NTY - 09

55.1K 4.2K 135
                                    

Alvino.

Selepas Carmen pergi, gue masih duduk di deket grand-piano. Senyum-senyum najong. Rasanya gue seneng liat Carmen tertawa. Apalagi pas tau alesannya karena gue. Akhir-akhir ini juga gue gak bisa tidur gara-gara mikirin dia.

Tunggu.

Jangan bilang gue suka sama Carmen? Ah, gak mungkin. Bukan tipe gue banget.

"WOWOWOW ADA YANG BENGONG JOROK," tiba-tiba aja lima kunyuk--maaf, lima kakak Carmen--turun dari lantai satu dan ngehampirin gue.

Si Leopard, bersama keronconya ngepung gue. Sial. Kayaknya gue mau diinterogasi. Dan bener aja ....

"Lo di sini ngapain aja sama our baby?" tanya cowok bermata hazel, rambut acak-acakan dan bahu bidang.

"Lo si--"

"Gue Bayu," kata cowok yang nanya gue tadi.

"Oh, lo?" gue beralih pada cowok bermuka dingin dan bibir terkatup rapat.

"Sakta."

"Lo?" tanya gue pada kakak Carmen yang berkacamata trendy.

"Dani."

"Lo?" kini gue nunjuk cowok berambut hitam rapi.

Dia senyum, gak kayak kunyuk lainnya. "Tristan."

"Dan lo gak usah nanya gue," kata Leopard.

"Siapa juga yang mau nanya," gerutu gue pelan.

"Eeeh ngomongnya sama kakak ipar sendiri," Leo menyentil dahi gue.

Gila, ini pembullyan masal. Tolong Mak. Oh iya, Emak lagi di spore. Sial.

"Jadi, lo di sini ngapain aja?" tanya Leo tajem.

"Gak ngapa-ngapain," jawab gue santai.

"Trus kenapa lo senyum gak jelas gitu?" si Bayu nyenggol gue.

Gue menggeram. Ini lima kunyuk kepo banget dah, "suka-suka gue lah."

"Woi, kasih tau," kata mereka bareng.

"Kepo," kata gue kesel sambil melipir dan keluar dari ruang bawah tanah.

***

Baru aja gue pengen naik ke lantai dua, seseorang yang meringkuk di atas sofa menghentikan gerakan gue.

Carmen? Ngapain dia di situ?

Gue mendekatinya dan langsung menarik selimut yang tadi berantakan. Menyelimutinya. Gila. Gue gak pernah kayak gini sama cewek manapun.

Gue berjongkok, mengamati wajah damainya dari dekat. Rambut cokelat kehitaman yang menutupi matanya gue singkirkan. Baru kali ini gue tau ternyata bulu mata cewek itu lentik banget. Pipinya juga merona merah gitu.

Lucu.

Dibalik sifat kerasnya, Carmen unyu, lucu, dan gue bingung kenapa baru sadar.

"HUWAAA!" tiba-tiba aja matanya melotot, dia bangkit dan nengok kanan-kiri.

Gue mengusap dada sambil geleng-geleng kepala, "lo nganggetin aja sih, Nyet."

"Al?" tanya Carmen bingung.

Sedikit gue terkena heart attack gara-gara cara dia ngomong.

"Kenapa?" tanya gue sambil duduk di sebelahnya.

"Kita bukan di pantai? Loh-loh-loh..." katanya linglung.

Baru kali ini gue beranggapan Carmen ling-lung gitu unyu banget.

"Ada apaan?" tanya gue berusaha sabar.

"Penculik... Topeng... Ulang tahun... Tunggu, semuanya cuman mimpi?" tanyanya sambil natap gue.

Gue ngerutin dahi, "lo gila apa?"

"AH NGESELIN TAU GA!" Jerit Carmen toa sambil memukul gue dengan bantal membabi-buta.

"Apaan si. Tiba-tiba mukul gue!" kata gue, menampik serangan bertubi-tubi Carmen.

"Tau ah! Kesel gue sama lo! DOUBLE KESEL..." dia berhenti ngomong sebentar, bahunya loyo dan dia nangis kenceng. Meringkuk sambil sesegukan di ujung sofa.

Ini tengah malem, yang bener aja....

"Car...?"

"Sana pergi!"

"Car."

"LEAVE ME ALONE!"

"CAR!"

"What?!" tanyanya sambil mendongak.

Matanya sembab dan bibirnya tertekuk ke bawah, dia menelungkup lagi dan terisak. Aduh, gue gak ngerti kenapa para cewek itu sensitif banget.

"Car..."

"Stay. Away."

Dan gue hanya bisa mengangkat bahu, menepuk kepalanya sesaat dan naik ke lantai atas.

***

"Jadi gimana taruhan lo sama doi?" tanya Juno, ikut duduk bareng kami berempat.

Well, dia Juno--boleh dipanggil Joko, Jino, Jono, Jodo--temen sekelas gue yang paling jail dan gak bisa diem.

Gue pura-pura gak tau sama pertanyaannya, "taruhan?"

"Dih, pikun," kata Arya si playboy nomor satu.

Ditya ngakak, cuman Mike yang bengong. Gue nyenggol bahu Mike. Dia tersentak dan natep gue.

"Napa lu?" tanya gue santai, gak perduli Juno dan yang lain masih merong-rong dengan pertanyaan menyudut mereka.

"Gak-gak papa." Kata Mike sambil senyum terpaksa.

"Kepo nih, lo gimana sama gebetan lo si Lista?" tanya gue lagi.

Mike mengusap belakang lehernya, menelan ludah, "kayaknya gue mulai suka sama dia..."

"DEMI APA," kata kami berempat serempak.

"Shhht, malu-maluin lu pada," kata Mike, pipinya merona sampe ke telinga.

"Jadi lo beneran suka sama si Lista?" tanya gue gak yakin.

Padahal Mike deketin si queen bee, Lista, cuman buat nunjukkin kalo dia bukan homo. Kenapa jadi kayak gini ....

"Iya, kali. Gak tau. Pas dia deket sama cowok lain gue gak suka. Gue--"

"CEMBURU," jerit Juno keras, untung aja kantin lagi rame. Bisa mati berdiri karena malu deh gue punya temen kayak Juno.

"Ya gue gak tau juga. Gak yakin," kata Mike lagi, dia beralih pada gue, "kalo lo?" tanyanya.

Serempak empat pasang mata langsung natep gue.

"Maksud?" tanya gue pura-pura bingung.

"Lo sama calon tunangan lo gimana?" tanya Juno mengulang lebih jelas.

Shit, kalo ditanya gue jadi galau. Maksud gue, setelah Bara pulang, gue mendadak sesak nafas. Gue gak mau denger jawaban apapun dari Carmen soal Bara. Masalah gue nemuin dia di sofa, itu murni 'gak sengaja.'

Dan dari sudut pandang gue, Carmen masih suka sama mantannya ....

"Woi! Malah pongo," kata Juno nganggetin.

"Eh kenapa?" tanya gue sambil senyum gaje.

"Lo sama calon tunangan lo gimana? Kalian masih taruhan kan siapa yang demen duluan?"

Anjir. Gue. Bener-bener. Lupa. Sama. Taruhan. Konyol. Itu.

"Ooooh," kata gue kikuk, "pasti gue dong yang menang. Hehehe, gak usah khawatir."

Mereka saling pandang, dan sebelum salah satu dari empat kunyuk itu menjawab. Ponsel gue berdering.

Gue ngerutin dahi, gak biasanya ada panggilan telepon siang-siang gini. Gue membuka ponsel dan melihat caller id.

Sara.

*TBC*

ST [3] - Never Too YoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang