2

31 3 1
                                    

Jam Kedua

Aku duduk di kursi yang ada di balkon mengahadap ke lapangan basket dan berseberangan dengan gedung baru sekolah. Aku berada di gudung lama, kami biasa menyebutnya gedung induk karena memang gedung inilah yang pertama kali ada di lingkungan sekolah.

Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki nilai akreditasi A, sangat jarang untuk ukuran sekolah swasta. Gedung-gedung bewarna hijau seolah ingin seragam dengan tumbuhan di sekitar. Sejujurnya aku bosan sekolah di sini. Aku masuk ke sekolah ini sejak SMP dan sekarang SMA dengan lingkungan yang sama. Yang membedakannya hanya gedung mana yang aku tempati dulu dan sekarang serta seragamnya.

Bel tanda jam kedua telah berbunyi tepat saat aku kembali ke kelas, satu-satunya yang aku dapati disana adalah Jessica dengan bukunya. Dan saat itu, di detik pertama aku menyesal kembali lebih cepat. Saat aku duduk di sebelahnya, dia berjengit sedikit. Sepertinya aku baru saja menemukan orang yang memiliki kehidupan sosial lebih parah daripada aku.

"Kak Jess?" aku menyapanya.

Dia tidak menjawab, hanya menatapku seperti terganggu. Alisnya bertaut dan bibirnya mengerucut. Aku tidak menyangka bisa menemukan orang yang bisa menampakkan ketidaksukaan pada orang lain dengan terang-terangan begini hanya karena aku menyapanya.

"Kakak kelas apa?" aku tidak akan mundur.

Dia terdiam sejenak seolah berpikir cepat lalu menjawab singkat, "11 ipa 3"

"Oh." hanya itu yang terdengar dari mulutku. Aku bisa melihat Jessica seperti bernapas lega, mungkin dia bukan jenis orang yang suka berbasa-basi.

Sebelum kesunyian yang sangat canggung itu meliputi ruangan ini, Ojan dan temannya yang aku kenal dengan nama Barel masuk ke kelas. Inilah tujuanku sejak awal, aku hanya ingin melihatnya berjalan dari pintu masuk ruangan itu. Rambutnya sedikit basah entah karena keringat atau air yang disengaja, baju seragamnya keluar dari celana dan aku bersumpah melihat rokok terselip di tangannya. Dia menatap Jessica yang tidak terpengaruh dengan suara ribut yang mereka timbulkan lalu, menatapku sekilas sambil berjalan bersama Barel ke tempat duduknya yang ada di belakang. Aku bisa merasakan asap rokok yang makin menusuk indra penciuman. Bukannya ingin sok suci tapi aku takut dia di hukum atau bahkan di keluarkan dari sekolah karena bertingkah bodoh seperti merokok di detik-detik sebelum ruang ujian ini dipenuhi murid lain serta pengawas, maka aku membalikkan badan menatapnya.

"Kak Ojan?" aku memanggilnya.

Dia menatapku, alisnya terangkat. Ia mengembuskan asap rokoknya lalu menanggapi, "Ya?"

Aku menggigit bibir, menimbang apa yang sebaiknya aku katakan padanya agar dia bisa mengerti maksudku tanpa salah paham.

"Kakak ga takut pengawas tau kalo kakak ngerokok disini? Bel kan udah bunyi." akhirnya itulah yang aku katakan.

"Oh," Dia berhenti, menghembuskan asap rokok lagi. "Gue sengaja. Udah lama banget ga ngerasa deg-degan kalo ngelakuin kesalahan, ya ga Rel?" ujarnya lalu menatap Barel yang sedang tersenyum jahil. Lalu mereka tertawa seperti tidak ada beban.

Aku tidak habis pikir dengan kelakuan Ojan sekarang. Dia sengaja mempertaruhkan ujian kenaikan kelas demi mendapatkan reaksi pengawas yang sudah pasti berisiko besar jika dia ketahuan merokok di sini.

"Tenang aja. Gue selalu lolos kecuali pas telat atau ga ngerjain tugas."ujarnya. Setelah itu dia dan Barel beranjak sambil membawa tas mereka lalu keluar kelas.

Kepala sekolah sudah berada di ruangan kami dengan tatapan tajam yang ditujukan pada masing-masing diantara kami. Aku terus menunduk tak berani menatap ke depan saat akhirnya ruangan ini penuh dan pengawas datang. Mereka langsung mencium asap rokok yang tidak dapat dihilangkan dengan cepat, terima kasih Ojan sialan. Yang Ojan maksud seharusnya bukan hanya dia yang deg-degan tapi seisi kelas. Dan sebaiknya bukan hanya dia yang lolos tapi kami semua. Pengawas menegaskan kalau tidak ada yang mengaku maka ia akan membawa Kepala Sekolah ke ruangan ini. Dan Pengawas tersebut benar-benar membawa Kepala Sekolah ke ruangan ini serta menunda ujian, aku khawatir Jessica buka mulut tentang ini tapi dia bahkan mengaku tidak tahu saat ditanya Pengawas dan Kepala Sekolah, mungkin dia memang tidak mau ambil pusing dan berurusan dengan anak nakal seperti Ojan dan Barel.

"Fauzan, kamu yakin bukan kamu yang ngerokok di kelas tadi?" Pak Nurdi, Kepala Sekolah bertanya.

"Yakin Pak." ujarnya mantap.

"Teman-teman gengmu juga bukan?"

"Bukan Pak." jawabnya sekali lagi.

"Niko? Kamu?" Pak Nurdi memandang salah satu teman Ojan.

"Saya ga tau apa-apa Pak, bener kata Ojan, bukan kami Pak."

"Kalian sudah mengahabiskan waktu hampir 15 menit hanya karena bau asap rokok ini. Sekalian kalau begitu, saya belum puas. Fauzan, semua laki-laki kelas 11 yang ada di kelas ini maju ke depan. Kalau sampai tertangkap, tidak akan saya biarkan naik kelas."

Sorakan tak terima serta gumaman tidak jelas muncul dari berbagai arah di kelas. Aku bisa melihat Barel menatap ke arah belakang dengan jenaka, pasti Ojan sedang membalas tatapannya sekarang.

"Pak, kenapa kelas 11? Kan bisa aja kelas 10 juga." ujar Rian, kakak tingkat yang juga teman Ojan protes.

"Ya, seluruh anak laki-laki di kelas ini maju sekarang. Kelas 10 dan 11." ujar Pak Nardi tegas.


Setelah semuanya di periksa, Kepala Sekolah keluar dari ruangan. Lembar Jawaban dibagikan oleh Pengawas yang masih menceramahi kami. Untungnya kami di berikan waktu lebih karena tidak ada satu pun yang di curigai sebagai dalang dari asap rokok yang masih tercium sampai sekarang. Aku berbalik menatap Ojan, dia menunduk menghadap Lembar Jawabannya sambil tersenyum jahil.

Dia lolos.

Logika Robin HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang