Chapter 2

171 22 9
                                    

Esoknya, entah kenapa, aku berjalan menuju hutan itu lagi. Dan tidak kusangka, aku bertemu lagi dengan lelaki misterius itu, Reito.

Dia sedang menatap cermin milik adiknya tersebut di dahan pohon. Aku terus menatapnya. Tak lama, dia menengok, menyadari kehadiranku.

"Ah, kamu!"

Aku melambaikan tangan. "Yo!"

Dia segera turun dari dahan pohon tersebut. Aku sedikit menjauh darinya ketika dia berusaha untuk turun. Kukira dia akan turun dengan perlahan, namun aku salah besar. Dia secara brutal malah lompat dengan santainya.

Aku menatapnya dengan khawatir. "Kamu gak apa-apa?" tanyaku.

Dia tersenyum. "Ya, tenang aja," katanya.

Dia memasukkan tangan ke sakunya.

"Lalu? Ada apa?" tanyanya.

"Eh? Ah," aku bingung harus menjawab apa, "mencari udara segar, mungkin."

Dia tertawa. "Kau lagi-lagi berkata seperti itu! Ngomong-ngomong aku belum tahu namamu."

Dia pun menatapku. Tatapan matanya terlihat sangat hangat bagai sinar mentari.

Aku yang sadar belum memperkenalkan diri, langsung berkata, "Namaku Aika. Shinamani Aika. Maaf telat memperkenalkan diri."

Setelah aku mengatakan namaku, raut wajah Reito tampak terkejut. Aku yang menyadari hal itu dibuat heran.

"Reito?" panggilku.

Dia tersentak, lalu membuat senyuman yang sedikit dipaksakan.

"Ah, ya, ya. Hm, boleh kupanggil Aika?"

Aku mengangguk.

Setelah percakapan singkat itu, aku semakin sering datang ke hutan untuk menemui Reito. Kami berbincang tentang banyak hal. Kami pun menjadi dekat.

Dan aku pun menyadari bahwa Reito adalah lelaki yang sangat periang. Dia begitu baik dan sering ada di hutan, walau aku tak tau sebabnya. Ingin sekali kubertanya dimana dia tinggal tapi entah kenapa aku tak bisa melakukannya. Yah, aku pernah mencobanya tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan.

Aku juga jadi mengetahui banyak hal yang ada di sekitar sini. Saat itu aku sadar, bahwa aku merasa sangat nyaman jika berada di sampingnya.

"Reito, kita mau kemana sih?" tanyaku.

Ya, hari ini aku diajak ke suatu tempat oleh Reito. Tapi dia tidak mau memberitahu tempat apa itu.

"Bersabarlah. Kita sebentar lagi sampai, kok," jawabnya tanpa menoleh.

"Tapi, ah!" Aku tersandung.

Reito menghentikan langkahnya dan melihatku yang sudah terduduk di tanah.

"Ada apa? Kau tersandung?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, sepertinya."

Aku tidak mau menjadi beban baginya jadi aku langsung berdiri.

"Ayo, kita jalan lagi," ajakku.

Reito menatapku. Tanpa banyak bicara, ia pun meraih tanganku, menggenggamnya, lalu kembali berjalan. Jelas, aku kaget sekaligus malu.

"Re-Reito?! Ke-kenapa?"

"Agar kau tidak tersandung lagi nanti," katanya.

Aku terpaksa menerimanya. Jantungku benar-benar serasa mau meloncat keluar. Ditambah lagi keheningan meliputi kami berdua. Aku bisa merasakan kehangatan tangan Reito. Tangannya yang tampak lebih besar dariku menggenggam tanganku.

The Boy I Met In The ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang