Alvino.
Setelah gue memperkenalkan diri dengan kejengkelan yang ada—iyalah jengkel! Calon tunangannya dipeluk lima orang. Eh—cowok bernama Leo langsung liat gue. Dia mendekat hingga hidung kami bersentuhan. Eeey, kakaknya Carmen gay ya?
“Jadi ini, yang namanya Albino.” Katanya santai sambil menyentil kening gue.
G I L A, nama gue yang keren badai cetar membahana diganti jadi Albino. Ck, ini cowok belum masuk ke UGD aja kali ya. Gue senyum sinis pada Leo.
“Jadi ini, yang namanya Leopard.” Bales gue sebelum Carmen langsung mencubit pinggang gue keras. Dia berbisik, “yang sopan sama kakak gue!”
Gue ikut berbisik dengan jengkel, gimana gak jengkel. Yang pertama kali nancepin bendera perang kan bukan gue. “Dianya duluan,” rengek gue.
“Lo kayak anak kecil umur lima tahun aja deh!” bisik Carmen lagi.
Dengan bibir memberengut pada Carmen, gue kembali berbisik. “Jahat banget sih, Yang.”
“GUE BUKAN YAYANG LO YA!” teriak Carmen keras hingga kelima kakaknya menaikkan satu alis.
“Gitu. Lu. Ya. Liat. Aja,” kata gue.
Kenapa jadi berantem unyu gini? Ups.
“Udah kalian tuh berantem mulu kayak anak kecil. Kita ke mobil aja yuk. Kasian tuh kakakmu Carmen. Baru dateng kok disuguhin beranteman kalian. Mama aja yang tiap hari liat sampe bosen.”
“Tante!” dan disaat yang sama, “Mama!”
Kelima kakaknya Carmen langsung ketawa ngakak sementara gue masih adu omong dengan setan cilik itu. Kami sampai di rumah, dan tetap saja saling menyalahkan satu sama lain. Hingga kami sudah sampai di halaman belakang bersama kelima kakaknya, gue masih ngomel sementara Carmen nyalahin gue.
“Lo itu sih, pake ngomong Yayang-Yayang segala. Geli gue,” kata Carmen yang ke sejuta kalinya.
Dan gue membalas, “Lagian lu bilang gue kayak anak kecil!”
“Tapi lo emang kayak anak kecil, Al”
Gue menaikkan satu alis, “coba ngomong lagi.”
“Yang mana?” tanya Carmen bingung.
“Satu kata terakhir.”
“Al?” dahi Carmen berkerut.
“Cuman lo yang manggil gue gitu,” kata gue keceplosan. Eh.
Tapi gue suka ketika melihat wajah Carmen memerah hingga ke telinga. Dan gak lama. Karena kedua kakaknya yang tadi berada cukup jauh dari kami langsung bopong dia kayak karung goni. Gue berdiri. “lo nga—“
Dengan tidak berkeprimanusiaan, ketiga kakaknya yang tersisa langsung bopong gue juga. Gue menggeliat berusaha memberontak dari mereka. Gila, gue sama Carmen mau diapain nih. Ngeri juga.
“Lo berdua berantem mulu sih kayak anak kecil,” kata kakak Carmen entah yang keberapa, lagian punya kakak banyak banget sih.
“Iya, pusing gue dengernya,” balas salah satu kakaknya dengan sadis.
“Lo berdua dinginin kepala dulu deh.”
Dan kami dilempar dengan sadis. Ke ruang bawah tanah. Pintunya dikunci. Dan di sini gelap. Di sini nyeremin. Di sini pasti ada makhluk pengganggu—kecoa, laba-laba, tikus, maksudnya.
“Ini gara-gara lo tau gak,” Carmen mendesis, lalu menyalakan lampu.
Sinar oranye langsung menyinari wajahnya, dan gue terkejut. Ternyata wajahnya unyu juga. Dua giginya agak maju ke depan dikit, tapi manis. Kayak kelinci. Pengen gue pakein bando yang ada telinga kelinci aja rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [3] - Never Too Young
Novela JuvenilDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [3] : Carmen Heartnet Selama 15 tahun Carmen hidup, dia tidak percaya Mama-nya dengan tega menjodohkan dia dengan Alvino, c...