Apakah kamu pernah merasakan mati? Setiap malam dikejar-kejar oleh kematian dan selamat pagi itu juga?
Aku pernah.
Asal kamu tahu, rasanya sama sekali tidak enak.
Orang-orang bilang aku punya gangguan jiwa berat. Aku berhenti membedakan khayalan dan kenyataan. Karena memang, garis di antara mereka sudah sangat kabur bagiku. Atau mungkin, garis itu sudah tidak ada. Duniaku saat ini hanyalah kombinasi khayalan dan mimpi buruk.
Setiap hari aku diingatkan betapa tidak normalnya diriku. Orang yang paling semangat mengingatkan ada di sofa merah itu. Yang warna merahnya senada dengan semua perabotan di ruangan ini. Yang seringkali mengingatkanku akan lautan penuh darah. Yang lama-kelamaan membuatku tergoda untuk membuat lautan versiku sendiri.
Untungnya, aku tidak harus menciptakannya sendiri. Orang itu selalu siap membantu. Terkadang, jika orang itu sedang memegang botol hitam kesukaannya, dia akan membuatkanku lautan darah tanpa diminta. Aku bahkan tidak perlu membantu. Yang perlu kulakukan adalah diam, menunggu, dan menikmati.
Tapi hari ini bisa jadi hari terakhirku dengannya. Orang itu bilang ada keluarga ibu yang memintaku tinggal di rumahnya. Saudara jauh, kata orang itu.
Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku punya saudara. Apalagi mempunyai keluarga. Anggota keluargaku adalah diriku sendiri. Orang itu tidak dihitung karena dia sudah sering berteriak di mukaku kalau dia tidak sudi menganggapku keluarga.
"Buruan masukkin semua barang-barang kamu ke mobil. Om ada acara jam delapan," kata orang itu, sambil sesekali mengisap rokok di tangannya.
Aku pun bergegas mengambil dua kardus berisi semua barang yang ku punya. Ya, tidak banyak memang untuk ukuran seseorang berumur tujuh belas tahun. Tapi aku tidak pernah suka mengumpulkan barang yang menurut sebagian besar orang penuh dengan kenangan.
Singkatnya, aku tidak terlalu suka dengan kenangan. Satu kenangan sudah cukup bagiku. Toh tidak perlu repot mengingat, setiap hari aku sudah dihantui dengan kenangan itu.
Orang itu masih mengepulkan asap beracun dari mulutnya. Kemudian tanpa berkata-kata, ia melemparkan kunci mobil padaku. Sayang, refleksku terlalu lambat. Kunci mobil itu jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi yang lumayan keras.
"Dasar anak bego. Nangkep kunci aja nggak becus," maki orang itu.
[.]
Sudah satu jam mobil orang itu melaju. Menyusuri jalan tol Cipularang menuju Jakarta, tempat saudara jauhku tinggal.
Aku masih merasa asing dengan kata saudara jauh. Seperti saat seekor singa melihat helikopter. Sama-sama tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin bedanya, kalau singa lihai mencari mangsa. Sedangkan aku lihai menjadi mangsa.
Bukan hanya bagi orang itu, bagi teman-teman di sekolah pun aku adalah mangsa yang paling empuk. Butuh orang untuk dihajar? Silakan datang padaku. Atau butuh sekadar bahan makian? Beralihlah padaku. Bentuk pelampiasan apa pun yang kamu butuhkan bisa kamu percayakan padaku.
Tidak. Tentu saja aku tidak cukup aneh untuk menginginkan semua itu. Tetapi, bahkan seekor kuda pun akan terbiasa dengan pecut yang menggores tubuhnya. Hal yang sama berlaku untukku. Ketika kamu terbiasa menerima pukulan dan cacian sepanjang hidupmu, lama-kelamaan dua hal itu menjadi rutinitasmu. Bagian dari hidupmu yang tidak bisa dipisahkan.
"Inget kata Om tadi, kan? Jangan ngadu macem-macem sama Sarah. Awas kamu kalo ngadu."
Aku memalingkan kepalaku ke arah orang itu. Memangnya dia pikir apa keuntunganku mengadu pada orang bernama Sarah itu? Kekerabatan kami tidak menjamin apa-apa. Bagaimana kalau dia justru punya hobi yang sama dengan orang itu? Sia-sia saja aku bercerita macam-macam dengan si Sarah.
"Iya, Om. Gue nggak bakal cerita."
[.]
"Satria? Ayo masuk. Kamu pasti capek naik mobil dari Bandung. Tante udah bikinin ayam goreng sama sayur asem. Kamu suka, kan?"
Orang itu baru saja membawa mobilnya pergi. Kembali ke rumah yang menjadi tempat tinggalku empat tahun terakhir. Ada perasaan aneh yang mengusik dadaku beberapa saat setelah dia pergi. Seperti sebuah lemari besi seberat satu ton telah diangkat dari pundakku.
"Sat? Kok malah bengong? Ayo masuk. Di luar banyak nyamuk," tegur Tante Sarah.
Seketika mataku terpaku pada wanita di hadapanku. Dia sama sekali tidak mirip ibuku. Juga tidak mirip dengan orang tadi. Wajahnya tirus dengan bibir tipis dan hidung runcing. Ekspresinya licik seperti rubah. Wanita itu sedikit banyak mengingatkanku dengan penyihir.
"Su-suka kok, Tan. Makasih, ya," jawabku sebelum melangkah ke rumahnya. Sambil berdoa makanan yang ia buatkan tidak dibubuhi racun.
Bola mataku menyapu sekeliling. Ruang tamunya cukup sederhana. Empat buah kursi kayu dengan meja panjang di tengahnya. Dindingnya dilapisi cat berwarna kecokelatan. Hampir tidak ada foto di sepanjang dinding itu kecuali sebuah foto keluarga dan satu foto wisuda. Keduanya tampak usang dengan garis-garis buram kekuningan.
"Kamu santai aja lagi, Sat. Anggep aja rumah sendiri."
Mendengar ucapan Tante Sarah, bahuku menegang. Orang itu dulu berkata hal yang sama. Persis seperti itu. Namun ketika aku mulai menganggap rumahnya rumahku sendiri, orang itu mengubahnya menjadi neraka.
"Kok diem aja? Kamu pendiem, ya? Beda banget dong sama ibu kamu? Dulu kalo liburan, Tante sering main sama ibu kamu. Mainannya macem-macem. Kadang main lompat tali, kadang congklak, pernah juga main egrang. Terus kalo kita udah kecapekan main, kita bakal berenang di sungai. Sungainya jernih, Sat. Nggak kayak sekarang," cerocos Tante Sarah tanpa henti. Kepalaku sampai pening mendengarkan ocehannya.
Baru kemarin orang itu membentakku karena berbicara terlalu banyak. Sekarang wanita di hadapanku memintaku untuk berbicara lebih banyak. Semua yang kulakukan pasti selalu salah. Dari dulu selalu begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Short StoryOrang bilang, nama adalah doa. Menamakan seorang anak Satria berarti mendoakan anak itu menjadi gagah dan berani. Tapi Satria sama sekali tidak berani. Apalagi gagah. Setelah rentetan peristiwa yang terjadi dua tahun silam, Satria justru merasa diri...