John dan aku pertama kali bertemu saat aku masuk ke kantor The Journal, sebuah majalah yang sangat terkenal di pantai barat Amerika, meski aku tak pernah tahu apa alasannya, lima tahun yang lalu. The Journal tidak memiliki topik khusus seperti majalah kebanyakan. Dan herannya Journal memiliki angka penjualan yang cukup memuaskan di Oregon dan beberapa daerah di sekitarnya.
Aku diterima sebagai penulis kolom mungil yang terletak di ujung bawah dua halaman terakhir, sebelum iklan besar sebuah perusahaan persewaan vila di daerah The Coast Range. saat itu. Sedangkan John, saat itu, yang sudah bekerja beberapa bulan lebih awal hanyalah seorang wartawan junior, yang hanya mewawancarai seorang wanita tua yang tinggal tak jauh dari Rees Park di Salem, tempat kantor—dan tempat tinggalku—berada.
Dan, serius. Aku tak pernah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada John. Aku justru tergila-gila dengan Jason Teeves dari bagian IT. Dengan senyumnya yang menawan dan rambutnya yang pirang, aku berharap dia bisa memperbaiki gen rambut merah untuk anak-anak kami suatu saat nanti—anakku dan Jason, maksudnya. Bukannya rambut merah itu jelek atau apa, aku sangat bangga dengan rambut yang kumiliki ini. Tapi aku tak ingin anak-anakku menderita tekanan sosial akibat memiliki rambut merah.
Sebelum kuketahui Jason seorang gay. Dan itu menjelaskan kenapa Jenny terkikik-kikik gembira saat aku bercerita padanya kalau aku naksir Jason. Tidak, aku bukan seorang homophobia, tapi masih adakah pria tampan di dunia ini yang hetero? Apakah memiliki-seorang-pacar-tampan-yang-normal adalah hal terlarang di Amerika Serikat?
“Lagipula siapa yang butuh seorang pria, sih, Am,” kata Jenny saat itu, masih terekam dengan sangat jelas di pikiranku—yang membuatku heran sanggup mengingat kejadian lima tahun yang lalu, sementara aku lupa apa password e-mail yang baru kuganti seminggu yang lalu. “Kita ini adalah para wanita yang mandiri dan berkelas.”
Yang kuketahui kemudian adalah ia berpacaran dengan Mark Hartron, seorang arsitek muda, tampan, berambut hitam pekat dari Salem, setahun kemudian. Mereka kemudian bertunangan dua tahun kemudian. Dan akan menikah Natal tahun ini, di Tigard, tempat kelahiran Mark sekaligus merayakan Natal di sini. Uh, bicara soal wanita mandiri dan berkelas.
“Kuralat ucapanku, Am. Kita membutuhkan pria untuk membeli semua tas Louis Vuitton itu,” sanggahnya ketika aku berusaha menggodanya, tak lama setelah ia dilamar oleh Mark. Ia bersemu merah bagaikan sebuah pomegrenade yang matang, yang membuatku iri setengah mati padanya, meski saat itu aku sudah masih berhubungan dengan John.
Tapi kalau boleh jujur, aku jelas-jelas bahagia mengetahui sahabat baikku sejak masa-masa kuliah yang mengerikan itu akhirnya akan menikah dan mengubah pola pikirnya bahwa pria itu payah. Meski memang ada saat-saat di mana seorang pria bisa menjadi sangat payah, kupikir kau mengerti maksudku. Aku senantiasa merinding setiap kali membayangkan saat kami berdua menginjak usia lima puluh dan tak ada seorang pria—bahkan kakek pun—yang mau melirik kami berdua (atau salah satu dari kami), mengakibatkan kami berdua harus ber-marathon serial Sex And The City setiap malamnya.
Dan Mark memang membelikan Jen tas Louis Vuitton. Lucky her.
Selain Jason, yang sekarang justru menjadi teman baikku dan berusaha mencarikanku seorang pria normal yang tampan sejak aku mengetahui orientasinya yang sebenarnya, aku tak pernah menemukan pria yang sanggup membuatku tergila-gila. Meski aku sudah berusaha jogging setiap pagi di Minto-Brown Island Park yang jaraknya luar biasa jauh dari apartemenku yang terletak di bagian timur Salem, berusaha mencari pria tampan (normal) yang juga sedang jogging, berusaha menjaga agar perut mereka tetap kecil dan sixpack, usahaku nihil. Tidak ada yang membuatku tergila-gila seperti Jason—sebelum aku tahu siapa Jason sebenarnya, tentu saja.