Illusions of love

6.9K 130 7
                                    

"All the memories comeback, but he never does."

Berlarut-larut dalam kesedihan memang bukanlah sebuah hobi yang menyenangkan. Memangnya ada manusia di dunia ini yang masih gemar melakukan hal bodoh itu? Jawabannya ya, ada.

Namaku Alexa Diana Putri. Oh sungguh tidak keren caraku memperkenalkan diri. Tapi itu tak berarti bahwa aku sungguh-sungguh tak keren, walaupun hanya sedikit.

"Al, liat geh display picture-nya! Kayaknya dipasang baru-baru ini deh." Dinda memperlihatkan ponselnya padaku, tampak sebuah foto disana. Pose yang mereka lakukan terlihat sangat dekat dimana si gadis tertawa bahagia dan si lelaki tersenyum ke arah si gadis. Wah pasangan yang sempurna, batinku dalam hati.

***

"Al, ada waktu sebentar engga? Aku mau ngomong sesuatu." Suara samar-samar terdengar dari ponsel yang sedang ku terima. Bahkan belum terdapat nama kontaknya.

"Ini siapa ya?" Balasku tanpa menjawab satupun pertanyaanya karena rasa penasaran akan siapa yang menelfon lebih besar.

"Rio, Mario Aditya."

Begitulah cerita singkat awal kami berpacaran. Saat itu aku tidak terlalu kaget karena aku sudah mengetahuinya. Teman-teman sekelasku yang merencanakannya. Menjodoh-jodohkan aku dengannya dan akhirnya kami berpacaran.

Pada awalnya aku tak terlalu menikmati masa pacaran kami. Bahkan tidak ada hal spesial di dalam percakapan kami. Namun lama-kelamaan aku menyadari bahwa percakapan biasa kami merupakan percakapan terspesial dari pasangan kekasih yang pernah ada.

Tak seperti pasangan lain yang selalu mengutarakan cinta dan sayang kepada gadisnya setiap waktu. Rio berbeda dalam hal itu, kita berpacaran dan bersahabat sekaligus. Ini sangat mengasyikkan, sangat bebas tanpa harus menjaga image kita di depan pacar dan terus-terusan memanggil sayang.

Semakin lama aku merasa semakin nyaman dengannya. Aku juga berpikir bahwa ada untungnya juga berpacaran sekelas karena kita dapat bertemu dan bercakap setiap waktu.

***

"Al, kantin yuk! Cari makan, aku laper nih." Dinda menarik lenganku keluar kelas. Sepanjang perjalanan keluar kelas aku menundukkan kepala, tak berniat melihat salah seorangpun di kelas.

"Kamu kenapa ih nunduk terus. Angkat kepala kamu Al! Kamu itu engga boleh begini terus. Kamu udah liat kan gimana brengseknya dia? Kamu itu cantik Al, banyak laki-laki di dunia ini yang suka sama kamu!" Dinda mengomeliku.

Aku hanya diam dan terus menunduk, menahan air mata supaya jangan sampai keluar disaat yang salah seperti ini apalagi di depan teman-teman sekelas. Sangat memalukan.

"Yang brengsek itu aku, Din. Aku yang engga bisa ngertiin dia makanya kita jadi begini. Aku engga ngerti harus lakuin apa lagi Dinda!"

Akhirnya kutumpahkan semua air mataku sesampainya di kantin. Beruntung tak ada banyak murid disana karena ini jam belajar.

"Capek Al dengerin kamu ngomong hal yang sama terus-menerus. Kamu sendiri engga capek apa mikirin dia yang bahkan engga mikirin kamu sama sekali? Percuma Al! Percuma!" Dinda memarahiku.

Aku tahu dia bosan. Aku tahu dia lelah mendengar drama menyedihkan yang selalu berakhiran sama. Tapi aku tidak tahu harus apa dan bersikap bagaimana, karena semua yang aku rasakan saat ini hanya kesedihan.

***

"Al, lagi les ya? Pulang sama siapa? Mau aku jemput engga?" Voice note yang kuterima membuatku tersenyum. Manis, batinku dalam hati. Aku sengaja tak membalasnya karena ingin mengetahui bagaimana reaksinya.

The MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang