03
Pertemuan Ke Dua
.
.
.
"SENYUMNYA lebih lebar. Yah, bagus!"
Cekrek ....
"Matanya melirik ke kamera. Yap ...."
Cekrek ....
"Dagunya angkat sedikit ... sip, satu ... dua ...."
Cekrek ....
"Oke! Cukup untuk hari ini." Marco, fotografer muda nan tampan itu menepuk ringan kedua tangannya. Tanda bahwa sesi pemotretan hari ini telah berakhir.
Tiga meter di depannya, Lumi mengembuskan napas panjang. Dia merasa tak berbeda dengan manekin yang dipajang di toko-toko baju saat di hadapan kamera. Berganti-ganti pose sesuai keinginan sang fotografer, hingga tubuhnya serasa kaku.
Dari arah samping, seorang gadis muda berambut kuncir kuda berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Lantas mengulurkan tisu dan air mineral pada Lumi. Alih-alih menerima, Lumi melenggang begitu saja, berjalan menuju tenda tempat istirahat yang telah disediakan oleh para crew untuk kepentingan pemotretan yang pagi ini dilakukan di pantai, bertepatan dengan terbit matahari.
Rusli, asisten pribadi Lumi, hanya bisa mendengus pendek akan penolakan modelnya—lagi. Rusli baru dua minggu menjadi asisten model sok cantik yang sialnya benar-benar cantik itu. Asisten sebelumnya sudah Lumi depak lantaran terlambat datang ke lokasi pemotretan selama lima detik. LIMA DETIK. Gila saja!
Berlari-lari kecil, Rusli mendekati Lumi yang tengah duduk manis sambil bermain ponsel di kursi lipat. Menarik napas panjang terlebih dulu, ia mulai berkata, "Minumnya, Mbak," yang justru dihadiahi delikan tajam.
"Gue nggak haus!" ketus. Tak pernah sekalipun Lumi berkata lembut padanya. Tapi, tak apa. Rusli yakin masih cukup kuat menghadapi manusia macam begini.
Menggunakan sisa kesabaran yang sudah menipis—hampir habis—Rusli undur diri. Senyum yang sedari tadi nangkring manis di bibirnya, seketika luntur begitu ia berbalik badan. Botol plastik yang tergenggam di tangan kanan, ia remas kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi kretek yang tak terlalu kentara, tapi ternyata masih bisa tertangkap oleh indra pendengaran Lumi yang kelewat peka.
"Nggak usah remas-remas botol!" Otomatis, langkah Rusli terhenti mendengar hardikan tajam dari balik punggungnya. Belum sempat ia mengembuskan napas yang sempat dihirup, suara sinis Lumi terdengar kembali, "Kalau udah nggak betah kerja sama gue, bilang aja sama Bos."
Glek. Remasan Rusli pada botol merenggang, ia waswas sekarang. Pelan-pelan Rusli memutar tubuh, berbalik ke arah Lumi kembali. Sontak mata Rusli melebar, nyaris melompat dari rongganya lalu menggelinding di pasir pantai dan berakhir tenggelam di lautan.
Menggunakan otaknya yang cukup genius, gadis itu mulai mengira-ngira, sejauh apa jarak yang terbentang antara ia dengan Aluminia. Jika tak salah hitung, posisinya berdiri dan tempat Lumi bersantai lebih dari lima meter, tapi Lumi masih bisa mendengar suara samar remasan botolnya yang bahkan tak terjangkau telinga Rusli lantaran bunyi debur ombak yang saling bersahutan. Rusli tambah gamang. Sebenarnya, manusia macam apa yang kini tengah ia hadapi.
"Lagian, gue juga nggak butuh asisten bego kayak elo!"
Bego katanya? Rusli menggeram tertahan. Lumi benar-benar sudah keterlaluan. Bibir Rusli menipis. Mati-matian ia menahan emosi agar tak menyumpah-serapahi Lumi yang masih duduk tenang dengan ponsel di tangan. Ia yakin, tanpa wajah cantik dan tubuh menarik, Lumi bukanlah siapa-siapa. Dia bahkan di-DO dari universitas lokal di tahun kedua masa kuliahnya gara-gara bermasalah dengan rektor. Sementara Rusli, gadis itu lulusan Columbia University, cum laude pula. Andai bukan karena ingin menuntaskan satu misi, Rusli juga tak sudi menjadi asisten model.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-sayap Plastik
Chick-LitWarning! Bacalah saat benar-benar luang. Cerita ini hanya fiksi. Aluminia Lara merupakan wanita ambisius yang menginginkan takdir selalu berpihak kepadanya. Cita-citanya sederhana. Dia hanya ingin menjadi Nyonya. Istri dari laki-laki calon penerus...