JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU JOHN KEMBALILAH PADAKU...
Aku menulis kertas Post-It-Note di hadapanku dengan kalimat yang sama bagaikan sebuah mantra: John kembalilah padaku-yang membuatku sedikit berharap akan berhasil membuat John kembali akibat kemampuan sihir yang kumiliki. Rasanya aku seperti orang gila, tapi aku memang gila karena tingkah John. Maksudku, apa salahku? Dan jika tak ada kesalahan yang kumiliki, pasti dia yang memiliki kesalahan! Tapi aku bersedia memaafkan, apa pun yang telah ia perbuat. Kecuali kalau ia menggunakan kartu kreditku hingga melebihi limit. Tapi kurasa itu tak mungkin. Gajinya beribu-ribu dolar lebih banyak daripadaku, demi Tuhan!
Aku merasa Jen yang mengasuh rubrik kuliner melirikku khawatir dari meja kerjanya, beberapa meja di sampingku dan bukannya menulis bagaimana memasak pistachio yang benar dan lezat, sebuah tulisan yang harus ia kerjakan untuk The Journal edisi minggu pertama di bulan April depan.
Saat aku meliriknya, ternyata dugaanku salah. Ia sedang serius menghadapi sesuatu di balik mejanya. Entah kenapa aku ragu yang ia hadapi sekarang adalah program Microsoft Word yang seharusnya ia butuhkan sekarang. Kupikir ia sedang berhadapan dengan blazer manis berwarna pastel rancangan Christian Dior, yang tertempel dengan indah di majalah Harper's Bazaar.
Bahkan sahabatku lebih peduli dengan blazer pastel Dior dibanding dengan sahabatnya yang putus cinta. Apa semua masalah ini membuatku menjadi sinis?
Berusaha melupakan semua soal John ini, aku memutuskan untuk membuka komputer di depanku dan berusaha mengetik sesuatu: artikel mengenai kerusakan lingkungan di Teluk Meksiko, daftar belanjaan yang harus kubeli di Seven-Eleven sepulang kantor, lirik lagu Lady Gaga. Apa saja asal bisa melupakan John.
Mr. Rickborth memintaku menyerahkan artikelku paling lambat Jumat ini, dan sekarang hari Senin. Masih cukup lama memang, tapi aku tak mau Mr. Rickborth menggerecoki terus-terusan pada hari Kamis. Jadi, kuputuskan untuk mengerjakan artikel itu. Daftar belanjaan-apalagi lirik lagu Yoü And I dari Lady Gaga-jelas-jelas bisa menunggu.
Aku mengobrak-abrik tumpukan kertas di meja kerjaku yang berantakan, berusaha mencari draft yang sudah kucoret-coret di kertas bekas selebaran pembukaan deli baru tak jauh dari kantor The Journal. Ke mana aku menyimpannya? Atau lebih tepatnya, apa aku membuangnya?
Saat membuka laci meja, bertanya-tanya apakah aku menyimpannya di dalam laci, aku menemukan selembar foto. Selembar foto yang membuat mataku berkaca-kaca kembali.
Itu adalah fotoku dan John di perjalanan kami ke sebuah pantai barat Amerika. Berlatar belakang matahari senja yang terbenam, John tampak tampan sekali di foto itu. Rambut coklat gelapnya menjadi terang akibat pantulan cahaya matahari yang redup (dan rambutku, tak perlu ditanya lagi, masih saja tetap berwarna merah). Ia memeluk pundakku erat-erat sambil mengecup keningku dengan lembut.
Aku meraba keningku. Masih bisa kurasakan kecupannya di sana.
Seorang turis tak bersalah menjadi korban pemaksaan kami berdua, memintanya untuk memotret kami dengan kamera John. Aku ingat John mengancamnya akan menuliskan berita fitnah jika turis pria yang malang itu tidak mau melakukannya. Tapi, untungnya ia mau.
"Kalian benar-benar pasangan yang sempurna," katanya, sambil mengintip melalui lubang bidik, memutar-mutar lensa, dan telunjuknya bersiap untuk membidik kami. "Hubungi aku jika kalian menikah suatu hari nanti."
John hanya nyengir sementara aku, merasa hangat di dalam pelukannya, bersemu merah.
"Selesai," seru si turis itu. Ia menyodorkan kamera John kepada kami dan menunjukkan gambar yang sama dengan foto yang kupegang saat ini. "Kalian berdua memang ditakdirkan satu sama lain."
Dan lagi-lagi John hanya nyengir. Atau bisa kubilang ia hanya tersenyum tipis.
Apa arti senyum tipis itu? Apa itu berarti John sudah tahu kalau kami berdua tak akan pernah menikah? Apa dia sudah merencanakan akan memutuskanku di Minggu malam, membuatku tak sanggup menangis seharian di apartemen? Apa dia sudah berselingkuh saat itu?
Oke, soal berselingkuh itu aku hanya mengada-ada.
Seandainya saja aku bisa mengundang sang turis pria di pernikahanku dengan John suatu hari nanti. Ia bahkan sudah menuliskan nomor teleponnya di secarik kertas. Bob yang baik dan ramah, sang turis pria, yang kami paksa untuk memotret foto mesra kami berdua. Entah bagaimana perasaannya jika ramalannya tentang kami ternyata meleset?
Aku menatap foto di hadapanku sekali lagi. Tanganku bergetar begitu hebat.
BAIKLAH! SUDAH CUKUP! AKU TAK BISA LAGI SEPERTI INI.
Sambil menggenggam foto di tanganku dengan sangat erat, kalau tak bisa dibilang meremasnya dengan sadis, aku bangkit dari kursiku, berjalan menuju ke sudut ruangan ini. Di dekat pot berisi pohon fern dan pintu masuk, ucapkan salam kenal kepada sahabat baruku, Hai-Foto-Terkutuk! Mesin penghancur kertas bertenaga turbo berdiri dengan gagah di sana.
Setalah menatap fotoku untuk terakhir kalinya, aku meletakkan foto itu di atas mesin penghancur kertas. Dengan ragu-ragu. Masalahnya adalah foto ini menyimpan sejuta kenangan indahku bersama dengan John. John, pria yang telah memutuskanku. Kurasa aku memang harus menyingkirkan semua kenangan bersamanya. Tapi aku masih ragu. Tak adakah kemungkinan kami berdua untuk berbaikan kembali?
Terombang-ambing antara memusnahkan foto itu atau tidak, aku melihatnya. Aku melihat John memasuki ruangan kerjaku! Aku bisa melihatnya dengan jelas, tampan dengan jas abu-abunya, karena sahabat baru bernama mesin penghancur kertas bertenaga turbo ini sangat dekat dengan pintu masuk!
Dan John melihatku. Dan juga foto kami berdua, meski aku tak yakin ia mengenali foto ini yang tergeletak di atas mesin penghancur turbo.
John membuang muka.
John. Membuang. Muka. Dari. Hadapanku.
JOHN. MEMBUANG. MUKA. DARI. HADAPANKU. SEOLAH-OLAH. IA. TAK. INGIN. BERTEMU. DENGANKU.
John berjalan begitu saja melewatiku, tanpa menyapa atau menunjukkan tanda-tanda ia mengenalku atau apalah, mengira aku hanyalah pegawai baru. Ia melewati mejaku dan berjalan lebih jauh lagi ke sudut ruangan, menemui seorang pria tua (yang juga bernama John, sang pembuat teka-teki). Entahlah apa yang dilakukan John dengan sang pembuat teka-teki. Mungkin John memesan teka-teki silang berukuran raksasa untuk diisi selama perjalanan di pesawat menuju ke Los Angeles. Yang bahkan tidak memakan waktu hingga sejam.
Tanpa sadar aku memencet tombol on, membuat sahabat baruku bekerja, melumat setiap atom-atom lembaran foto-foto itu, menjadi semacam daging giling kertas.
Aku menatap serpihan-serpihan kertas itu. Mata John sudah tinggal separo dan aku sangat berharap itu juga terjadi di dunia nyata. Dan mataku kembali panas.