07/02/14

10.8K 1.4K 155
                                    

"Laras!" teriakku sekuat tenaga. Amarah membakar tubuhku. Apinya menyebar dalam sekejap, membuat darahku mendidih.

Aku melangkah lebar-lebar menuju ruang sebelah. Pintu ruangan itu terbuka. Segala perabotan merah jambu Laras dapat dilihat dengan leluasa.

Bocah berambut ekor kuda itu berjalan menghampiriku. Sebuah boneka beruang dipeluk dengan sebelah tangannya. "Apaan, Kak?"

"Kamu mecahin jam tangan Kakak?" tanyaku tajam.

"Nggak."

Aku menarik napas panjang. Gelombang panas yang mengalir di tubuhku semakin membara. Jika ada satu hal yang aku benci, itu adalah kebohongan yang bodoh. Seperti yang dilakukan Laras barusan. Siapa saja bisa melihat bahwa anak itu berbohong. Gerak-geriknya terbaca jelas. Mata yang tidak berani menatap, kaki yang bergerak-gerak gelisah, dan tangan yang terus-terusan bermain dengan bonekanya.

"Jangan boong. Kalo bukan kamu siapa lagi yang mecahin?"

Laras menggeleng pelan, masih menunduk. "Aku nggak mecahin."

Aku merasakan kesabaranku menipis. Jika saja ibu tidak melarang keras berteriak di rumah, pasti adikku itu sudah kubentak. "Orang bego juga tau kamu boong."

"Ih, aku nggak mecahin," bela Laras.

"Ngaku aja apa susahnya, sih?" Suaraku meninggi. Tanganku gatal ingin memegang dagu bocah itu. Mengarahkannya sedikit ke atas agar Laras bisa menatapku. Kalau ia tidak berbohong, seharusnya dia bisa berbicara dengan melihat mataku.

"Kenapa ribut-ribut, Satria?" Suara lantang Ibu membuatku dan Laras berpaling.

"Laras mecahin jam tanganku," jawabku, melemparkan tatapan kesal ke arah Laras.

Bocah itu menggeleng lagi. Boneka beruang cokelat di tangannya ikut menggelang. "Aku nggak mecahin!"

"Boong!" teriakku.

Laras akhirnya menengadah. Mata bulat nan polosnya tidak bisa membohongiku. Garis-garis di dahiku semakin jelas kala aku melihat ekspresi tidak berdosa Laras. Bocah itu masih mempertahankan jawabannya. "Aku malah nggak pernah li-"

"Halah!" Kepalan tanganku melayang ke pintu kayu di sebelahku. Pukulan itu menimbulkan suara bedebam keras.

"Satria!" raung Ibu.

Baik aku dan Laras terdiam. Berbeda dengan Laras yang kembali memandangi keramik tanpa arti, pandanganku terpaku pada foto di atas meja belajar Laras. Foto itu diambil dua tahun lalu, ketika kami pergi ke pantai bersama. Di sana aku dan Laras terlihat akur—sesuatu yang jarang sekali terjadi—dengan senyum lebar terpampang di wajah kami.

"Ras, jawab jujur. Kamu mecahin jam tangan Kakak ato nggak?" tanya Ibu.

Laras menggeleng, menatap Ibu. "Nggak, Bu. Laras nggak mecahin."

"Tuh, Sat. Dia nggak mecahin."

Tentu saja Ibu akan lebih percaya dengan omongan Laras.

"Kalo bukan dia, siapa lagi? Dari dulu barangku selalu dirusakkin sama dia. Tugas sekolah juga. Sekarang lebih parah, jam tangan dari Bapak dipecahin."

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang