BAB 03
Permainan Dimulai
Lumi bedecak kesal. Untuk kali ketiga dalam lima menit ini, ponselnya berdering nyaring. Dia yang tengah duduk bersila sembari membaca majalah The Girls terbaru dengan cover wajahnya secara close up, meraih benda pipih persegi di atas coffee table, membaca id caller sekilas, lantas menggeser icon merah.
Tak penting mengangkat telepon dari Rafdi.
Setelah men-silent ponsel pintarnya, Lumi kembali menaruh benda itu ke tempat semula, kemudian lanjut membaca.
"Lumi!" Yang dipanggil mendengus pendek mendengar suara lembut menyuarakan namanya. Detik kemudian, ia merasakan sisi kosong sofa panjang tempat duduknya melesak ketambahan beban.
"Mau?" Aroma kentang goreng menggelitik hidung. Lumi melirik sekilas dan mendapati Cinta menyodorkan sepiring stik potato, menawari. Bibir Lumi mengernyit tak suka. Sesuatu dalam perutnya terasa bergejolak lagi, tapi mati-matian ia tahan. Malas bolak balik ke kamar mandi seperti subuh tadi, kalau pada akhirnya hanya cairan bening yang dimuntahkan. Dari kemarin Lumi merasa tak enak badan, barangkali karena masuk angin lantaran dua hari lalu ia baru menyelesaikan sesi pemotretan under water yang nyaris menghabiskan waktu tiga jam dalam air kolam. Makanya hari ini gadis itu tak bekerja dan men-cancel semua jadwal.
Cinta yang lagi-lagi diabaikan, hanya tersenyum kecil. Sudah maklum menghadapi sikap tak acuh Lumi sejak sepuluh tahun terakhir. "Tumben hari sabtu kamu nggak ada kegiatan?" tanya Cinta ramah. Gadis itu meletakkan piring stiknya tak jauh dari ponsel Lumi setelah mencomot beberapa dan mulai memakan satu per satu.
"..."
"Kamu lagi cuti atau libur? Emang model kerjaannya nggak tentu, sih. Tapi pasti seru banget, ya? Tiap hari kerja di tempat berbeda dan ketemu orang-orang baru. Nggak kayak aku yang cuma duduk di balik meja doang ...." Cinta terus berbicara di antara kunyahannya. Kendati ia tahu, sampai mulut berbusa pun Lumi tak akan menanggapi.
Gustav yang sedang melintasi ruang tengah memutar mata jengah saat tak sengaja mendengar ocehan adiknya. Ia berhenti beberapa meter dari undakan tangga dan berujar sarkas, "Ta, daripada lo ngomong sendiri, mending ke kamar gue. Kita bisa nobar di atas aja."
Cinta menelan sisa-sisa kunyahan dalam mulutnya sebelum menoleh pada Gustav sambil nyengir lebar. "Aku lagi cerita-cerita sama Lumi, nih! Ia menggeser posisi duduk lebih dekat dengan Aluminia, lalu menepuk sisi sebelah. Ayo dong, Kak. Gabung bareng kita."
"Gue mah, ogah ngobrol sama batu." Gustav sengaja menekan akhir kalimatnya. Mendelik pada Lumi yang tampak asyik sendiri. Seolah bukan dia yang dibicarakan.
Berdecak kesal, si sulung Hutama meneruskan langkah menuju tangga. Membiarkan Cinta ngobrol sendiri dengan seonggok arca di sampingnya.
"Jangan dengerin Kak Gus, ya." Cinta bicara lagi begitu tubuh tegap Gustav menghilang. "Kamu kan tahu sendiri, mulutnya nggak pernah disekolahin."
Jengah, Lumi menutup kasar majalah yang tak lagi terasa menarik. Kupingnya panas mendengar kicauan Cinta pagi-pagi. Melempar majalah sembarangan, ia meraih ponsel di meja lalu berdiri. Gadis itu melenggang begitu saja, meninggalkan Cinta yang mengikuti gerakannya dengan tatapan nanar. Cinta merindukan Lumi yang dulu, terlepas dari masalah keluarga mereka yang tak berkesudahan. Namun Cinta bisa apa, saat hanya ia seorang yang mau berjuang demi ikatan persaudaraan mereka. Tidak dengan Lumi yang memilih menyerah dan membiarkan seluruh keluarga membencinya.
"Lumi," panggil Cinta pelan. Aluminia pura-pura tak mendengar. Tetap melangkah menaiki undakan tangga, hendak kembali ke kamar. "Nanti malem jangan ke mana-mana, ya. Aku mau kamu ikut hadir dalam acara lamaranku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap-sayap Plastik
ChickLitWarning! Bacalah saat benar-benar luang. Cerita ini hanya fiksi. Aluminia Lara merupakan wanita ambisius yang menginginkan takdir selalu berpihak kepadanya. Cita-citanya sederhana. Dia hanya ingin menjadi Nyonya. Istri dari laki-laki calon penerus...