Shabrina menghembuskan napas keras dan menatap awan di langit dengan pandangan menerawang. Gadis itu membiarkan angin memainkan rambutnya, hingga sebagian wajahnya tertutup. Sesekali, Shabrina menyingkirkan rambut itu dari wajahnya, agar dia bisa fokus melihat langit biru dan awan putih, yang seolah berkejaran di atas sana. Dan untuk yang tak terhitung lagi, gadis itu kembali menghembuskan napas keras.
Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya. Sakit. Sangat sakit. Bahkan rasa sakit itu terlalu menyerangnya, hingga Shabrina tanpa sadar menitikan airmatanya. Dia sudah berusaha untuk tidak menangis, tapi, semua diluar kuasanya. Airmata sialan itu lebih memilih untuk jatuh membasahi pipinya daripada harus diam bersembunyi di kedua matanya.
Apa yang sedang dipikirkan oleh teman-teman sekelasnya saat ini tentang dirinya? Apa mereka sedang asyik menggosipkan dirinya karena tiba-tiba berlari keluar kelas sambil menangis hanya karena mendengar ucapan Victor?
Shabrina memejamkan kedua matanya dan meresapi hembusan angin di wajahnya. Kesejukan langsung mengalir di tubuhnya. Saat ini, gadis itu memang sangat membutuhkan udara segar dan oksigen untuk membantunya bernapas dengan benar.
Victor... apa dia harus mengucapkan kalimat menyakitkan tadi? Apa laki-laki itu harus berkata demikian? Shabrina tahu, bahkan sangat tahu, Victor hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Tapi... demi Tuhan... haruskah kata-kata sialan itu terucap dari bibir orang yang sangat Shabrina sayangi?
“Apa gue salah kalau gue suka dan sayang sama sahabat gue sendiri?” gumam Shabrina pelan. Kedua matanya masih terpejam dan airmata itu mengalir dengan bebas di pipinya.
Kalau harus memilih, Shabrina lebih memilih untuk tidak memiliki perasaan suka pada Victor seperti saat ini. Perasaan yang hanya bisa menyiksanya, membuatnya perih dan menahan sakit, karena harus bertepuk sebelah tangan. Karena, tanpa harus dijelaskanpun, Shabrina tahu dengan pasti, hanya dirinya yang memiliki perasaan ini. Shabrina sadar, apalah artinya dirinya jika dibandingkan dengan mantan-mantan pacar Victor yang segudang itu. Shabrina sangat sadar, jika dirinya dibandingkan dengan Anna, sahabat kecil Victor itu, dirinya sudah kalah telak.
Anna adalah tipikal gadis manis yang sanggup menarik hati laki-laki manapun yang melihatnya. Gadis itu bertubuh mungil dengan kulit putih. Senyumannya manis dan sanggup memikat siapa saja yang melihatnya. Rambutnya indah, begitu pula dengan kedua mata gadis itu. Benar-benar terlihat seperti sebuah boneka barbie.
Kalau Victor lebih menyukai Anna ketimbang dirinya, Shabrina merasa itu hal yang sangat wajar.
“Lo nggak berniat buat lompat ke bawah, kan, Va?”
Satu suara bernada rendah itu membuat Shabrina tersentak dan langsung menoleh. Gadis itu mendapati sosok Arsyad tengah berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana sekolahnya dan tersenyum tipis ke arahnya. Shabrina membalas senyum Arsyad dan kembali memusatkan perhatiannya pada gedung-gedung tinggi di depan bangunan sekolahnya.
Arsyad menghela napas dan berjalan mendekati gadis itu. Laki-laki itu kemudian duduk disamping Shabrina dan ikut menatap pemandangan di depannya, seperti yang dilakukan oleh gadis yang tengah bersedih di sampingnya. Meskipun Shabrina tidak mengatakan apa-apa tentang keadaan dirinya, namun Arsyad sudah bisa menebak perasaan gadis itu. Penjelasan masuk akal apa lagi yang bisa dispekulasikan oleh Arsyad, ketika melihat Shabrina menangis sambil berlari keluar dari kelas ketika mendengar ucapan dari bibir Victor, selain bahwa gadis itu tengah bersedih dan sakit hati?
“Yo...,” panggil Shabrina lirih tanpa memandang wajah Arsyad. Arsyad menoleh dan tersenyum kecil.
“Hmm?”
![](https://img.wattpad.com/cover/7115451-288-k171346.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BESTFRIEND AND ENEMY
Teen FictionShabrina Elvariana dan Victor Daniel Pradipta sudah bersahabat semenjak keduanya duduk di bangku SMP. Keduanya sangat dekat sampai-sampai semua orang yang melihat mereka berdua akan menganggap mereka berpacaran. Tanpa disadari, Shabrina ternyata sud...