Belum genap seminggu aku tinggal di sini, Tante Sarah sudah membelikanku banyak sekali baju. Benar-benar tidak perlu menurutku. Aku bisa hidup selama tiga tahun dengan baju seadanya. Mengapa harus berubah sekarang?
"Ini ya, Sat. Tadi Tante ditawarin topi sama temen Tante. Siapa tau kamu butuh," ujar Tante Sarah. Tangannya menyodorkan sebuah topi berwarna hitam.
Aku mengambil topi itu ragu-ragu. "Makasih, Tan," ucapku lirih.
"Mumpung sekarang hari Sabtu, Tante mau ngenalin kamu ke tetangga Tante. Anaknya seumuran sama kamu kalo nggak salah. Dia juga sekolah di sekolah baru kamu, Sat. Tapi dia kelas sepuluh."
Ah. Lebih muda rupanya. Sebetulnya aku tidak tertarik. Semakin banyak kenalan berarti semakin banyak orang yang menganggapku aneh. Tapi jika ada yang aku pelajari dari orang itu, aku harus menuruti semua perkataan orang yang memberikanku tempat tinggal.
Bicara tentang tempat tinggal, aku masih tidak melihat inti kepindahanku ke sini. Memang, rumah dan sekolah baru memberikan suasana yang baru. Tapi untuk apa? Aku yakin anak-anak di sekolah baruku tidak akan jauh berbeda dengan sekolahku yang dulu.
Aku akan selalu menjadi sebuah potongan puzzle yang salah. Sebuah kepingan yang tidak diinginkan. Pun tidak dibutuhkan.
"Ayo, Sat. Temen Tante udah nungguin."
Tante Sarah berjalan ke arah pintu depan. Aku mengekor di belakang seperti orang bodoh. Masih diam seribu bahasa.
[.]
"Sarah? Ayo masuk masuk! Saya baru selesai ngerebus teh." Seorang wanita dengan tinggi yang hampir sama dengan diriku menyambut kami di depan pintu.
Wanita itu memiliki rambut ikal yang dikuncir kuda. Alisnya yang tebal mencuri perhatianku. Bukan hanya tebal, kedua alisnya sangat dekat sehingga hampir menyatu. Rasanya baru kali ini aku melihat orang dengan satu alis.
"Kamu pasti Satria, ya?" tanya wanita itu.
"Iya. Dia baru sampe Jumat kemaren, Wiet," Tante Sarah menjawabkan untukku.
Aku mengangguk mengiyakan. Kemudian berjalan masuk sebelum meletakkan bokongku di atas sofa berwarna hijau. Berbeda dengan ruang tamu Tante Sarah, ruang tamu wanita itu jauh lebih ramai. Banyak sekali pernak-pernik bertuliskan nama-nama negara. Foto-foto di dindingnya pun tak kalah banyak. Namun karena aku tidak mau terlihat tidak sopan, aku hanya berani melihat sekilas. Pandanganku kualihkan ke secangkir teh yang baru saja wanita itu hidangkan.
"Rea! Ayo turun!" teriak wanita di hadapanku tiba-tiba. Entah kepada siapa.
Tante Sarah dan wanita itu lantas berbicara panjang lebar dengan nada ibu-ibu rumpi. Sama sekali tidak menggubrisku. Aku tidak mengerti mereka membicarakan apa. Lagi pula, aku memang tidak peduli.
Tidak lama kemudian, bunyi derap langkah terdengar dari sebelah kiriku. Rupanya di sana ada tangga yang dilapisi lantai mengilap. Dan yang menimbulkan bunyi derap itu adalah seorang perempuan dengan celana pendek dan kaos oblong.
Jari perempuan itu dengan lincah berdansa di atas layar ponselnya. Matanya sama sekali tidak memerhatikan anak tangga yang ia lewati.
"Rea! Kalo turun tangga jangan main hape!" teriak wanita di depanku lagi. Pantas saja wanita itu berteman dengan Tante Sarah. Mereka berdua sama-sama menyukai keributan.
Mataku tetap mengikuti langkah perempuan dengan celana pendek tadi. Kulihat ia mendongak sebelum membalas wanita tadi. "Iya, iya," kata perempuan itu dengan nada malas.
Tunggu. Aku tidak salah lihat, kan?
"Laras?" tanyaku tanpa sadar.
[.]
Aneh. Sejak kapan aku terbaring di mobil? Bukannya aku sedang duduk?
Lagi pula, mengapa sunyi sekali?
Seingatku aku sedang mendengarkan musik rap keras-keras untuk menenggelamkan omelan ibu. Pasti aku tertidur setelah beberapa lagu.
Tapi bukannya Laras tadi ngotot memasang lagu Taylor Swift di mobil? Tidak mungkin bisa sesepi ini meski earphoneku sudah terlepas.
Badanku terasa sakit di semua tempat. Kurasa kakiku terjepit sesuatu. Pipiku juga perih sekali, seperti ada sesuatu yang mengalir dari sana. Dan sesuatu itu berbau metalik yang familiar.
Aku membuka mata perlahan. Namun sia-sia. Yang menyambutku adalah pemandangan gelap gulita. Hitam yang amat pekat.
Kuraba-raba kantong celanaku. Aku tahu ponselku ada di sana. Tapi sulit sekali rasanya untuk bergerak. Kakiku seperti ditimpa beban seberat gajah.
Ah. Ini dia. Akhirnya kudapatkan ponselku. Dengan yakin, aku menyentuh simbol senter yang ada di layar.
Sebuah tindakan sepele yang menjadi kesalahan terbesarku seumur hidup.
Sinar terang berwarna putih dari ponselku menunjukkan semuanya. Pecahan kaca yang aja di jok. Serpihan keripik kesukaan ayah. Juga tubuh Laras di sebelah kiriku.
Aku segera mematikan senter di ponselku. Pemandangan yang baru kulihat sudah terekam jelas. Aku yakin aku juga tidak akan bisa melupakannya.
Ini pasti mimpi buruk.
Mana mungkin tubuh Laras bisa dipenuhi warna merah seperti itu? Mana mungkin serpihan kaca bisa tersebar di pipi ibu? Mana mana mungkin kepala ayah bisa semiring itu?
Tidak mungkin. Pasti aku hanya bermimpi.
Tapi kalau aku bermimpi, mengapa sakit yang kurasakan di rusukku terasa sangat nyata? Mengapa bau amis metalik begitu menyengat hidungku?
Tidak.
Ini semua hanyalah khayalanku semata. Efek dari terlalu banyak menonton film.
Kami sedang dalam perjalanan menuju resepsi pernikahan teman ayah. Bukan sedang di dalam gua gelap gulita yang penuh dengan darah.
Kalau aku memejamkan mata lagi, semua ini pasti akan hilang.
Ketika kupejamkan mataku, bau itu justru semakin menyengat. Bayangan tiga orang anggota keluargaku semakin jelas pula.
Ya Tuhan ... jika ini mimpi, tolong bangunkanlah aku. Jika tidak ... tolong jadikan ini mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Short StoryOrang bilang, nama adalah doa. Menamakan seorang anak Satria berarti mendoakan anak itu menjadi gagah dan berani. Tapi Satria sama sekali tidak berani. Apalagi gagah. Setelah rentetan peristiwa yang terjadi dua tahun silam, Satria justru merasa diri...