Hei! Makasih semuanya yang udah sabar nunggu update ini! Dan, sekarang cerita ini udah ada trailernya! Di cek di media ya trailernya!
Jangan lupa di share ya!:) xx
***
Bel jam pelajaran pertama pada hari Senin akhirnya berbunyi setelah pelaksanaan Upacara Bendera yang melelahkan.
Jam pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Jerman. Guru di kelasku untungnya belum tiba. Aku akhirnya merebahkan tubuhku, dan tanganku tak sengaja mengenai wajah Seth yang duduk di belakangku.
"Ouch!" keluh Seth sembari memegang lenganku dan menjauhkannya dari wajah Seth.
Aku tertawa. "Maaf. Upacara tadi melelahkan. Pidato pembina tadi itu lama banget!"
"Kalau aku boleh jujur, aku senang mengikuti upacara disini, tahu," kata Seth.
"Benarkah? Kau pasti bercanda," jawabku sembari menengok ke arah Seth. Aku tertawa kecil.
"Aku tidak bercanda! Aku hanya suka bagaimana kalian benar-benar mengenang masa lalu negara kalian," jawab Seth.
"Masa lalu kami setelah kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit kan hanya berisi serangkaian penjajahan beratus-ratus tahun dari bangsa Eropa dan Jepang. Kami juga baru merdeka hampir 70 tahun, berbeda dengan negaramu yang sudah dua ratus tahun merdeka. Jadi, kami masih mengenang masa lalu kami.
"Aku juga tidak yakin kalau 100 tahun kemudian masih akan ada Upacara Bendera seperti tadi di sekolah-sekolah," kataku.
Seth tersenyum sembari mengangkat kedua bahunya. "Tapi aku tetap akan menyukainya," kata Seth.
"Kau itu aneh! Maksudku, tak ada siswa disini yang menyukai upacara," jawabku bercanda.
"Kalau begitu, aku akan menjadi warga negara Indonesia pertama yang akan mencintai Upacara Bendera," kata Seth.
"Kau bahkan bukan warga negara Indonesia," kataku sembari tertawa geli.
Ia menunduk, lalu tertawa kecil sembari mengangkat kedua alisnya dan menggeleng pelan. "Ya, aku tahu."
Tiba-tiba seorang guru masuk ke dalam kelas kami. Tapi bukan guru pelajaran Bahasa Jerman kami.
"Anak-anak, sebelumnya maaf mengganggu. Bapak mau memanggil Ava Fradella. Mana Ava?" tanya guru itu.
Aku mengacungkan tanganku perlahan dan ragu-ragu, bingung karena aku dipanggil seorang guru yang setahuku adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
"Oh ya, baiklah. Ava sekarang kamu ditunggu di ruang wakasek," kata guru itu.
Aku masih bingung. Kemudian salah seorang siswi di kelasku bertanya dengan penasaran, "Emangnya ada apa sih, Pak?"
"Oh, bapak cuman ada urusan sama siswa-siswi di sekolah ini yang yatim, piatu, atau yatim piatu," jawab guru itu.
Aku menganga. Aku tak pernah menyangka sekolah akan tiba-tiba datangi anak-anak sepertiku ke kelas-kelas, dan entah untuk apa. Sekarang semua orang tahu keluargaku sudah tidak lengkap.
Semua orang sontak melihat ke arahku. Beberapa dari mereka hanya menampakan wajah terkejut, ada juga yang memandangku dengan tatapan memelas yang sangat menganggu.
Aku perlahan bangkit dari bangkuku. Aku melirik ke arah Seth, dan ia menatapku seakan meminta penjelasan. Sepertinya Seth belum tahu arti 'yatim piatu.' Aku pun hanya menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once In a Lifetime. [On Hold]
Teen FictionAva Fradella tak punya teman. Ia tak suka berteman. Masa lalunya yang buruk tak mengizinkannya berteman. Bagi Ava, berteman rasanya seperti menjerumuskan diri ke dalam kubangan masalah. Tapi ketika Seth Adams―siswa pertukaran pelajar di sekolahnya―...