02.

834 68 6
                                    

d u a

---

Alvaro tengah duduk di atas sebuah bangku panjang di taman dekat rumahnya, dengan Alisha. Seperti biasa, quality time di akhir pekan bersama sahabat karib.

"Gila, Va. Gak kerasa minggu depan kita udah harus menghadapi ujian nasional sialan itu!" seru gadis itu dengan antusias, memecah keheningan.

Alvaro memutar bola matanya. "Gak ada yang perlu diantusiasin dari hal itu, Sha."

Ia mendecak. "Ih, tahun ajaran ini udah mau berakhir dan bentar lagi kita lulus. Terus, bakal lanjut ke dunia kampus, Va. Kuliah! Seneng banget gue," cerocosnya dengan semangat.

Berbeda dengan lawan bicaranya. Cowok itu sama sekali tidak terlihat tertarik akan hal yang tengah dibicarakan oleh Alisha. "Apa kata lo, deh, Sha."

Alisha hanya memanyunkan bibirnya karena tanggapan Alvaro yang super dingin itu.

Tiba-tiba, Alisha menepuk-nepuk pundak Alvaro yang kontan membuatnya tersentak. "Varo! Va! Liat ada tukang cilok!" serunya sambil menunjuk-nunjuk ke arah pedagang cilok yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk.

Alvaro mendesah pelan lalu mengalihkan pandangannya, mengikuti arah tangan gadis itu. "Emangnya kenapa kalo ada tukang cilok?"

"Gue mau beli dulu! Bentar, ya," ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya, berlari menuju pedagang cilok tersebut.

Laki-laki tersebut mendengus geli ketika melihat tingkah sahabatnya yang satu itu. Ia merogoh sakunya, mencari satu pak rokok yang selalu bersarang di dalam sana beserta dengan pemantiknya.

Ia nyalakan satu batang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam, kemudian ia hembuskan, begitu terus sampai Alisha kembali dengan dua kantung cilok di tangannya.

Gadis itu menatapnya dengan bingung. "Lo ngerokok?"

Sejenak, Alvaro menghentikan kegiatan merokoknya itu, menatap gadis di depannya sekilas lalu kembali menghisap rokoknya. "Ya," jawabnya singkat dengan asap yang menyembul keluar dari mulutnya.

"Ih, Va! Ngerokok itu ga bagus, tau," gerutunya sambil meletakkan cilok yang sengaja ia belikan untuk Alvaro di sebelahnya, lalu kembali duduk di sampingnya. "Bisa bikin mati, Va."

Alvaro menoleh ke arah gadis itu, tertawa pelan. "Iya, tau kok rokok ga bagus. Tapi, gue udah keburu kecanduan."

"Ya, lepasin diri dong! Nanti lo mati beneran aja," tukasnya sambil mendecak pelan.

"Susah kali, Sha. Lagian, pada akhirnya semua yang ada di dunia juga bakal mati 'kan," balasnya santai.

Alisha memutar matanya. "Kata-kata lo barusan itu menggelikan banget. Terkesan hiperbola dan bukan lo banget."

Tanpa menjawab pernyataan Alisha, Alvaro hanya tersenyum tipis, lalu bangkit dari duduknya. Berjalan sedikit menjauh dari gadis itu.

"Ngapain berdiri?" tanya Alisha heran.

"Biar lo ga kena asepnya. Ga bagus buat lo," jawabnya santai.

Alisha mendengus kasar. "Itu juga gak bagus buat lo, tau!"

Gadis itu menghela nafas. "Bener. Semua yang ada di dunia ini pasti bakal mati pada akhirnya. Tapi, dengan lo ngerokok dan ngerusak diri lo sendiri, lo akan mempercepat kematian itu," ceramahnya panjang lebar.

Ia terkekeh. "Oke, Oke. Gue berhenti," ucapnya sambil mematikan rokoknya dengan tangannya sendiri.

"Va! Gila, ya?!" pekik Alisha lalu langsung menarik tangannya. "Kenapa matiinya pake tangan, sih?!"

"Ya, di sini kaga ada asbak," jawabnya cuek.

Alisha menatapnya sinis. "Kalo tangan lo luka bakar gimana?"

Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. "Emangnya kenapa? Khawatir?"

"Apaan, sih," desis Alisha lalu melepaskan tangan Alvaro darinya.

Alvaro tergelak.

Bentuk perhatian kecil kayak gini dari lo, bener-bener bikin gue bahagia, Sha.

⁞⁞⁞⁞

"Kenapa lo tiba-tiba nelfon gue dan nyuruh gue ke sini?" tanya gadis yang baru saja sampai di taman, tempat dimana Alvaro menghabiskan waktunya bersama dengan Alisha tadi.

Alvaro yang tadinya tengah sibuk dengan ponselnya, kontan mendongak. "Cuma butuh temen ngobrol aja," jawabnya singkat. "Duduk sini."

Gadis itu, Kayla, duduk di sebelahnya. "Alisha?"

Mendengar nama itu disebut, Alvaro tersenyum kecil. "Pergi. Dia pergi sama Farel."

"Farel lagi, Farel lagi." Gadis itu mendengus kasar. "Gue gak suka sama cowok itu. Dia brengsek."

Alvaro menaikkan satu alisnya. "Brengsek?"

"Ehm ... Gue cuma ngerasa dia ga baik aja," balasnya cepat.

Cowok itu mengangguk paham. "Biarin aja. Yang penting dia seneng sama Farel."

Lagi-lagi, Kayla mendegus kesal karenanya. "Lo kenapa, sih? Padahal, lo bisa bahagiain dia. Lo yang sayang dia dengan tulus. Kenapa ga lo aja yang buat dia bahagia? Kenapa biarin orang lain yang ngambil posisi itu?" hujamnya dengan emosi yang meledak-ledak. "Lo lebay, tau gak? Pake acara bilang ga bisa, ga bisa segala. Apaan coba."

Alvaro tersenyum kecut. "Kalopun bisa, kebahagiaan yang gue kasih ke dia ga akan bisa berlangsung lama."

Gadis itu mengernyit bingung. Ia menatapnya lekat-lekat. Seakan menuntut penjelasan dari ucapannya barusan.

"Gue sakit, La. Kanker. Selesai UN nanti, gue bakal operasi."

Kontan, gadis itu melebarkan matanya, tak percaya. Nafasnya tercekat. "A-apa? Ta-tapi ... lo gak keliatan kayak orang sakit. Sama sekali."

Alvaro tersenyum. Jenis senyuman yang-meledek?

"Emangnya harus dikasih liat kalo gue sakit?"

Gadis itu masih ternganga. "Ta-tapi ... "

Melihat reaksi Kayla yang menurutnya sedikit berlebihan itu, Alvaro terkekeh pelan.

"Promise me not to tell Alisha, oke?"

---

a/n

Pendek banget, ya? Wahah gak tau sih mau nambahin apa lagi..

Btw, any masukan? :)

Laff.

ExanimateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang