Part 2

858 100 1
                                    

Daun momiji kecokelatan yang berguguran telah berganti benda lembut berwarna putih. Musim dingin telah tiba. Karena aku sedang tidak bekerja, aku menyempatkan bermain di luar bersama dengan ibu dan Rin. Mulai dari membuat boneka salju besar hingga bermain perang salju kami lakukan. Aku senang, ibu telah menjadi 'lebih sehat' akhir-akhir ini. Ia sering memperlihatkan senyumnya. Semua ini berkat Rin, ia telah berusaha keras memberikan 'hidup' kepada ibu. 'Haatcchii..!!' sontak aku mengalihkan pandangku ke tempat Rin. Sial! Aku lupa. Kami bermain di luar terlalu lama. Dengan segera kami bertiga masuk ke dalam rumah. Aku berlari ke arah perapian. Dengan kayu bakar seadanya aku menyalakan api, kemudian memanggil ibu dan Rin. Saat pagi datang, segera aku bangun dan mempersiapkan diri. Ku lihat ibu dan Rin masih terlelap di dekat perapian. Saat itu juga aku ingat bahwa persediaan kayu bakar hampir habis. Kebetulan juga salju yang turun hanya rintik. Bergegas aku mengumpulkan kayu bakar dari hutan.

Saat aku pulang, Rin tiba-tiba berlari ke arahku sambil menangis. De Javu. Lagi-lagi aku mengalami hal seperti ini. Aku memeluk Rin, berusaha menenangkannya. Dalam pelukanku, bersama isak tangisnya ia berkata, "Ibu.. Telah meninggal..." Mendengar kalimat itu, darahku serasa berhenti. Tulang-tulangku melunak. Kakiku tak kuat lagi menopang tubuhku. Aku terjatuh bersama dengan Rin. Ia masih memelukku. Putus asa. Aku merasa usahaku selama 10 tahun ini sia-sia. Aku telah terjatuh pada lubang yang sama seperti ibu. Tiada lagi harapan dalam benakku.

Semakin hari kondisi ku semakin kacau. Aku tak bisa ingat pasti. Namun satu hal yang ku ingat, aku pernah mencoba bunuh diri. Saat pisau yang ku genggam telah siap ku hunuskan pada perutku, Rin datang dan melempar pisau itu jauh-jauh. Aku sempat hilang kendali hendak memukul Rin. Namun, ia hanya diam tanpa rasa takut sedikitpun. 'Kenapa..?' suaraku lirih, aku menunduk dan menurunkan tanganku. 'Kenapa kau tidak takut kepadaku?! Aku hendak memukulmu!' aku berteriak. Sejujurnya aku sedang bingung, apa yang ada di pikiran Rin tentangku saat itu. 'Karena.. Karena kau adalah kembaranku! Satu-satunya anggota keluarga yang kupunya!' Rin memelukku. 'Sudah cukup, aku tidak ingin kehilangan siapa-siapa lagi. Aku mohon...' lanjutnya. Suaranya tak begitu jelas terdengar. Namun aku mengerti. Dia sudah lelah. Dalam hati aku memaki diriku sendiri. Aku merasa sangat bodoh melakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan. Rin telah memberikan cahaya pada kehidupanku yang hampir rusak.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang