Shania memperhatikan sekali lagi sosok pantulan yang ada di cermin seukuran tubuhnya itu. Memperbaiki segala yang menurutnya kurang, dan mendekatkan penampilannya pada sebuah kesempurnaan kecil. Takut kalau ada yang kurang dan seseorang mencelanya, tentu ia akan malu, apalagi di acara seperti ini.
"Nona Shania, ayo, acaranya telah dimulai. Sudah selesai, kan?" suara bi Surti terdengar dari balik pintu kamar yang tidak terkunci itu.
"Iya, baiklah." Shania memakai high heels-nya, berwarna biru tua, dengan aksen tali mungil yang menghiasinya. Serasi dengan terusan selutut yang dipakainya, yang berwarna biru muda lembut, sederhana, tapi sesuai dengan karakternya yang manis dan anggun dalam sebuah kesederhanaan.
Sekali lagi, Shania menatap riasan rambutnya, yang terurai manis, dengan bando beraksen permata bertengger membingkai wajah putihnya.
Dia lalu keluar, bi Surti menyambutnya dengan senyuman.
"Manis sekali, anda, nona, anda menyiapkan semuanya sendiri?"
"Yah, begitulah. Aku membeli semuanya sendiri." kata Shania sedikit tersipu.
"Mari, kita turun. Tuan Boby dan tamu yang lain sudah menunggu anda dibawah."
Shania menuruni anak tangga satu persatu. Membiasakan berjalan menggunakan sepatu berhak tinggi, meski ia sudah berlatih supaya tidak terjadi hal yang memalukan hari ini.
Semua mata tertuju padanya. Shania berusaha mengembangkan senyum manis. Tepat di anak tangga terakhir, sebuah tangan dan tatapan sejuk dari mata yang sedingin es itu menyambut. Kemudian menggenggam tangan Shania. Memandang Shania dengan seksama.
Seisi ruangan itu kemudian penuh dengan tepuk tangan riuh. Semuanya berdecak kagum dengan penampilan Shania, yang begitu cantik ketika rambutnya terurai. Dan juga keserasian sepasang kekasih ini, yang perempuan terlihat sangat cantik, dan Boby yang membuat semua orang yang ada disini mengatakan 'keren', karena kemeja putih lengan panjang itu begitu serasi. Boby pun mengatakan sesuatu.
"Cantik sekali kamu, Nju." katanya tersenyum.
Shania tersipu, untung saja, kali ini ia memakai blush on
jadi sedikit bisa menutupi bayangan kemerahan yang menggaris dipipinya.Dan acara pertunangan itu pun berlangsung, dan kini, sudah lewat dua jam dari mulainya acara. Selingkar cincin putih telah berada di jari manis Shania dan Boby.
Sebuah alunan musik yang lembut membawa suasana ke dalam kehanyutan dansa yang indah. Hampir semua tamu yang datang berpasang-pasangan mengikuti dansa. Sebagian yang lain cuma duduk-duduk sambil menikmati minuman.
Shania memejamkan matanya lagi, untuk kesekian kalinya, larut dalam gerakan dansa anggun bersama Boby. Meyakinkan perbedaan bahwa peristiwa indah ini bukan mimpi. Hari yang sudah ditunggunya dengan tidak tenang selama berhari-hari akhirnya datang, dengan kesulitan yang tidak berarti. Ia membuka matanya, memandang Boby didepannya.
"Ada apa, Nju?" tanyanya lembut.
"Ah, tidak," Shania menundukkan wajahnya, menyembunyikan bayangan kemerahan yang kembali muncul dipipinya.
Boby menarik dagu Shania, menghadapkannya tepat ke wajahnya, dan mendekatinya dengan pelan.
"Ah, maaf." Boby mundur dari Shania, mengangkat telepon ke ponselnya yang berdering.
Cukup lama juga mereka berbicara di telepon itu. Kemudian Boby kembali berbalik kepada Shania.
"Aku harus pergi."
"Kemana?" tanya Shania.
"Ada urusan dengan pekerjaan kantorku. Malam ini juga, tidak bisa ditunda, aku harus ke kantor, terjadi sesuatu disana. Maaf, Nju, aku harus pergi disaat seperti ini..."