Hari pertama
Aku masih berada di kantin sekolah saat bel tanda masuk berbunyi. Dengan refleks, aku mengumpat kesal sambil menghentak kaki. Sosisku hampir jatuh di lantai kalau saja aku tidak siap membenarkan kantong plastik yang sedang aku pegang. Aku segera menghabiskan sosis yang baru saja aku beli sambil berjalan ke arah ruang ujian.
Hari ini hari pertama ujian akhir semester. Ini tahun pertamaku di SMA dan aku tidak mau repot-repot membuka buku. Aku tahu hal yang aku lakukan berisiko tapi persetan dengan nilai, aku bahkan tidak mengerti sama sekali yang aku pelajari selama setahun belakangan ini. Aku masuk jurusan IPA bukan atas kemauanku tapi orangtuaku. Mereka merasa yakin kalau aku bisa menjalani 3 tahunku di jurusan IPA padahal aku sudah mengatakan berulang kali kalau aku tidak sanggup dengan pelajaran Fisika dan Kimia. Saat jam pelajaran Biologi pun, aku malah lebih sering diam-diam tidur di kelas.
Suasana ruang ujian sangat hening saat aku sudah berada di depan pintu. Yang terdengar hanya suara salah satu kakak tingkat yang memimpin doa. Ruang ujian memang dicampur dengan kak tingkat kelas 11 dan masing-masing dari kami akan duduk bersebelahan. Pengawas menatapku dengan wajah datar lalu mengangguk sekali. Aku segera melepaskan tas dan mengambil kartu ujian dan alat tulis. Hari ini, Fisika dan Agama mudah-mudahan aku bisa melewatinya dengan keberuntungan. Hanya satu hal itu yang bisa aku harapkan.
Aku celingukan mencari bangku tempatku. Aku memang belum pernah mengecek ruang ujian sebelumnya. Tadi pagi aku langsung ke kantin karena tidak ada sarapan di rumah. Bahkan tadi saat berlari menuju kesini, aku takut kalau aku tidak akan menemukan ruangan ini.
"Hei, kamu cari apa?" tanya salah satu pengawas padaku. Dia mengenakan lipstik merah terang dan jilbab yang sewarna. Aku bisa melihat tahi lalat di atas sebelah kanan bibirnya dari arahku.
Aku tidak menjawab lalu menatapnya sambil mengulas senyum pasrah. Aku tidak bisa menjelaskan lagi apa yang aku rasakan sekarang. Aku malu sekali. Aku berjanji dalam hati tidak akan mengulangi kejadian ini lagi dalam hidupku.
"Masa kamu ga tau dimana bangkumu sendiri." ujarnya. Saat aku masih tidak bergeming, dia berkata "Kelewatan kamu ini. Itu cuma disana yang ada bangku kosong." Dia menunjuk bangku paling kanan baris kedua.
Dengan segera aku berjalan cepat ke arah bangku yang ditunjuk oleh Pengawas tadi. Seorang perempuan dengan rambut sebahu dan mata sipit melirik ke arahku. Dia yang akan duduk disebelah kananku selama 5 hari ke depan. Aku tersenyum kepadanya, bermaksud agar terlihat ramah tapi dia malah membuang muka tanpa ekspresi. Sial sekali hari pertama Ujian ini.
"Sebelum ada perintah, jangan buka lembar soalnya ya. Silahkan diisi data diri di LJK." ujar Pengawas yang tadi menegurku. Dia berdiri di depan kelas sambil memperhatikan sekitar. Sedangkan Pengawas yang satunya membagikan soal. "Sekali lagi diingatkan, bagi yang masih memegang ponsel silahkan masukkan ke dalam tas yang ada di depan kelas. Kalau ketahuan, kalian sendiri nanti yang susah." lanjutnya.
Ada beberapa murid yang maju ke depan kelas berlagak lupa kalau sedang menyimpan ponsel di saku atau mungkin ada beberapa juga yang benar-benar baru menyadari. Sok suci sekali. Aku masih mempertahankan ponselku di saku rok, peduli setan kalau ketahuan. Aku malah tidak yakin akan selamat tanpa melihat ponsel dengan jawaban teman sekelas yang dengan baiknya menyebarkan jawabannya.
Kakak kelas disebelahku yang ternyata bernama Jessica mendelik ke arahku. Aku bisa melihatnya dari sudut mata tapi aku tetap menatap ke depan pura-pura tidak tahu.
Setelah adanya perintah dari salah seorang guru lewat pengeras suara, kami langsung di perbolehkan membuka dan mengisi jawaban di kertas LJK.
Semuanya langsung membuka kertas soal terburu-buru. Kenapa harus cepat-cepat sih? Santai saja, tidak ada ketentuan yang lambat membuka soal tidak akan naik kelas kan? Aku membuka soal setelah semua orang melakukannya. Aku mendengus cukup keras sampai-sampai beberapa teman dan kakak kelas yang berada di radius pendengaran cukup dekat denganku menoleh ke arahku sekilas lalu kembali melihat soalnya masing-masing.
Aku membolak-balik kertas soal yang ada dihadapanku. Benar-benar sial, tidak ada satupun yang aku mengerti. Ya, mungkin nomor 1 dan 3 sepertinya aku tahu. Aku mulai mencari hasil dari jawaban nomor 1 dan langsung mengisi di lembar jawaban. Sejujurnya aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk nomor 1 tapi ada jawaban yang mendekati dengan hasil yang tadi aku cari. Saat melanjutkan ke nomor 3, aku tidak mendapatkan hasil yang bahkan mendekati jawaban. Aku mengeluarkan ponselku perlahan. Tidak ada notifikasi sama sekali. Sekali lagi aku mendengus kesal, kali ini hanya terdengar oleh diriku sendiri dan mungkin juga Jessica karena dia berjengit dan mendelik sekilas ke arahku. Kenapa sih dia senang sekali menatapku begitu.
Sudah 1 jam berlalu tapi tidak ada satu pun notifikasi dari teman sekelasku. Akhirnya aku menyelamatkan diri dengan mengisi lembar jawaban dengan sembarangan. Pengawas yang memliki warna bibir dan jilbab yang lebih terang dari matahari itu mulai berjalan dari arah kanan lorong meja. Aku segera memasukkan ponselku ke dalam saku kananku. Pengawas itu melewati lorong sebelah kanan, dia berhenti tepat di meja aku dan Jessica. Aku menatap ke arahnya, bibirku komat-kamit pura-pura menghitung sesuatu. Tangan kanan sudah aku letakkan di atas saku rok yang menonjol karena adanya ponsel didalam.
"Kenapa ga nulis?" Pengawas itu bertanya.
Aku diam. Mungkin saja dia berbicara pada si tukang mendelik di sebelahku. Lebih baik begitu.
"Hei, kenapa ga nulis?" Pengawas itu bertanya lagi.
Akhirnya aku mendongak menatapnya. Dan dia balas menatapku. Kenapa aku sial sekali?
"Hah?", lalu aku menggumam tidak jelas, bingung harus mengatakan apa.
Pengawas itu menggelengkan kepala, bibirnya mengerucut. Dia berjalan ke arah belakang lorong lalu kembali ke depan dan duduk di kursinya. Aku bisa merasakan tanganku gemetar dan kakiku kedinginan setelahnya.
Ponsel di saku rok yang tadi hampir saja ketahuan akhirnya bergetar juga. Ada jawaban dari pilihan ganda lengkap dari nomor 1 sampai akhir. Aku mengucap syukur dalam hati lalu mengisi lembar jawaban tanpa bertanya-tanya lagi apakah jawaban yang disebarkan itu salah. Toh, aku juga tidak tahu yang mana yang benar dan yang mana yang salah.
Setelah selesai menjawab, lebih tepatnya mengisi lembar jawaban dengan penuh, aku mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menunggu ada yang mengumpul dan keluar ruangan lebih dulu. Ini trik supaya tidak terlalu kentara dalam menyontek.
Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ada seorang laki-laki yang berdiri mengumpul lembar jawaban dan soalnya lalu keluar. Tiba-tiba seperti ada kupu-kupu di perutku dan aku bisa merasakan pipiku memanas.
Dia Fauzan, biasa dipanggil Ojan, satu tingkat di atasku, dan aku sudah memperhatikannya sejak dia menjadi kakak pembimbingku saat MOS. Aku selalu melihatnya dari jarak jauh saat dia duduk di kantin sambil tertawa dan mengobrol bersama teman-temannya, saat dia sedang bermain futsal diluar jam pelajaran, saat dia berada di barisan terlambat saat upacara tiap senin, saat dia dihukum lari keliling lapangan karena melakukan kesalahan di kelasnya dan saat dia menghadapi sekolah lain yang hampir mengajaknya tawuran. Aku senang melihatnya walaupun dari jarak jauh, seperti menemukan harta karun yang aku tahu tetap ada disana walaupun tidak dapat aku jangkau.
Aku kadang heran bagaimana bisa dengan kelakuan buruknya itu dia bisa menjadi anggota OSIS. Tapi aku tetap senang, karena dengan begitu, 3 hari dibodohi saat MOS terbayar dengan pantas karena melihat wajahnya. Saat senior lain belagak tegas dan memasang wajah datar didepan kami, dia malah lebih senang tersenyum. Senyumnya yang hanya mengangkat sudut kiri bibirnya. Aku masih ingat saat kami disuruh mengumpulkan tanda tangan senior, dia tersenyum padaku. Sudut kiri bibirnya terangkat. Aku suka senyum itu, sangat suka.
Tidak kusangka orang yang hanya tersenyum karena aku meminta tandatangan padanya, orang yang selama ini hanya bisa aku pandangi dari jauh, orang yang hanya sebatas kakak pembimbing MOS adalah orang yang satu ruangan denganku saat ujian. Mungkin aku terdengar menyedihkan, tapi kau tidak mengerti rasanya. Aku bisa memandanginya beberapa hari ke depan dalam jarak yang lebih dekat daripada biasanya.
Aku mengumpul lembar jawaban dan soal Fisika sialan itu kepada Pengawas lalu mengambil tasku. Diluar masih sangat sepi, aku mendapati Ojan sedang bersender di dinding samping pintu kelas lain. Dia menangkap tatapanku lalu sudut kiri bibirnya terangkat. Aku balas tersenyum senang, rasanya susah sekali menghapus senyuman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Robin Hood
Teen FictionHari-hari tanpa ekspektasi dari orang yang di ekspektasikan.