Seventh

152 15 7
                                    

On mulmed is Via :3

Author's P.O.V

Edward membuka matanya perlahan, kemudian pandangannya yang awalnya kabur, semakin menjelas. Namun yang ia bisa lihat hanyalah warna putih. Saat ia menggerakkan tangan kanannya karena refleks, ia merasakan sakit di pergelangannya. Kedua tangan dan kakinya di borgol dan dirantai dalam keadaan berdiri.

Edward melihat sekelilingnya, mencari CCTV yang ia yakini pasti ada. Ia menemukannya, ada 4, masing-masing satu di setiap sudut langit-langit.

Tak ada yang bisa ia lakukan, CCTV-CCTV itu akan menangkap setiap gerakannya, dan Edward sadar itu. Ini akhir dari organisasi mereka.

Tapi ia akan mempertahankannya sampai akhir. Ia bertekad dalam hati.

[]

Taka's P.O.V

Polisi wanita di sampingku ini melihat kami satu persatu---kecuali Clee yang berada di belakangnya---dan saat matanya bertemu dengan mataku, aku tahu ia sanggup membunuhku sekarang juga. Masalahnya cuma apa aku bisa mendahului pelurunya yang berada dalam pistol yang ada di antara dua keningku ini?

Ntah sejak kapan aku menahan nafas, dan ketika sadar---dan menarik nafas kembali---mata kami masih berada di satu titik yang sama.

ARGH! Ini bukan cerita romance! Tapi ... aku ...

Benci mengakui ini, tapi ini benar-benar terjadi.

Aku tak sanggup mengalihkan mataku.

[]

Author's P.O.V

Edward memutar kepalanya 45° ketika mendengar suara pintu sel-nya dibuka.

Seorang lelaki berjalan ke arahnya, suara ketukan pantofel-nya menggema ketika beradu dengan lantai keramik.

Ia berhenti di depan Edward.

"Hei, Nak."

Panggilan itu tidak dijawab, Edward malah bersiul menyanyikan lagu Let It Be milik The Beatles.

"Lihat aku."

Edward tetap tidak menghiraukannya.

Tidak ada pilihan lain, pria itu mencengkeram dagu Edward lalu memutar arah kepala Edward menjadi ke arahnya.

Tapi tetap saja mata anak itu tidak melihat ke arahnya.

"Lihat aku, Nak!"

Edward melihatnya. Sekilas. Lalu melihat yang lain lagi.

"Apa yang kau lihat saat melihatku?"

"Ketegasan- tidak, kau cuma pura-pura tegas."

"Apa lagi?"

"Kau mencoba membaca pikiranku."

"Hm."

"Kau seorang psikolog."

"Benar. Katakan lagi yang ada di pikiranmu tentangku."

"Kau takut padaku."

Pria itu tergelak mendengar pernyataan Edward.

"Kenapa aku harus takut padamu?" tanya pria itu.

"Karena kau kira aku ini psikopat."

Pria itu menyembunyikan mulutnya dengan tangan yang digenggam. Tapi di balik tangan itu ia tersenyum kecil.

"Asal tahu saja," kata Edward, mengambang.

"Hm?"

"Aku- kami bukan psikopat, tapi kami bisa lebih kejam dari mereka."

Tell MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang