His Memories

1.5K 110 9
                                    

Pagi hari di musim dingin dinikmati Jungkook dalam kekangan ruang segi empat berwarna dominan putih gading. Di pojok ruang ada almari super besar yang diwariskan oleh neneknya setahun silam. Pintu bertulis 'Jroom' itu terbuka disela himpitan kayu jati, disebelah meja belajar penuh gambar.

Jungkook menguap lebar-lebar, membuang rasa kantuk sebelum beranjak dari kasur. Ia merenggangkan otot-otot ditubuhnya. Setelahnya, diambil paksa handuk yang tergantung serta menimbulkan bunyi 'krak' pelan.

Sebelum memasuki kamar mandi ia menyempatkan untuk berkaca dulu.

"Astaga, lihat dirimu. Berantakan sekali, hm. Tugas, oh, tugas."

Maksudnya, ia menyalahkan tugas yang selalu diberi dosen setiap pertemuan yang dengan kejamnya hanya diberi kesempatan mengerjakan beberapa hari, hingga setelahnya menghasilkan kantung mata super seperti ini.

Jungkook butuh istirahat, sungguh.

Lalu ia mandi dengan guyuran air dingin khas musim dingin.

Untung saja, hari ini ia libur. Ia bisa menghabiskan waktu dengan menyegarkan otaknya dimanapun, bukan? Ya, dan ia berencana mengunjungi Jimin-hyung saja.

.

"Jungkook!"

"Jeon Jungkook! Banguuuun!"

"Hey, Jungkookie, bangun."

Bocah cilik, berusia sekitar sepuluh tahun. Dengan suara cempreng khas laki-lakinya berteriak membangunkan seseorang yang namanya telah disebut. Pipinya yang gembul semakin tembam saat ia mengisinya dengan udara yang ia gembungkan di pipi. Tangannya yang bantet tak tinggal diam, melempar guncangan-guncakan kecil di bahu si bocah yang tertidur pulas.

Jimin--bocah sepuluh tahun, menjatuhkan dirinya di ranjang empuk sebelah Jungkook yang tertidur pulas. Ditatapnya wajah Jungkook yang semakin polos dimatanya. Lalu dielus-eluskan tangannya ke kepala Jungkook.

"Halus," gumamnya pelan. Ia semakin mendekatkan wajahnya ke kepala Jungkook. Semakin dekat. Ia dapat merasakan napas hangat Jungkook yang menerpa wajahnya.

Dan,

"Apanya yang halus." Ok, Jimin mau tak mau harus segera duduk lalu berdiri dan bertingkah seperti orang kehilangan ingatan. Astaga, ia malu sekali. Kenapa. Kenapa wajahnya panas. Ada apa? "Hyung, apanya yang halus?" Jungkook kembali bertanya. Dengan kilat penasaran yang tergambar di matanya, ia menelengkan kepalanya lucu.

Jimin berhenti mondar-mandir, ditatapnya Jungkook yang sedang menunggu jawaban darinya.

'Cuteeeeee~' batin Jimin frustasi sekaligus gemas. Ia seperti melihat puppy yang sedang menunggunya menuang makanan. Oh, tidak tidak tidak. Ia bisa gila. Dan Jungkook, tolong hentikan.

"Senyummu." ceplos Jimin.

"Senyum...ku?" Jungkook menunjuk dirinya, dan menatap Jimin seperti apa-itu-perumpamaan-senyum-yang-halus.

"Ya intinya, aku suka senyummu. Jadi tolong tersenyumlah terus, oke?" Jungkook terdiam, menangkap maksud Jimin. Kemudian senyum gigi kelincinya ia pamerkan kepada Jimin dengan lebar. Hingga yang terlihat hanya kelereng hitam di mata Jungkook.

"Seperti ini?" Jimin mengangguk pelan dengan wajah merah. "Siap, hyung."

Mulai saat itu, Jimin selalu melihat Jungkook tersenyum lebar saat bersamanya.

.

"Jimin-hyung apa kabar, ya?"

.

"Jimin-hyung," Jungkook menghampiri bocah mungil yang terduduk dibawah perosotan.

Diantara hari libur pada musim dingin, mereka lebih memilih untuk bermain di taman penuh mainan seperti mereka biasanya bercerita. Jimin menunggu Jungkook, Jungkook datang menghampiri, lalu mereka bercerita.

Dan kali ini beda, Jungkook memanggil. Dan Jimin bergeming. Kepalanya menunduk, tak menoleh bahkan melirik. Tangannya terkulai lemas di tanah, sementara kaki yang terbalut celana jeans sedengkul itu tampak lecet penuh luka.

Ketika Jungkook menyibak kepala Jimin beserta poni pendeknya, sesuatu mengucur dari sana. Jungkook tidak bodoh untuk hanya mengetahui sesuatu tersebut bernama darah. Namun ia masih belum mengerti mengapa Hyungnya seperti itu. Bagaimana bisa preman pelindungnya tampak begitu menyedihkan? Dan siapa yang membuatnya seperti ini?

Terlalu banyak pertanyaan sehingga yang terjadi berikutnya tak dapat ia tangkap dengan jelas. Seperti ketika ia berteriak histeris, kemudian ibunya yang sedang menyiram bunga langsung berlari kearah mereka dan para manusia dewasa yang menggendongnya. Jungkook terlalu bingung untuk menghadapi situasi seperti itu.

Ia diam, dan menangis.

.

"Jimin-hyung sadarlah, kumohon."

"Jimin-hyung,"

"Jimin-hyung aku janji akan terus tersenyum. Jadi sadarlah, hyung."

Jungkook mengusap air mata, menoleh dan bertanya.

"Jimin-hyung kenapa, bu? Jimin-hyung akan baik-baik saja kan? Ibu."

"Shh... Diam dulu, sayang. Jimin-hyung sedang tidur. Jadi kamu tidur juga, ya." Ibu menepuk paha yang terbalut rok khas rumahan yang terpakai di kakinya. Tersenyum halus kendati rasa kaget masih bersemayam dihati.

"Jungkook harus tidur juga?" Ibu mengangguk kala putranya bertanya polos. Dan menaruh kepala di paha ibunya. "Jimin-hyung akan segera bangun kan, bu?" Ibunya mengangguk sekali lagi sembari mengelus surai hitam Jungkook di pahanya.

"Jimin-hyung akan baik-baik saja."

.

"Jimin-hyung akan baik-baik saja."

Dengan begitu, Jungkook terlelap.

Namun, sedetik setelah Jungkook tertidur, dokter datang dengan keringat menggantung di dahinya. Sang dokter tergopoh, menghampiri Ny. Jeon.

"Pasien Park mengalami masa kritis sekarang. Pendarahan dikepalanya sangat banyak. "

Ny. Jeon tidak bisa tidak kaget sekarang. Perannya sebagai wali terlupakan. Ia berdiri, setelah sebelumnya menyandarkan kepala Jungkook pada kursi tunggu.

"Saya mohon, lakukan yang terbaik, Dok."

"Tapi Pasien Park membutuhkan pendonor darah sekarang juga."

"Ambil darahku, Dok."

.

"Jungkook!"

Ah, sial.





















Notes:

Cerita ini punya alur maju mundur yg abstrak dan acak, jadi tiap kali ada tanda titik satu, tolong perhatikan, itu artinya ganti scene teman-teman :"

Dan maaf karena updatenya yg terlambat dan makasih udah ada yg mau nunggu lanjutan ceritanya;-;

Ok, ok see ya next chapter.

MEMORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang