Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Aku buru-buru merapikan barang-barangku.
"Ava?" tanya Seth dari belakangku.
Aku hanya menengok.
"Kau baik-baik saja?" tanya Seth.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Um. Tadi pagi. Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak apa-apa. Maaf, aku buru-buru." Aku pun berjalan pergi meninggalkan kelas.
Aku tak pernah baik-baik saja. Sungguh.
Aku menghargai simpati dari Seth. Tapi aku tak bisa menerima itu. Aku memang tidak baik-baik saja, tapi aku baik-baik saja menghadapai keadaanku yang tidak baik-baik saja ini. Aku bisa menghadapi ini semua. Aku tak butuh bantuan.
Aku berjalan menuju halte, lalu aku menunggu angkot menuju ke rumahku.
"Hey, Ava!" Aku menengok ke belakang. Seth berjalan tak jauh di belakangku. Uh, bisakah dia mengabaikanku, lalu pergi? Aku sungguh tidak mau berhubungan dengannya.
"What?" kataku.
"Kau pulang dengan angkot?"
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Apakah kau tahu angkot ke Perumahan Bumi Hijau?" tanyanya. Rumahku juga berada di sana. Aku tak boleh pulang bersamanya.
"Kenapa kau naik angkot?" tanyaku.
"Aku harus mencobanya selagi aku di sini. Lagipula ibu angkatku tak bisa menjemputku hari ini," jawabnya.
"Oh," jawabku.
"Jadi, kau tahu?" tanyanya.
"Ya. Angkotnya berwarna kuning muda. Tunggu saja," kataku. Aku tidak akan naik angkot bersama Seth. Aku akan membiarkannya naik angkot yang lewat terlebih dahulu, lalu aku akan naik angkot setelahnya.
Seth mengangguk sebagai jawaban. "Okay, thanks. Kau naik angkot yang mana?" tanya Seth.
Aku pura-pura tak mendengarnya. Aku tak mau menjawabnya. Aku tak mau berbohong. Aku lebih baik diam. Aku bisa mendengar Seth menghela nafas dengan suara-suara bising di jalanan Kota Bandung yang ramai ini.
Beberapa menit kemudian, angkot yang kami tunggu akhirnya tiba. Angkot itu berhenti sembari menunggu penumpang lain. "Kau naik angkot yang ini juga tidak?" tanya Seth.
Aku menggigit bibirku, bingung akan apa yang harus kulakukan. Aku khawatir Seth akan tersesat kalau aku tidak naik angkot ini bersamanya.
Aku akhirnya mengangguk. "Ya," jawabku, lalu aku masuk ke dalam angkot itu. Aku melihat Seth masih berdiri di luar angkot. Seth terlihat ragu. Ia mengatupkan bibirnya.
Aku baru sadar bahwa tinggi badan Seth itu mungkin sekitar 180 cm, atau lebih. Aku juga tak yakin ia bisa muat di angkot yang atapnya rendah ini. Aku tersenyum membayangkan Seth berada di angkot ini.
Tapi kemudian Seth masuk ke dalam angkot, lalu duduk dengan posisi memeluk lutut sembari membungkuk di sebelahku. Untungnya angkot ini tidak terlalu ramai, hanya ada lima orang penumpang termasuk aku dan Seth, jadi Seth bisa sedikit nyaman dan tidak berdesakkan. Angkot pun melaju.
"Ini pengalaman pertamaku naik angkot," kata Seth. Aku melirik ke arahnya. "Dan semuanya terasa kecil di sini," kata Seth.
Aku menahan tawaku, lalu menjawab, "Kau tahu, Google bilang Indonesia ini punya rata-rata tinggi badan paling pendek di dunia. Jadi, selamat datang di tempat dimana semua yang dibuat disini mungkin lebih kecil dari yang kau punya di Amerika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once In a Lifetime. [On Hold]
Genç KurguAva Fradella tak punya teman. Ia tak suka berteman. Masa lalunya yang buruk tak mengizinkannya berteman. Bagi Ava, berteman rasanya seperti menjerumuskan diri ke dalam kubangan masalah. Tapi ketika Seth Adams―siswa pertukaran pelajar di sekolahnya―...