Nostalgia on Bookstore

79 5 6
                                    

Ara berjalan mengitari toko buku tempat ia selalu membeli buku. Langkahnya berhenti saat ia sampai di Rak Nostalgia. Rak dimana ia bertemu dengan Farid saat janjian jalan berdua. Rak yang menjadi saksi bisu kenangan Ara dengan Farid sekian tahun silam. Ara ingat dengan jelas kalau di rak ini dipakai untuk memajang novel komedi saat ia dengan Farid. Bukan novel roman picisan seperti sekarang. Lagu galau selalu terputar saat Ara menginjakan kaki di sini. Seakan semua pegawai toko buku bekerja sama meledek Ara agar Ara terlempar pada masa lalu Ara bersama Farid.

Ara tertawa sambil mengitari komplek perumahan sahabatnya saat SD. Sahabatnya, Tricia sedang tersenyum sambil mengemut permen lolipop yang dibeli di warung. Mereka bercanda walau sebenarnya Tricia sedikit terganggu dengan Ara yang asyik dengan handphone. Tricia adalah gadis pintar yang tak ada ketergantungan handphone sama sekali. Berbanding terbalik dengan Ara. Tentu saja Ara bukan candu dengan handphone jadulnya, tapi dengan isi handphone miliknya. SMS dari Farid yang mengabarkan kalau Farid sedang les gitar.

"Uhm, Tric, gue balik ya? Sudah sore nih hehe." Ucap Ara canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Tricia tersenyum maklum dengan tingkah Ara. Tricia tahu kalau Ara berbohong padanya. Persahabatan Tricia dengan Ara yang mereka jalin sejak TK terasa berjarak karena Ara yang jatuh cinta dan lebih mementingkan cinta. Tapi Tricia mengangguk juga.

"Hati-hati ya, Ra. Sana pamit sama Papa Mama gue dulu." Jawab Tricia lemah. Ada rasa tak ikhlas tapi ia tutupi. Ara mengangguk pelan. Merasa bersalah karena berbohong pada Tricia. Ara mulai merapikan barang-barangnya dan pamit pada orangtua Tricia. Tricia mengantarkan Ara sampai depan komplek.

"Thanks ya Ra. Keep in touch." Ucap Tricia bagai pisau belati. Ara menatap Tricia bersalah. Tapi Tricia sudah berbalik dan berjalan kembali ke rumahnya. Membuat Aara menunduk dalam-dalam dan menunggu angkot dengan perasaan bersalah.

Handphone Ara bergetar tanda ada SMS masuk. Siapa lagi kalau bukan Farid? Isinya hanya memberitahu Ara kalau Farid sudah sampai di mall yang memang tempat mereka janjian. Ara membalas kalau ia dalam perjalanan dan segera naik ke dalam angkot.

Mata Ara menatap sekitar toko buku tempat Farid berada. Dijelajahi bagian novel. Satu persatu rak ia lewati perlahan hingga matanya menatap Farid yang asyik mencari buku di bagian novel humor. Ara tersenyum mengingat Farid yang memang selalu saja melucu.

"Nyari buku apa?" Tanya Ara yang membuat Farid menengok ke arahnya. Farid melihat ke arah Ara dan tersenyum lebar. Senyum yang selalu berhasil membuat hatinya hangat. Bibir Ara tertarik ke atas hingga giginya tampak dengan sempurna. Ara tersenyum lebar seperti Farid.

"Gue bayar dulu ya?" Farid menunjukkan buku novel humor dari penulis terkenal. Novel yang sebenarnya sudah dipunyai Ara sejak lama. Ara mengangguk saja sebagai jawabannya. Mata Ara mulai mencari novel yang selama ini ia tunggu, sedangkan Farid pergi membayar buku di kasir.

Sebenarnya, Ara tahu kalau novel yang akan ia beli belum keluar. Tapi ia tetap sibuk mencari untuk menutupi perasaan grogi yang hadir. Mata Ara beralih ke arah Farid. Melihat detail tentang Farid hari ini. Ara menyadari kalau Farid membawa tas gitar dan memakai kaos putih serta celana jeans biru gelap. Simpel tapi berhasil membuat Ara kagum dengan penampilannya.

Mata Ara perlahan pindah ke pakaian yang ia kenakan sekarang. Kaos pink tua lusuh dengan celana putih ¾ dan tas biru muda yang besar karena ia membawa notebook yang membuatnya terlihat seperti anak kecil tersasar selepas pulang sekolah bila dibanding Farid.

"Dapet buku yang mau lo beli Ra? Gue mau turun nih. Mau nonton talkshow di bawah." Suara Farid tepat hadir di telinga kanan Ara. Membuat Ara mendongak dan menatap Farid kaget. Farid masih membungkuk di sebelah Ara, wajah Farid tepat sejajar dengan Ara lah yang membuat Ara terkejut. Ara mengangguk cepat sebagai jawaban.

Farid tersenyum dan berjalan keluar toko buku. Membuat Ara lari mengejar Farid dan memegang ujung kaos Farid agar ia tidak ketinggalan. Farid dengan perawaan tinggi, membuatnya berjalan 2 kali lebih cepat dibanding Ara. Ara harus berjuang mengejar langkah Farid yang terasa cepat dan jauh.

Ara melihat ke atas eskalator. Terdapat bayangan Ara dan Farid berdiri sejajar di tangga eskalator. Ara tersenyum senang dengan bayangan yang ia lihat. Bayangan gadis yang tampak bahagia karena berjalan dengan cowok di sebelahnya yang sibuk melihat ke segala arah. Ya, Ara memang senang dengan bayangan akan ia bersanding dengan Farid, sedangkan Farid selalu sibuk melihat yang lain selain Ara. Miris memang.

Sekarangpun, Ara dan Farid berdiri melihat talkshow gitaris terkenal. Ara tahu kalau Farid sangat mengidolakan gitaris tersebut. Dapat dilihat dari tatapan kagum Farid yang lurus ke arah panggung. Mungkin ini yang dilihat semua orang kalau mata mereka melihat Ara dan Farid. Tatapan kagum Ara yang lurus ke arah Farid. Tak menyadari sekeliling seperti Farid yang tak sadar kalau mata Ara terus menatap Farid.

"Ra, balik yuk." Ucap Farid dengan tatapan masih lurus ke panggung. Membuat Ara gelagapan tapi mengangguk juga.

Ara berjalan pelan. Sekali ini, Ara menyadari kalau Farid berjalan lebih pelan juga. Entah menunggu langkah Ara yang terasa enggan karena masih ingin berlama-lama dengan Farid atau Farid merasakan hal yang sama dengan Ara. Kedua insan yang melangkah perlahan dengan harapan mereka bisa lebih lama bersama dengan cara seperti ini.

Tapi sepelan apapun Ara dan Farid melangkah, mereka akhirnya sampai juga di angkot yang akan memisahkan mereka. Ara berjalan masuk ke dalam angkot biru muda dengan Farid yang masih setia mengantar. Hingga Ara duduk dengan nyaman, Farid mulai berjalan meninggalkan Ara. Tangan mereka melambai hambar karena rasa tak ikhlas untuk berpisah.

Angkot biru yang ditumpangi Ara berjalan pelan. Sedangkan Farid, dari mata Ara, tampak memasuki angkot merah yang mengarah ke arah lain. Sebenarnya angkot yang mereka tumpangi memiliki ujung yang sama. Ke sebuah terminal di tengah pasar, sayangnya, Ara dan Farid memiliki tujuan berbeda, Ara yang mengarah ke timur, dan Farid yang mengarah ke barat. Entah mereka akan memiliki akhir cerita yang sama seperti angkot yang mereka tumpangi atau tidak.

Ara berusaha menahan air mata yang keluar saat ingat masa lalunya dengan Farid di mall yang masih sering ia datangi. Berharap matanya bisa menangkap sosok Farid dengan tas gitar besarnya di antara rak novel. Ara menunduk menyesal karena membuat Tricia kecewa pada saat itu juga. Walau hubungan Ara dan Tricia masih berjalan baik hingga sekarang.

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang