2

18 1 2
                                    

Di tengah tidur singkatku, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sebuah tangan kasar yang menepuk pundakku.
“Mbak, tiketnya mbak... .”
Seorang laki-laki yang usianya kira-kira akan memasuki kepala 5 dengan seragam lengkap dengan topi dan pengawal di belakangnya masih memperhatikan aku.
“Tiketnya, Mbak... .” Diulangnya instruksinya, yang akhirnya mengembalikan kesadaranku hingga 100%.  Akhirnya aku tergerak untuk merogoh saku celana dan mencari selembar tiket yang sudah aku lipat-lipat dan kumasukkan sekenanya ke dalam saku celana. Setelah Bapak tadi membolongi tiketku, ia memberikannya lagi dan berlalu begitu saja.
Baru aku sadari ketiga kursi, dua di hadapanku dan satu di sebelahku sudah terisi oleh orang asing. Di hadapanku seorang wanita dengan kerudung berwarna hijau Tosca, tatapannya teduh, ia tak begitu cantik jika dibandingkan olehku, tapi wajahnya meneduhkan sehingga nyaman untuk dipandang berlama-lama. Bukan aku penyuka sesama jenis, menjadi wanita bukan perarti mematikan insting untuk membedakan wanita cantik dan biasa saja, walau pada dasarnya semua wanita itu cantik dengan caranya masing-masing. Nampaknya ia paham jika sedang aku perhatikan, sehingga ia malah tersenyum kepadaku, aku hanya bisa membalas senyumnya dengan canggung.
Di sampingnya adalah seorang pria dengan jenggot tipis di dagunya, tak lupa kacamata berbingkai kotak hitam dan tebal di bagian atasnya yang tengah membaca sesuatu di tangan kirinya, sepertinya sebuah buku motivasi sementara tangan kanannya tengah memainkan jemari Mbak Berkerudung Hijau Tosca. Ia tak menatapku, mungkin malah tidak tau jika sedang aku perhatikan.
Yang terakhir adalah seorang pria yang duduk di sebelahku. Dengan kaos polo shirt berwarna abu-abu, celana selutut dan sepatu crocs canvas yang casual. Sebuah kabel headset putih tengah menggantung di telinganya tersambung pada....entah sesuatu di dalam saku celananya, mungkin handphone, bisa juga pemutar musik. Matanya ditutupi kacamata hitam dengan kepala yang terkulai ke sisi kiri, ia tertidur.
Jadi inilah orang-orang yang akan membersamaiku menuju ke antah berantah. Aku biasa melakukan “scanning” terhadap lingkungan sekitarku ke manapun aku pergi untuk memperhitungkan bahaya atau justru pertolongan apa saja yang mungkin saja aku dapat dari orang-orang disekitarku. Ini yang Papi ajarkan selama ini, maklum aku adalah anak perempuan semata wayang di keluargaku, tapi bukan berarti aku jadi dapat apa-apa yang aku inginkan, manja tidak pernah ada dalam kamusku dan juga kamus Mami dan Papi dalam membesarkanku.
Aku ingat bagaimana Papi dulu sering bilang, “Papi mau, kamu jadi perempuan yang tangguh, yang nggak ketergantungan sama siapa-siapa, Papi nggak mau kamu dikit-dikit mewek atau merengek minta ini-itu, boleh sih, tapi harus ada usahanya dulu, apalagi kalau jatoh kayak gini, kalo anak Papi sih nggak nangis.” Katanya waktu itu saat mengajarkanku naik sepeda roda dua saat umurku 6 tahun.
Akhirnya aku memandang jauh ke luar jendela. Kereta ini masih berjalan di kawasan ibu kota, masih terlihat angkot yang berseliweran, berhenti seenaknya mengambil penumpang, motor-motor yang merambat seperti semut dan satu-dua melanggar lampu merah, dan juga rumah-rumah gubuk yang ada di pinggiran rel kereta api yang masih ada di beberapa titik. Aku tak menyangka aku benar-benar hidup di kota yang semrawut seperti ini. Lamunanku tiba-tiba buyar akibat nada dering yang aku kenal, ah iya, aku lupa menggantinya menjadi mode pesawat. Terpampang nama Andra sekali lagi di layar. Tak ada niat untuk mengangkatnya, yang ada di otak adalah pilihan untuk mematikannya atau mendiamkannya. Keduanya tidak akan menyurutkan keinginannya untuk berbicara denganku, aku yakin itu. Sejauh yang aku kenal, dia adalah orang yang gigih. Akhirnya kuputuskan untuk tidak mengangkat telepon darinya, kutunggu sampai akhirnya nada dering itu berhenti dan meninggalkan notifikasi mailbox. Kudengarkan mailboxnya kali ini.
“Jani, jangan mempersulit semuanya, Jan, kumohon, pulanglah.” Dia menghembuskan nafasnya dengan frustasi. “Aku harap kamu baik-baik saja, jangan lupa makan, jangan sampai maag kamu kumat.”
Akhirnya kumatikan dan kutukar mode handphoneku menjadi mode pesawat, setidaknya aku masih bisa mendengarkan musik tanpa gangguan serbuan telepon dari Andra. Kutaruh handphone yang tadi aku pegang di saku celana, dan mengambil botol minum yang sudah aku taruh di meja kecil di hadapanku. Kubuka tutup botolnya yang sedikit keras dan meminumnya seteguk, dua teguk. Akhirnya ada juga yang masuk ke kerongkonganku, semenjak....kapan ya terakhir kali aku minum, bahkan aku sudah tak ingat.
Wanita berkerudung hijau tosca di hadapanku tersenyum dan menyapaku.
“Mau ke mana, Mbak?”
“Eh, ummm, mau ke... Solo.” Jawabku sekenanya.
“Oh, kalau saya turun di Purwokerto sih Mbak.” Jawabnya masih dengan senyum. Kemudian hening di antara kami. “Mbak sendirian?” Tanyanya lagi.
“Iya, sendirian. Mbak?” Jawabku singkat, tak lupa menanyakannya kembali, demi norma kesopanan.
“Oh, ini Mbak sama suami saya. Kenalkan saya Aliya.” Katanya sambil menjulurkan tangan untuk menjabat tanganku. “Anjani.” Jawabku sambil membalas uluran tangannya. Suaminya sudah menutup bukunya dan menangkupkan tangannya di depan dadanya sambil tersenyum kecil saat aku menjulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. “Zaki.” Katanya dan hanya aku balas dengan “Anjani.” Sambil menarik lagi tanganku dan menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang sudah kuyakini saat ini pasti sudah seperti tomat karena malu.
“Kamu masih kuliah atau udah kerja, Anjani?” Tanya Aliya. Wah sudah kupastikan wanita di depanku ini pasti sangatlah bosan, suaminya sibuk baca buku, dan aku dijadikan alat untuk membunuh kebosanannya.
“Jani aja. Aku udah lulus, sekarang freelancer aja.” Kataku sambil tersenyum yang sedikit dipaksakan.
“Oh begitukah? Kamu lulusan apa, Jan? Berarti aku harus panggil kamu Mbak ya? Hehe.” Katanya sambil terkekeh. Apa? Dia belum lulus kuliah? Dan sudah menikah? Bagaimana bisa? Atau bagaimana mau?
“Aku lulusan DKV Binus, Al. Nggak usah panggil Mbak, Jani aja.  Memang sekarang kamu semester berapa?” Aku jadi tertarik untuk bertanya lebih jauh.
“Wah keren, aku jurusan farmasi, ini semester 8, lagi ngurus skripsi, alhamdulillah.” Katanya sambil tersenyum bangga.
“Hmm, terus kamu menikah di semester berapa? Hebat ya, udah berani mengambil langkah seserius dan sekrusial itu di waktu belum menyelesaikan studi.” Kataku berbasa-basi, padahal jika aku menjadi dia jelas aku akan menolak.
“Baru tiga bulan yang lalu kok. Soalnya, ayahku yang menyuruh untuk menyegerakan menikah. Calonnya udah ada yang ngelamar, yaudah deh.” Responku hanya gelelng-geleng mendengar jawaban dari Aliya, bukan main. Dia berbanding terbalik dengan diriku. Kalau aku yang ada di posisinya, pasti aku yang akan menyuruh Papi untuk menikah dengan siapapun yang melamarku saat itu kalau sampai Papi ingin aku menikah.
“Haha... Kenapa, Jan? Aneh ya?” Tanya Aliya lagi sambil tertawa kecil seakan tidak ada yang salah dengan pernikahannya. Sementara itu mataku menangkap tangan Zaki yang sudah memainkan jemariAliya lagi sambil melanjutkan membaca.
“Nggak biasa aja untukku, Al.” Kataku sambil membuka lagi botol minum yang ada di depanku dan meneguknya lagi.
“Ya itulah, jodoh tidak ada yang tahu, Jan. Tiba-tiba kamu yakin aja, aku juga sebelumnya belum pernah bertemu dengan Mas Zaki, tetapi begitu Ayahku bilang ada yang melamar dan memberi tahu bagaimana dia, aku langsung yakin. Bahkan saat itu posisiku sedang tidak di rumah, tapi di Unsoed.” Katanya lagi sambil tersenyum dan melihat keluar jendela, tatapan puas akan pencapaiannya.
“Semoga langgeng sampai akhir hayat ya, Al.” Kataku tulus. Entah seperti ada suatu keinginan yang tak biasa untuk mendoakan orang yang baru aku kenal.
“Terima kasih ya, Jan. Oh iya, tadi kamu bilang freelancer kan? Freelancer apa?”  Tanyanya penasaran.
“Hmm, apa aja sih, graphic designer, editor video, travel blogger juga, hehe, ya pokoknya tergantung sedapetnya proyek, Al. Serabutan.” Kataku sambil membetulkan ikatan cepol yng sudah sangat mengendur.
“Wah, tapi itu sih serabutannya nggak main-main, Jan... . Keren betul lah, semoga lancar terus ya... .” Katanya, senyumnya kali ini sampai membuat matanya yang sipit tak terlihat. Doanya hanya kubalas dengan senyuman seadanya.
Hening lama menghinggapi kami.  Sampai tiba-tiba Zaki berkata kepada Aliya,
“Ay, sholat yuk, udah masuk waktunya nih. Kamu wudhu duluan gih gantian.”
“Iya, tapi ini udahan dulu mainan jarinya.” Kata Alya manja.
Aku yang ada di hadapannya ikutan tersipu, namun aku tutupi dengan menutup separuh mulutku dan memandang keluar. Kini kedua orang di hadapanku sudah melakukan wudhu, dan bersiap untuk sholat. Aku tak nyaman berada di hadapan mereka sehingga aku bangkit dari tempatku dan permisi keluar gerbong menuju ke gerbong restorasi.
“Pesan apa mbak?” Kata seorang laki dengan seragam batik berwarna hijau yang sedikit ketat dengan tubuhnya dari balik meja.
“Makan siang ada?”
“Ada, Mbak. Kita ada nasi goreng dan nasi rames.”
“Nasi goreng deh. Kopi ada?”
“Kopi hitam, kopi susu?”
“Kopi hitam. Mas, di sini boleh ngerokok nggak?”
Sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan, aku juga mengeluarkan sebungkus rokok yang tadi aku beli di stasiun.
“Maaf tidak boleh, Mbak. Ditunggu pesanannya sebentar lagi ya, Mbak.” Katanya sedikit kaget melihat sebungkus rokok Malrboro dari dalam saku, kemudian tersenyum sopan.
Kecewa kumasukkan lagi bungkus rokok ke dalam saku celana dan menunggu di bangku dengan meja yang lebih panjang di sebelahnya.
Pandanganku lagi-lagi terfokus ke luar jendela. Hamparan sawah hijau yang luas memanjakan kedua mataku. Pasti ini sudah sampai Karawang, batinku. Aku berusaha untuk fokus pada salah satu obyek aku lewati, apapun itu. Tetapi, kereta ini begitu cepat, ia tak ingin menungguku untuk sekedar tahu apa itu, akhirnya aku hanya bisa jalan terus. Mungkin inikah hidup? Dia seperti kereta yang terus berjalan, sangat cepat dan membelah angin, melewati apa saja yang ada di sekitarnya, kita tak bisa menghentikannya, kecuali jika memang waktunya berhenti. Apa yang terjadi di rumah kemarin, mungkin tidak semuanya untuk aku ketahui detail peristiwanya, sebab-akibatnya, tetapi memang untuk aku jalani saja.
Si Gigih Andra. Jojo yang penakut dan Ayahnya yang tak tau sopan santun. Aliya yang penurut, manja, cerewet dan optimis. Zaki yang pendiam, misterius tapi juga terlihat sisi manjanya. Apa yang Tuhan coba katakan padaku saat ini dengan pertemuan-pertemuan ini ya? Tanyaku dalam hati sambil memandang langit yang biru cerah, bersih dari gumpalan awan.
Tiba-tiba pikiranku ini dihentikan oleh seorang laki-laki yang berdiri di muka bangku yang aku tempati,
“Maaf, boleh duduk di sini?”
Setelahnya aku hanya kaget dan tidak percaya dengan siapa aku duduk sekarang.

_________________________________________________________

Source mulmed : pinterest
Thank you for reading. Tunggu chapter selanjutnya ya, bakal ada banyak hal yang ditemukan Anjani dalam perjalanannya kali ini. Kira-kira apa ya? Terus siapa sih Andra sebenernya? Nah, keep reading and giving me vomment ya :))

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The RideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang