part 3

58 2 0
                                    

Anna


Matahari tampak bersinar dari ufuk timur, memancarkan cahaya emasnya yang berkilauan yang menyesak masuk diantara celah pepohonan. Daunnya bergemerisik pelan tertiup angin. Burung-burung berkicau saling sahut-menyahut di langit, embun menitik bertetes-tetes di ujung daun. Seolah alam sedang menyambut hari baru.

Aku melihat Rick datang menghampiriku dengan membawa sebilah belati di pinggangnya. "Hai Cornwell, mau berlatih?" tanyanya dengan senyuman manis. Biasanya para wanita akan terpukau dengan senyuman maut itu.

"Seperti biasa Cooper, bukankah hidup sangat membosankan?" kataku membalas senyumnya. "Mau teh? Duduklah" aku menyuruhnya duduk di kursi teras rumahku. Dan meletakkan panahanku di atas meja. Aku masuk kedalam rumah untuk membuatkannnya teh hangat. Minum teh pagi hari akan membuat pikiranmu lebih rileks dan berkonsentrasi

Rick. Dia tetanggaku. Dia  salah satu laki-laki yang mempunyai daya tarik sendiri bagi para wanita dan itu tidak menutup kemungkinan bahwa aku pernah naksir padanya. Tapi itu dulu, saat sampai aku mengetahui suatu kenyataan.

Beberapa menit kemudian aku sudah kembali dengan membawa nampan dengan cangkir teh hangat  hijau pekat dan uap putih mengepul ringan di atasnya, juga beberapa camilan kecil.

"Anna, kau siap dengan pemilihan itu?" ucapnya tiba-tiba saat aku mengangsurkan teh padanya "terimakasih"

Aku menyepitkan mata, lebih tepatnya suatu rasa yang penasaran. Sebelumnya tidak ada yang tahu mengenai pemilihan ini,  setidaknya sampai kepala desa berkunjung ke desa kami. tentu saja kecuali aku dan Ned. Dan sampai sekarang aku ragu dia menguping pembicaraan Tuan Schwatbend

"darimana kau tahu? Apa orangtuamu—"

"Ned. Dia yang memberitahuku. Saat kami masih dekat.. Sebagai sahabat tentu saja" ucapnya sedikit getir. Ada nada sedih di dalamnya. Dan aku mengetahui alasan itu.  Selain bersamaku, Ned juga sangat dekat dengan Rick. Mereka dengan para lelaki yang lain biasanya suka berkumpul di gubuk kecil buatan mereka sendiri—diujung sudut desa—sampai akhirnya sesuatu yang...

"Mungkin dia masih benci kepadaku" katanya dengan muram

Menarik nafas, aku mengerti apa yang dirasakan Rick.

"sudahlah Cooper lupakan soal itu. Kalian akan bersama lagi seperti dulu. Aku tahu itu. Dan aku berjanji menyatukan kalian berdua seperti dulu" aku tidak yakin apa yang aku bicarakan, tapi aku tidak mau dia terlihat sedih seperti anak ayam kehilangan induknya

"Yeah.. Dan bagaimana denganmu? Apa kau sudah siap dengan pemilihan itu?"

"Apa aku terlihat punya pilihan lain? Semua para remaja sepertinya memang tidak punya pilihan lain, selain yah kau tahu, mengikuti aturan konyol itu. Kau juga harus berlatih kan Rick? —omong-omong itu belati yang bagus"

Dia mengerjap, lalu menatap belatinya "Aku punya banyak, ayahku yang menempanya. Akan aku beri satu jika kau mau—hm. Kuenya enak" ucapnya saat memakan kue buatan ibuku. Rick terlihat sangat menikmatinya.

"Ibuku sangat senang membuat kue. Akan aku ambilkan—"

"Tidak terimakasih. Ini sudah cukup" ada semu merah di pipi Rick. Mungkin jika suasananya tidak sedang cerah, ekspresi manis itu tidak akan terlihat

"Apa kau melihat Ned? Biasanya dia sudah berdiri disini sebelum aku bangun"

Rick menghentikan acara makan kuenya dan mata birunya menatapku. Aku gugup untuk sesaat, pesonanya memang tidak pernah berubah. Tubuhnya tepat menghalangi sinar matahari yang membuatnya memperjelas sisi tegap tubuhnya.  Bahkan saat begini pun dia terlihat seksi. Bagaimana mungkin dia tidak suka dengan para wanita cantik dan seksi yang mengejar-ngejarnya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Damn GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang