part 2

92 4 1
                                    

Ned




Satu. Dua. Satu. Dua. Satu. Dua.
Menusuk dengan tajam, menghunus dengan cepat, memperhatikan lawan bagai elang memburu mangsa. Kecepatan luar biasa. Tidak ada ampun untuk lawan.

Itulah kata-kata yang diajarkan guruku padaku saat berusia 6 tahun. Aku memaksanya untuk mengajariku menjadi seorang ahli pedang. Keras kepala memang, tapi aku ingin menjadi seperti beliau. Dia adalah legenda perang di desa kami. Dia satu-satunya orang termuda berusia tiga puluh lima tahun yang berhasil mengenyahkan lima puluhan musuh hanya dengan satu pedangnya. Beliau benar-benar luar biasa!

Maka dari itu, saat umurku yang masih belia, aku datang pagi-pagi sekali di depan rumahnya-memaksanya agar mau mengajarkan satu-dua jurus pedangnya. Tentu saja awalnya tuan Menrick tidak mau. Siapa yang akan percaya anak kecil ingusan sepertiku memaksa kakek tua yang jarak umurnya sangat jauh dengan umurku memintanya untuk mengajari pedang. Kira-kira saat itu beliau sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dan masih terlihat sehat-sehat saja

"Kakek, aku akan melakukan apapun asalkan kau mau mengajariku" kakek itu mendengus untuk kesekian kalinya. aku tahu sudah ribuan kali mengatakannya pada kakek yang sudah bosan mendengar celotehan mulutku. Sudah kubilang aku sangat keras kepala. Aku tidak akan berhenti sampai aku mendapatkan apa yang kumau!

"Sudah berapa kali aku bilang, kau masih belum cukup umur. Seharusnya kau bemain pedang kayu bersama dengan teman-teman seumurmu" kakek mendengus sekali lagi, kali ini cukup keras. Menyiratkan keletihan dibalik kerutan wajahnya yang putih. aku tahu dia sudah lelah dengan kebesaran hatiku untuk tetap memintanya mengajariku.

"Kakek, umur bukan menentukan segalanya. Berapapun umurku aku tidak peduli. Yang aku ingin hanyalah kau mau mengajariku dan mengangkatku menjadi muridmu" aku tidak tahu kenapa bisa seorang anak kecil sepertiku mampu mengucapkan kata-kata itu. Yang aku tahu, aku hanya mengucapkan apa yang sesuai dengan hatiku.

Tuan Menrick akhirnya mengalah, dia mau mengajariku setelah empat bulan aku selalu membantunya apapun meski dia tidak meminta atau sudah mencoba untuk tidak membantunya. Kakek itu ternyata juga sama keras kepalanya sepertiku. Tapi tidak jika dengan aku. Dia kalah. Dia mau mengajariku. Dan kau tahu begitu bahagianya aku.

Setiap hari, dihutan aku selalu belajar pedang bersamanya, dia mengajari semua jurus yang dia punya. Semuanya.

Sampai saat ajal menjemputnya di usia delapan puluh tiga tahun, aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasa dan kebaikan hatinya yang mau mengajariku yang luar biasa keras kepala ini.

Sampai pada tiga bulan kemudian, aku mendengar suatu kenyataan dari mulut bibiku-yang membesarkanku hingga sekarang ini -yang sangat memukul rongga dadaku dengan kuat

Pria itu, tuan Menrick, guru terkasihku, legenda desa Orlygokouva ternyata adalah kakekku sendiri.

***

Cukup berat bagiku untuk menerima kenyataan pahit bahwa kakekku ternyata tidak pernah jauh dariku. Bahkan dia melindungiku saat musuh mengincar diriku. Beliau pura-pura tidak pernah memiliki keturunan karena itu akan sangat membahayakanku, aku tidak tahu apa alasannya. Tapi yang pasti aku segera mencari tahu.

Kakek begitu menyayangiku. Dan aku buta akan hal itu.

Aku tahu semuanya dari bibi Morlyne. Tentu saja aku sangat marah padanya karena dia menutup rahasia yang sangat penting dariku. Tapi mendengar penuturan bibi Morlyne bahwa kakek benar-benar ingin melindungiku dari bahaya, aku pun sudah memaafkannya. Dan lebih memilih melupakan kenyataan itu.

Kakek maafkan aku..


"Ned, ayo tunjukkan pada kami beberapa jurus pedangmu yang keren itu!" aku menoleh pada belakang punggung. Suara seorang anak kecil membuyarkan lamunanku, saat aku berada di undakan batu besar sedang menatap arah hutan. Dia menatapku dengan binar di kedua bola matanya yang hijau.

The Damn GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang