Part III

279 5 1
                                    

Raka POV

Braak. Nadine menutup pintu kamarnya dengan kasar. Aku masih berdiri di depan kamarnya seperti orang bodoh. Aku masih tidak percaya dengan kelakuaannya barusan, bahkan baru kali ini dia berani membantah ku. Tapi entah kenapa justru aku malah merasa bersalah pada Nadine, perasaan yang sulit aku jelaskan.

Belum pernah aku melihat Nadine menangis di hadapanku. Bahkan dari kecil pun, dia seorang yang periang dan kuat. Tapi tetap saja aku merasa ini tidak adil bagiku. Kenapa semua harta jatuh ke tangan Nadine, sedangkan aku cuma dapat sebuah showroom mobil milik Papa. Padahal aku yang anak laki-laki, aku juga tidak yakin dia bisa memimpin perusahaan kelak. Tapi aku tau satu hal kenapa dia yang dipilih. Sudah kuduga karena alasan itu.

From Karin

Honey, besok jadi kan anter aku pemotretan?

Sial, kenapa lagi sih sama nih cewek. Bukannya gue udah mutusin dia, ngapain pake manggil honey segala. Dasar psiko nih cewek.

To Karin

Sorry, kita tuh udah putus. Gak usah ngubungin gue lagi

Karin memang mantan pacarku yang kesekian. Aku sampai lupa, hehe. Tapi dia yang paling aneh dan menyebalkan di antara semua mantanku. Tapi lebih anehnya lagi, justru aku paling lama pacaran sama dia. Dunia memang sudah gila!

Tin, tin. Aku mendengar bunyi klakson mobil Mama memasuki gerbang. Aku segera turun ke ruang keluarga untuk bicara dengan Mama. Masa bodoh dengan kondisi Mama yang capek atau apapun itu.

"Ma, Raka mau bicara" ucapku setelah Mama sampai di ruang keluarga.

"Mau ngomong apa? Mama mau mandi terus tidur, besok pagi ada meeting penting dengan klien.

"Ini lebih penting Ma, mau sampai kapan mama menghindar dan menutupi ini semua sih Ma?"

"Maksud kamu tuh apa sih Ka? Udah ah mama mau ke kamar"

Aku memegang tangan mama untuk mencegahnya berharap dia tidak lagi menghindar.

"Ma, mau sampai kapan anak itu jadi bagian keluarga kita? Mau sampai kapan kita harus berpura-pura jadi keluarganya? Hah? Menutupi identitasnya dari semua orang? Bahkan menyerahkan semua harta buat dia, dan Raka cuma dapet apa ma?"

Plakk. Panas dan perih. Mama menamparku, iya ini pertama kalinya dalam hidup aku ditampar mama.

"Cukup Raka, cukup. Mama udah pernah bilang sama kamu jangan kamu bahas masalah ini lagi. Dia akan tahu tapi gak sekarang, nanti setelah dia menikah baru Mama akan cerita semuanya"

"Tapi dia udah gede sekarang, dia harus tahu jati dirinya, siapa dia sebenarnya dan apa statusnya di keluarga kita. Dia tuh cuma benalu Ma"

Plakk. Untuk kedua kalinya mama menamparku lagi. Sakit memang tapi nggak sebanding dengan luka di hatiku sekarang.

"Mama bilang stop Raka, stop. Kamu pikir siapa yang ngasih kemewahan buat kamu? Ngasih rumah ini, bangun lagi showroom mobil milik Papa. Kamu pikir itu semua siapa yang ngelakuin? Hah? Bahkan kalau dia mau, dia yang akan ngusir kita dari sini, kita yang benalu Raka"

Aku melihat amarah dari sorot mata Mama. Dia begitu marah padaku, ya mungkin itu yang dirasakan sekarang.

"Jadi mama lebih ngebela anak itu? Cucu keluarga Wirawan yang udah ngancurin keluarga kita Ma. Ngerusak kebahagiaan kita."

"Tapi kamu harus inget Raka, kalau bukan karna orang tuanya Nadine kita nggak akan seperti sekarang"

Seketika itu juga, mama langsung lemas dan duduk di sofa. Aku melihat bulir-bulir bening membasahi mata Mama, dan tiba-tiba saja pyarr.

Senyum NadineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang