Prolog

48 2 3
                                    

Hidup katanya adalah sebuah pilihan, bukan pilihan baik atau buruk, tetapi pilihan yang buruk dan yang nggak terlalu buruk. kita juga dikasih kebebasan untuk memilih cara seperti apa untuk menyikapinya. Dan ini caraku.

Orang bilang, meninggalkan sesuatu saat hal itu belum selesai adalah kelakuan yang hanya bakal dilakukan oleh pecundang. Pengecut. Sampah masyarakat. Aku tidak takut kalau itu semua harus ditujukan kepadaku, aku memilih untuk tidak menggubris satu kata pun. Yang aku tahu, nggak semua hal itu pantas untuk mendapatkan curahat perhatian kita, when we think it's no more worth it, it means it's done.

Siang ini, hanya berbekal tas backpack, yang berisi botol air minum, 2 potong baju ganti dan underwear, dompet dan sun glasses, aku mantap melangkahkan kaki memasuki area Stasiun Pasar Senen. Tujuan pertama adalah menuju loket pembelian tiket.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" Kata seorang wanita dengan make up menor danrambut yang digelung ke dalam.
"Keberangkatan terdekat kereta apa ya, Mbak?" Sedikit bergeming, Si Mbak Menor langsung menjawab pertanyaanku.
" Ada kereta Jaka Tingkir tujuan Stasiun Purwosari, Solo. Keberangkatan pukul 12.30 WIB."
"Itu berhenti di mana aja ya, Mbak?" tanyaku lagi.
Sempat mengernyitkan dahinya, Mbak Menor ini langsung menjawab "Di Cirebon, Kebumen, Purwokerto, Kroya, Wates, Lempuyangan, dan terakhir di Stasiun Purwosari. Mbak mau ke mana?" Tanyanya berniat untuk mempersingkat proses pembelian tiket.
"Ke... ke Solo Mbak, masih ada kursi kosong Jaka Tingkir?" Jawabku kikuk, jelaslah, aku tak tau mau pergi ke mana.
"Masih, Mbak, Mbak mau di pinggir kaca?" Tanyanya dengan tatapan terpaku pada layar monitor.
"Tepat." Kataku sambil menyerahkan KTP dan menyiapkan 2 lembar uang seratus ribuan.
Si Mbak Menor mengambil KTP yang aku serahkan dan terpaku lagi pada layar monitor. 1 menit berlalu, kini giliran uang dua ratus ribu rupiah yang aku letakan di lubang penghubung kami dibabatnya. Sambil menunggu Si Mbak Menor, aku info grafis tentang pembelian tiket online yang diputar secara berulang-ulang oleh pihak stasiun. Lumayan lah kualitasnya.
"Baik, atas nama Anjani Kesuma dengan nomor penduduk 3163567812400005 di Gerbong Ketiga dengan nomor bangku 15A ya, Mbak." Akhirnya Mbak Menor memberikan memecah keheningan. Saat ia menyerahkan tiket yang masih terasa hangat bekas cetakan baru, barulah aku lihat ternyata papan nama kecil yang menggantung di dada sebelah kirinya, nama Si Mbak Menor adalah Yulia Andari. Langsung aku ambil tiketnya dan kumasukkan asal ke saku celana bersama dengan KTP.
"Terima kasih, Mbak Yulia." Kataku sambil melenggang meninggalkan loket pembelian tiket.

Jakarta siang ini cukup panas, bung! Selanjutnya tujuanku adalah ruang tunggu stasiun ini yang sejuk karena ada beberapa pendingin ruangan di dalamnya. Sampai di sana, aku langsung duduk di barisan bangku belakang sebelah pojok agarr bisa bersandar ke tembok. Jam tanganku siang itu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Lumayanlah 1,5 jam lagi. Bisa untuk tidur ini sih. Mulai kepejamkan mata, dan bersiap untuk berangkat ke alam mimpi. Ah Tuhan siang itu tak juga membolehkan hambaNya tidur nyenyak siang itu. Telepon genggamku berdering, nana Andra muncul di layar hp, yang hanya mampu membuatku mendengus keras, tak ada keinginan untuk mengangkatnya. Lekas kututup panggilannya dan kumatikan pula handphoneku.

"Aku liburan dulu." Bisikku dalam hati.

The RideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang