Part 1

1K 109 7
                                    

Namaku Len, aku terlahir dari keluarga sedderhana. Selain itu aku juga terlahir kembar dengan Rin. Meski aku dan Rin kembar, namun ada perbedaan yang sangat signifikan di antara kami, ialah gender. Ya, Rin terlahir sebagai perempuan dan aku laki-laki. Meski begitu, kami selalu bermain bersama. Aku sangat menyayangi Rin. Sebagai kembaranku tentunya. Aku ingin melindungi senyumnya, dan juga mimpi-mimpi yang ingin dicapai oleh Rin. Aku, Rin, dan kedua orang tua kami hidup bahagia dalam kesederhanaan. Saling menutupi kekurangan. Hingga tercipta sebuah kehangatan yang hanya dapat ku temukan di rumah sederhana itu.

Ayahku bekerja di kota, sedangkan ibuku bekerja serabutan menjual kayu bakar yang ia kumpulkan dari hutan. Setiap akhir pekan ayahku pulang dari kota. Aku dan Rin selalu menantikannya di depan rumah. Dengan membawa bingkisan kecil berisi kue kesukaanku dan Rin, ayah memberi dengan penuh kasih sayang. Meskipun hal yang sama terus terulang setiap pekannya, namun aku tak pernah bosan menantikannya. Hingga terjadi suatu keganjalan di akhir pekan kami. Saat itu hari Sabtu, aku masih ingat betul karena hari itu merupakan hari yang sangat kunantikan. Bersama dengan lentera kecil yang menggantung dan bergoyang di terpa angin, aku dan Rin menunggu sambil melihat bulan yang menggantung bersama bintang di langit malam itu. Sambil membayangkan lezatnya kue yang dibawa oleh ayah, aku menutup mata dan tersenyum. Hingga angin lembut menuntunku ke alam bawah sadarku

Dingin malam itu sangat menusuk hingga membawaku kembali ke alam sadar. Aku melihat Rin tertidur di pundakku. Segera aku melepas jaketku dan mengenakannya pada Rin. Aku mengangkat Rin ke punggungku dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki ruang tamu, aku melirik jam dinding yang tergantung di atas televisi.

Aneh, sudah jam setengah 2 pagi, dan ayah belum datang? bisikku dan bergegas aku menuju kamar Rin di lantai dua. Setelah aku membaringkan Rin di tempat tidurnya, segera aku mencari ibuku. Satu persatu anak tangga ku turuni. Samar-samar terdengar suara tangisan dari arah dapur. Setelah kusadari bahwa itu suara ibuku, segera aku berlari menuju dapur. Aku melihat ibuku menangis. Aku tak tahu apa yang ia tangisi. Aku juga tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang aku tahu hanya air mata itu menandakan sebuah kabar buruk. Bergegas aku berlari dan memeluknya. Saat aku bertanya apa yang terjadi, bukan jawaban pasti yang kudapat. Ibu memelukku erat, terus menangis hingga hari menjelang pagi. Sejak saat itu, ibuku jarang keluar dari kamarnya. Dan ayah, tak pernah kembali ke rumah.

Sepuluh tahun telah berlalu. Aku dan Rin telah menjadi remaja. Jika diibaratkan anak yang bersekolah, kami sudah kelas 2 SMA saat ini. Kami pernah bersekolah waktu kecil. Namun, karena biaya yang tak melampaui, kami terpaksa putus sekolah. Hingga pada akhirnya, kami diajari sendiri oleh ibu. Sungguh kenangan yang berharga. Karena saat ini ibu telah 'hancur'. Saat ini, umurku sudah mencukupi untuk bekerja. Setiap hari aku selalu bekerja di tempat yang berbeda. Ya, karena aku hanya bekerja paruh waktu. Dengan upah yang tidak banyak, aku berusaha agar cukup untuk kami bertiga. Aku berbagi tugas dengan Rin. Dengan kesabaran dan keuletannya, Rin mengurus ibuku yang telah 'berantakan'.

Ibuku mengalami tekanan yang sangat dalam. Sampai saat ini pun, aku tidak tahu kabar apa yang ibu terima malam itu. Dan sampai sekarang juga aku masih belum menanyakannya kepada ibu. Bahkan mungkin aku sudah tidak punya kesempatan untuk bertanya mengenai hal itu. Setiap kali aku pulang bekerja, ibu selalu memelukku. Saat itu juga ia mengembangkan senyumannya.

Soundless VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang