Dear Amanda,
Aku akan mengambil beberapa barang pribadiku dari apartemenmu dan membawakan barangmu dari apartemenku sore ini sepulang kerja, sekaligus mengembalikan kuncimu. Terima kasih karena telah mengizinkanku tinggal bersamamu selama dua tahun. Sayang, hubungan ini tak berhasil. Aku bersumpah tak akan melupakan semua kenangan indah yang kita buat di apartemenmu (dan apartemenku). Thanks for everything.
John
P.S.: Aku akan menitipkan kuncimu pada Pablo seandainya kau belum pulang dari kantor. Maaf, tapi aku tak bisa menunggu. Aku harus mengejar pesawat ke LA pukul sembilan malam ini. Kau tahu, tugas yang diberikan kepala editor kita. Oh, ponselku mati sehingga aku tak bisa mengirimimu voicemail, alih-alih kertas Post-It-Note. Mr. Rickborth memanggilku untuk rapat persiapan ke LA.
Aku menatap kertas Post-It-Note di meja kerjaku sambil berkedip-kedip tak percaya. Kertas itu jelas-jelas menggunakan bahasa Inggris dengan grammar sempurna-seperti yang diharapkan dari seorang John Fellen, koresponden senior The Journal, sekaligus peraih nilai tertinggi untuk ujian bahasa Inggris di ujian SAT-nya sepuluh tahun yang lalu-dan tulisan tangan yang sangat rapi, dengan ekor meliuk di setiap huruf 'g', 'j', 'p', 'y', dan semua huruf-huruf berekor lainnya.
Lantas, kenapa aku merasa sedih melihat tulisan John di kertas Post-It-Note berwarna biru itu?
John memutuskanku semalam dan aku tidak mengerti alasannya. Yah, dia hanya berkata Amanda-kurasa-hubungan-kita-tidak-akan-berhasil-atau-sesuatu-semacam-itu dan boom! Aku resmi menjadi seorang wanita single pada pukul sepuluh lewat tujuh menit dan John pergi meninggalkan apartemenku begitu saja.
Apakah aku merasa sedih?
Tentu saja tidak. Aku tidak merasa terlalu sedih hingga sanggup membuat semua riasanku luntur. Dan seharusnya tempatku sekarang adalah di meja kerjaku, mengabaikan selembar kertas Post-It-Note bodoh yang berisi tulisan ber-grammar sempurna-aku bergidik, membayangkan apakah masih ada umat manusia yang menggunakan tata bahasa Inggris dengan sempurna, mengingat remaja masa kini dengan sukses menyusun tata bahasa mereka sendiri-dan melanjutkan mengetik artikelku mengenai kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di Teluk Meksiko.
Dan bukannya menutupi kedua wajahku dengan telapak tanganku dan berlari ke toilet, bersembunyi di salah satu biliknya, berharap diriku terisap ke dalam lubang toilet dan terbawa ke Shangri-La. Atau apalah.
Terdengar suara ketukan. Seseorang mengetuk bilik toiletku! Sementara aku sedang sesenggukan dengan telapak tangan berlumuran maskara.
"Amanda?" panggil sesorang itu. Seorang wanita. Uh, tentu saja. Aku tak mungkin berharap akan ada pria yang menyelundup ke toilet wanita, sekalipun itu John Fellen. Mengingat namanya sudah membuatku terisak lagi.
"Am, buka pintunya, dong!" Ia mengetuk bilik pintu toilet beberapa kali lagi begitu tidak mendengar jawaban apa-apa selain isak tangisku yang menyedihkan.
Suara wanita itu terasa tidak asing.
"Jen?" kataku sambil berusaha mengelap tetesan air dari mata. Oh, baguslah! Pasti wajahku akan penuh dengan lunturan maskara sekarang.
"Oh, Am," kata Jen, alias Jenny, sahabatku di kantor neraka ini dan satu-satunya orang yang membuatku bertahan di tempat ini. "Keluarlah! Kau tak perlu bersedih hanya karena cowok brengsek itu. Ya ampun! Apa, sih, yang menarik dari cowok sekaku John? Ya Tuhan! Dia bahkan menulis semua kata dengan lengkap! Jadi, bukakan pintu untukku, Am."
Sambil terhuyung, aku berdiri dari dudukan toilet, dan menggeser selot bilik toilet dengan lemas. Seorang wanita langsing, berukuran hanya satu digit angka, dan rambut pirang bergelombang indah menatapku dengan iba.
Ia menghampiriku dan langsung memelukku, sambil menepuk-nepuk punggungku seolah-olah aku habis memenangkan kontes Spelling-Bee dan dia adalah guru mengejaku.
"Kau seharusnya tak perlu semerana ini, Am," katanya. Ia masih memelukku dengan sangat erat. Pelukannya-mau tak mau harus kuakui-sedikit membuat perasaanku menjadi lebih baik. "Kau seharusnya mencari pria lain yang tidak sekaku John. Ya Tuhan! Dia bahkan menuliskan kata semua kata secara utuh. Apa kau mau menghabiskan seluruh hidupmu dengan pria yang menuliskan kata semua kata secara utuh?"
Aku mendongak dan menatapnya tak percaya.
"Kau tak tahu bagaimana rasanya, Jen," sahutku di sela-sela isakku yang mengerikan. "Kau punya seorang tunangan yang sempurna."
Jenny menghela napas, aku sanggup merasakan napasnya yang hangat di belakang leherku, membuatku sedikit bergidik. Sambil menangis. Jangan ingatkan aku untuk becermin!
"Oke, harus kuakui itu benar," ujar Jen. "Tapi tidak ada yang namanya tunangan sempurna, Am. Mark sering sekali mendengkur dan aku tak tahu apa semua arsitek gemar mendengkur. Tapi bukan itu yang mau kukatakan. Maksudku adalah seharusnya kau berdiri tegak dan menganggap John adalah pria bodoh. Kau harus bisa membuktikan padanya kalau kau bukan wanita yang lemah, yang tak mampu hidup tanpanya. Kalau kau begini, kau akan membuatnya merasa-yeah-menang."
Mudah baginya mengatakan begitu. Dia punya seorang tunangan. Dan seandainya Mark, tunangannya, memutuskannya, Jenny akan segera mudah mendapatkan penggantinya. Ukuran bajunya saja satu digit. Dan ia berambut pirang.
Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa sesedih ini. John bukan pacar pertamaku. Dan dia bukan satu-satunya pria di dunia ini. Baiklah, ia lumayan tampan untuk ukuran pria culun berkacamata. Kau bisa menganggapnya sebagai Clark Kent sebelum menjadi Superman. Sebuah analogi yang, yeah, klise.
Tapi sudah sejak lama aku beranggapan bahwa John adalah The One. Ia yang akan menjadi ayah dari anak-anakku suatu saat ini.
Terkadang kenyataan memang terasa pahit.
Dan tanpa terasa aku meneteskan air mata lagi, membenamkan kepala ke bahu Jenny dan ia mengusap-usap punggungku dengan lembut.
"Baiklah, kau boleh menangis sepuasnya saat ini. Tapi berjanjilah satu hal padaku, Am," bisik Jenny. "Kau tak boleh bertingkah seperti ini lagi. Ayolah! Kau menyia-nyiakan waktumu hanya untuk menangisi pria yang tidak mencintaimu."
Bisa kurasakan daguku mengangguk, meski sebenernya lubuk hatiku tidak ingin mengangguk. Tak mungkin ada pria, selain John, yang mau denganku. Dengan seorang wanita yang wajahnya berlumuran lunturan maskara.
"Akan kutraktir kau secangkir frapuccino di Coffee Cup saat makan siang nanti."
"Kau baik sekali, Jen," balasku dengan lambat-lambat. Aku masih sanggup mendengar isak tangisku sendiri.
"Kau sudah menyelesaikan artikelmu, kan?" tanya Jenny.
Aku melepaskan diri dari pelukannya. Menelan ludah, sebuah ingatan artikel mengenai kerusakan lingkungan di Teluk Meksiko melayang di dalam kepalaku.
Sial! Tidak bisakah John memutuskanku saat Jumat malam? Paling tidak aku tak harus bekerja keesokan harinya.