"Aku liburan dulu." Bisikku dalam hati.
...Tuhan seakan berkata "Tidak, tidak sekarang, Anjani, kamu tidak bisa istirahat sekarang." Seorang anak kecil baru saja menubruk kakiku. Anak kecil dengan mata hitam sebesar biji buah leci itu kini menunduk, berkali-kali meminta maaf kepadaku.
"Maaf, Kak. Jo nggak lihat."
Duh, ini anak, mau marah tapi kok lucu sekali tingkahnya, mana orang tuanya ya?
Sambil membuang nafas, akhirnya aku berkata "Iya, nggak apa, Mama kamu mana?" kataku sambil merunduk untuk melihat wajahnya yang menggemaskan.
"Di sa.... ." Katanya menunjuk bangku di beraisan depan ruang tunggu. Belum sampai menghabiskan kalimatnya, pandangannya berubah cemas. "Loh Mama mana?" Katanya bingung.
Mati gue, ketemu anak ilang. Ah, males deh kalau urusannya jadi gini. Maksud hati ingin menghilangkan kepenatan, sekarang malah ketemu anak ilang. "Nggak ada Mamanya Jo?" Tanyaku berusaha ramah dan menepis wajah badmood yang tadi sempat muncul.
Jo, tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dan akhirnya terdengar suara isak pelan. Oh, no with the tears. Frustasi, akhirnya aku merubah gaya rambut yang tadinya kuikat kuda, menjadi aku cepol berantakan.
"Sssh.. Jo, jangan nangis, yuk cari Mama yuk." Jo masih terisak, ia malah menggeleng keras. "Sssh... Jo, jangan nangis dong..." Kataku masih membujuk Jo agar ia tidak menangis, karena saat ini satu per satu orang mulai melirik ke arahku. Wah, salah-salah aku justru bisa dituduh penculik anak kecil nih. Berpikir Anjani, berpikir. Segera aku rogoh saku celanaku, seingatku, Mbak-Mbak Pramuniaga sempat memberikan aku uang kembalian berupa permen saat tadi membeli rokok. Yap dapat!
"Ssssh.... Jo jangan nangis, nih kakak punya permen nih." Kataku sambil berusaha mendiamkannya sambil mengiming-imingi dua buah permen mint rasa cherry. Sial. Jo hanya melirik sebentar, mengambil permen tapi malah menangis lagi.
"Oh Tuhan, aku harus apa... ." batinku berteriak. "Jo, jangan nangis, kan udah Kakak kasih permen, permennya enak loh, bisa bikin senyum." Heuh? Lelucon macam apa yang kau berikan Jan? Kataku sambil menariknya untuk duduk di sebelah bangkuku.
"Yaudah, kalo Jo nggak mau cari Mama, kita tunggu di sini ya, sampai Mama Jo dateng." Jo tidak membalas apa-apa kecuali anggukan pelan, sambil berusaha membuka permen yang tadi aku berikan. "Mau dibantu nggak?" Dia hanya menggeleng. Tapi tak lama kemudian, dia menyerahkan permen yang ujungnya sudah digigiti dan basah berlumuran air liurnya. Serius nih? Batinku kembali menjerit. Dengan melawan seluruh rasa jijik yang muncul ke permukaan, akhirnya aku mengambil permen itu dari tangannya, dan bersusah payah membukanya dengan hanya empat jari saja, tapi itu jadi pekerjaan yang sulit karena bungkkus permen menjadi licin karena air liurnya, akhirnya tanpa babibu lagi, aku langsung merobek bagian ujung permennya dengan gigiku sendiri. Berhasil. Kuserahkan sebutir permen berwarna merah cerah dengan rasa cherry mint itu kepada Jo. Aku rasa sekarang aku membutuhkan air mineral.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, ke mana orang tua Jo. Jo yang tadinya diam sekarang mulai bernyanyi-nyanyi lagu anak-anak tanpa henti. Ingin aku geledah badan anak ini, siapa tahu aku bisa menemukan tombol mute. Aku tidak menyuruhnya untuk menghentikan nyanyiannya itu, takut ia menangis lagi, akhirnya aku hanya bisa menunduk dan menenggelamkan kepalaku di tangan yang kulipat dan disangga kedua lututku. Tak lama kemudian ada suara baritone yang memanggil nama Jo, suaranya semakin mendekat, membuat aku segera menengadah untuk melihat siapa yang datang.
"Jo... Jo...Jo! Kamu ke mana aja? Dicariin Mama loh... ." katanya sambil mengangkat Jo ke dalam gendongannya. Jo hanya diam tidak menjawab apa-apa, takut dimarahi sepertinya. Sementara aku hanya duduk dan melihat dua manusia ini yang ada di depanku, tak berkata apa-apa sampai Si Pria Baritone ini mengatakan terima kasih sudah menjaga Jo.
"Sama-sama, no probs." Kataku dengan senyum yang ssedikit dipaksakan. No Probs mbahmu, Jan! Tanpa basa-basi lagi, Si Pria Baritone langsung pergi membawa Jo dalam gendongannya. Ih, dasar pria tak tau sopan santun. Orang tua muda tak tau aturan. Gerutuku dalam hati.
Aku kembali lagi ke posisi awal, posisi tidur. Kumulai pejamkan mata lagi, kembali untuk beristirahat. Sebelum benar-benar tidur ada bayangan Jo yang mengunyah permen merah cerah rasa cherry mint di hadapanku, dan bayanganku sedang mengabaikannya. Aku memang belum siap ke sana. Batinku berkata. Ah aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku berusaha untuk memejamkan mata, justru Jo atau bayangan diriku yang mengabaikannya yang muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar ruang tunggu.
Dengan menyandarkan diri pada tiang penyangga koridor, aku mulai membuka bungkus rokok yang tadi aku beli. Mencari korek di saku sebelah kiri, dan menyalakannya untuk disumut ke ujung rokok yang kini bertengger manis di antara kedua bibir merah mudaku. Aku hisap dalam-dalam, merasakan bagaimana hangatnya nikotin merasuki paru-paru dan menghembuskannya. Sambil melihat beberapa kuli panggul yang berlalu lalang, atau ibu-ibu yang melewatiku dengan pandangan mencibir, ada juga kawan-kawan dengan perlengkapan naik gunung lengkap yang tersenyum kepadaku. Sunglasses yang tadinya tak kupakai dan bertengger di atas kepalaku, akhirnya kembali aku pakai, selain memang karena panas, aku tak tahan, melihat ibu-ibu yang lalu lalang di hadapanku dengan tatapan mencibir. Memang tega betul norma masyarakat berlaku, apa yang tidak lazim di masyarakat, langsung dianggap salah. Toh, ini ruang terbuka? Aku tak menyemburkan asap rokokku pula ke wajah mereka, kenapa mereka sepertinya antipati sekali denganku?Tak terasa rokok yang aku hisap kini tinggal setengah, sementara bara kecil yang menyala diujungnya terus menyulut tembakau yang tergiling rapi, merambat berlari mendekati pangkalnya. Mataku memang masih sibuk memperhatikan lalu-lalang orang di Stasiun Senen namun, otakku tak ada di sini. Otakku pergi ke kejadian dua hari lalu di mana Andra berteriak di depan wajahku dengan kerut yang muncul di dahinya, dia selalu begini kalau marah padaku. "TERUS KAPAN?!" pertanyaan itu terus terngiang, dan jawabannya tak pernah muncul. Tidak kemarin. Tidak hari ini. Jangan tanya besok, aku pun tak tahu. Batang rokok yang tadinya aku hisap sudah hampir menemui pangkalnya, kuhembuskan asap terakhir dari mulutku dan kubuang puntungnya, sekali-dua kali injakan untuk mematikan baranya, bukan, itu untuk hidupku yang menyebalkan.
Tak terasa panggilan untuk kereta yang aku naiki sudah menggema di seluruh stasiun lewat pengeras suara yang ada di pojok-pojok koridor. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum keberangkatan, segera kugendong lagi tas punggungku dan menuju sebuah convenience store di sebelah ruang tunggu untuk membeli makan air minum dan beberapa makanan kecil. Tak lupa satu bungkus Rokok mint, karena rokok tadi adalah satu batang terakhir dari satu bungkus yang aku beli kemarin sore. Tanpa menunggu lebih lama lagi aku segera menuju kereta yang akan mengantarkanku ke... Entah ke mana, semauku saja nanti akan turun di mana.
Kereta Jaka Tingkir ada di Jalur 2. "Ekonomi 6/15A" kataku sambil membaca lagi tiket yang kupegang. Gerbong 6 berada di belakang gerbong Restorasi, dan tempat dudukku berada di tengah-tengah gerbong, sehingga aku tidak akan terganggu dengan bunyi derit pintu yang digeser orang-orang dan pastinya aku tidak akan mencium bau aneh dari kamar mandi. Sampai di bangkuku, aku langsung mengeluarkan barang-barang yang kiranya akan kuperlukan. Charger handphone¸ slayer dan headset, oh dan beberapa makanan kecil dan minuman yang tadi aku beli, sampai akhirnya aku menaruh tasku di rak di atas kepalaku.
Aku baru ingat, aku telah mematikan handphoneku setelah Andra menelponku tadi sewaktu di ruang tunggu. Aku segera menyalakannya dan tak kaget dengan tujuh mailbox yang ia tinggalkan untukku. Aku tidak kaget dengan jumlah itu, karena aku pernah menerima 34 missedcalls, 15 mailbox dan entahlah berapa puluh pesan yang ia kirimkan untukku. Segera aku buka satu per satu mailbox darinya. Kau harus bersyukur, Ndra, aku masih memiliki keinginan untuk mendengarkan Mailbox darimu.
"Jani, kamu di mana? Kirimkan lokasimu, aku akan segera menjemputmu."
Wah, pede betul..
"Jani, katakan kamu di mana? Mami dan Papi sangat khawatir, aku tak mau terjadi apa-apa padamu."
Apa pedulimu, Ndra...
"Jani, jangan bertingkah seperti anak kecil! Tidak semestinya kamu bersikap seperti ini. Selesaikan dengan cara orang dewasa!!"
Ha! Kau pikir siapa yang sebenarnya seperti anak kecil?!
"Jani, kamu tidak bisa pergi jauh, aku akan mengerahkan siapa saja untuk menemukanmu!"
Ancamanmu basi.
"Jani, pulang, Nak. Kita selesaikan ini baik-baik, pulang, Sayang ..."
Bagus, sekarang gunakan Mami! Gunakan Papi! Gunakan seluruh anggota keluargaku, Ndra!
"Jani, untuk kali ini saja jangan keras kepala. Sebutkan di mana kamu berada?"
Suaranya mulai terdengar frustasi, secepat itu kau menyerah, Ndra?
"Jani, aku tak ingin memaksamu, tapi kita harus membicarakannya baik-baik. Kau tidak bisa lari begitu saja, ini bukan hanya persoalan kau dan aku saja tapi keluarga besar , kita. Aku tau mungkin ini gila, tapi aku....aku mulai mencintaimu. Tak maukah kau mencoba untuk memulainya, Jan? ... ."
Klik.
Kumatikan mailbox terakhir dari Andra. Aku tak ingin mendengar kata-kata selanjutnya. Omong kosong apa ini?! Dia bilang dia mulai mencintaiku?! Ah tai kucing! Sambil melihat ke luar jendela di mana seorang kuli panggul membawa 2 koper besar yang ditaruh di pundak kiri dan menjinjing travel bag yang tak kalah besarnya di tangan kanannya dengan empat anggota keluarga yang mengikutinya di belakang, aku menghembuskan nafas keras. Kepalaku sakit, tetapi ini bukan pusing biasa, aku lelah dengan omong kosong ini."Aku tidak bisa... ."
Aku pun menutup mata, dengan harapan nanti setelah kumembuka mata, bayangan Andra dalam hidupku akan menghilang. Dan harapan ini membawaku ke alam mimpi. Akhirnya, aku beristirahat, hanya saja aku berharap aku tak lagi dibangunkan oleh suara dering handphone dengan nama "Andra" di layarnya. Semoga.Source mulmed : liputan6
Hai! Ini cerita pertamaku, maaf ya kalau banyak typonya. Wait for my next chapter, fellas!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ride
AdventureKisah tentang sebuah perjalanan dari Anjani Kesuma. Seorang wanita berusia 25 tahun yang independen, bebas dan selalu ingin keluar dari rumah. Ia hidup di tengah kekangan keluarga yang sangat protektif di mana Anjani yang merupakan anak terakhir yan...